Dirga merasa dia sudah kehilangan hak untuk mencegah Karmila pergi. Bahunya lemas menatap kepergian Karmila. Separuh hatinya kosong.“Kamu juga boleh pergi.”Suara Kandita dari belakang mengagetkan Dirga.“Semua yang dikatakan Karmila kepadamu adalah kebenaran. Kamu seharusnya tidak memercayai aku, apalagi sampai memiliki perasaan kepadaku.” Kandita kembali berkata.“Aku enggak akan ke mana-mana,” ujar Dirga, “toh, aku enggak punya tempat untuk pulang selain di sini.”“Aku tidak seperti dirimu, Dirga. Kita dari dua dunia yang berbeda.”“Memangnya kenapa?” Dirga memandangi Kandita.Cantik, itulah kesan pertama yang didapat Dirga saat melihatnya. Dirga tidak pernah melihat perempuan secantik Kandita. Bahkan saking cantiknya, tanpa diberi tahu Karmila pun dia sudah bisa mengira jika Kandita seorang peri, bidadari yang turun dari langit. Kandita jelas bukan manusia, karena tak peduli berapa banyak waktu berlalu, Kandita tidak pernah menua. Kulitnya tidak pernah keriput, wajah remajanya ab
“Dia sudah mati.” Dirga mendekati sesosok raga yang tergeletak di atas ranjang, memerhatikanya. Sosok itu jelas-jelas sudah tidak bernyawa. Kulitnya kering menempel pada tulang seperti telah mengalami proses mumifikasi. “Apa yang akan kamu lakukan dengan orang yang sudah mati?” tanyanya heran.Kandita berjalan, berdiri di sisi Dirga, sama-sama memerhatikan objek yang sama, tetapi dia punya pandangan yang berbeda. “Dia tidak mati, hanya tidur. Arwahnya masih ada, tersesat di antara dua dunia, mencari jalan untuk kembali.”“Jangan bilang kalau kamu mau menghidupkannya lagi!” Wajah Dirga memucat, kepalanya menoleh ke arah Kandita, mencari-cari jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia ketahui.Di dalam ruangan yang temaram itu, Dirga tidak mendengar suara Kandita menjawab, tetapi samar-samar, dia melihat seringai keji di wajah cantik Kandita.**Dalam perjalanannya menuju rumah Hendi, Karmila sempat-sempatnya berkhayal andai dia diberi kemampuan lain yang lebih berguna daripada sekadar mel
Kandita tidak bisa memahami cinta manusia, yang dia tahu hanyalah dia tidak ingin ayahnya Karmila, Andaru, tetap dalam keadaan seperti itu, kering kerontang, bagai ranting. Mati.“Dia sudah lama mati. Buat apa lagi?” Dirga bertanya, tidak mengerti, meski secuil kecemburuan pelan-pelan menggerogoti batinnya, dan berteriak di dalam kepalanya, “Bagaimana bisa aku bersaing dengan orang mati?”“Hanya butuh sedikit darah lagi, maka Andaru akan bangun.” Kandita menjentikkan jari, sebuah cawan kecil muncul dari ketiadaan, cawan berisi cairan lengket, anyir, berwarna merah pekat.“Andaru, jadi itu nama suamimu? Ah, mantan!” Dahi Dirga mengernyit. “Lalu cawan yang ada di tanganmu itu. Apakah itu darah? Darah siapa?” Dirga tetap bertanya meski yakin cawan itu tidak berisi minuman biasa atau sekadar anggur. Tidak ada yang biasa-biasa saja dalam hidup atau pun diri Kandita.Kandita tersenyum penuh rahasia. “Kamu pikir untuk apa aku susah payah dan mau repot-repot melatihmu ilmu kanuragan, menurunk
Tanpa pernah disangka oleh Kandita, Dirga melompat ke atas ranjang, tangannya mencekik mayat Andaru yang baru saja bergerak-gerak. Mata Andaru memelotot, erangan parau keluar dari kerongkongannya.“Jangan!” Kandita menarik Dirga kuat-kuat.Kandita memang berbadan kecil, tetapi memiliki tenaga dalam yang sanggup mematahkan tulang seorang lelaki dewasa. Penampilan bisa menipu, sama seperti raut wajah Kandita yang cantik dan lembut, tetapi menyimpan kekejian luar biasa di dalam hatinya. Dia mungkin seorang peri, dan seperti kebanyakan peri lainnya, Kandita tidak punya hati.Tubuh besar Dirga melayang ke udara, menghantam tembok kamar, menjatuhkan beberapa lukisan kematian yang sudah diam-diam diambil Kandita dari kamar Karmila untuk dijadikan pajangan kamar rahasia, tempat mereka berada saat itu. Andai saja Dirga manusia biasa yang tidak pernah mempelajari tenaga dalam dan ilmu kekebalan, dia pasti sudah tewas, dilempar dengan kekuatan sebesar itu hingga membuat retakan di dinding.Namun
Di rumah sakit, Karmila menunggui Hendi dengan gelisah. Ambulans yang dia panggil tidak hanya membawa Hendi tetapi sekaligus juga Nurlaila. Hendi segera masuk ruang operasi sementara Nurlaila dirujuk ke rumah sakit jiwa. Untuk sementara waktu Nurlaila harus menghabiskan hidupnya sementara di rumah sakit jiwa sebab kali itu apa yang dilakukannya sudah sangat berbahaya. Nurlaila bisa saja benar-benar membunuh Hendi.Kondisi Hendi kritis, lukanya sudah mulai infeksi dan dia juga sudah kehilangan terlalu banyak darah. Sebelum dia masuk ruang operasi, dokter mengatakan kepada Karmila untuk mempersiapkan hati akan kemungkinan terburuk.“Tolong, Dok, selamatkan Bang Hendi!” Karmila berkata sambil memohon-mohon.Dokter itu menepuk-nepuk pundak Karmila, berusaha menenangkannya. “Kami berusaha yang terbaik. Saat ini pasien membutuhkan banyak kantung darah. Golongan darahnya B, dan kebetulan hanya ada satu kantung di sini, padahal kami butuh setidaknya empat kantung darah.”“B? Golongan darah sa
Hardikan Ki Gendeng bagai musik indah di telinga Nurlaila. Dia tahu, siluman ular itu akan membantunya sama seperti yang pernah dia lakukan saat dirinya terjebak di alam jin waktu itu. Ki Gendeng akan menuntunnya, membantunya menghalau bayangan gelap yang senantiasa mengacak-acak kewarasannya.“Ki, benar itu kamu? Tolong, selamatkan aku!” Nurlaila bergumam di batas kesadarannya. Dia berjuang melawan efek obat bius.“Berat sekali nasibmu.” Ada kesedihan dalam suara Ki Gendeng. “Aku mungkin bisa membantumu saat kita ada di duniaku. Tapi di sini, aku tidak berhak mencampuri urusan manusia.”Seiring dengan makin jelasnya suara Ki Gendeng dari dalam kepalanya, kesadaran Nurlaila terlempar semakin dalam, ke suatu ruangan hampa, putih. Nurlaila merasakan kepalanya ringan, saat dia membuka mata, dia tidak lagi berada di dalam kamar perawatannya. Tidak ada ranjang rumah sakit, tidak ada apa-apa, bahkan tidak ada dinding-dinding yang membatasi. Dia bebas tanpa terikat apa pun. Dan, di ruangan t
Nurlaila menolak untuk pulang ke rumahnya.“Tapi, Mah, kenapa?” Karmila tidak mengerti. Rumah sakit jiwa menurutnya adalah tempat yang terlalu mengerikan untuk ditinggali, belum lagi kemunculan semua entitas gaib yang senantiasa mengganggu Nurlaila. Tidak ada obat medis yang bisa menghalangi semua penampakan itu sebab kemunculannya bukanlah karena ketidakseimbangan neurotransmitter dalam kepala Nurlaila. Semua itu nyata, bukan halusinasi. Karmila tahu.“Akan lebih aman kalau aku tetap di sini.” Nurlaila memandang Karmila dengan mata basah, tangannya gemetar.“Aman gimana, Mah? Aku bisa mengurusi Mama di rumah. Mama akan jauh lebih baik jika tinggal di rumah sendiri daripada di sini. Enggak akan ada lagi yang bisa ganggu Mama.”Nurlaila menggeleng, bersikeras. “Aku enggak bisa selamanya bergantung kepadamu, Sayang.” Dia membelai lembut rambut Karmila, menatapnya penuh kasih. “Bertemu denganmu adalah sebuah berkah. Mungkin ini balasan atas kebaikan yang pernah dilakukan almarhum orangtu
Operasi Hendi memang berjalan lancar, tetapi dia belum juga siuman. Kondisi Hendi mengingatkan Karmila akan kondisi Nurlaila dahulu. Nurlaila juga pernah berada dalam koma tanpa sebab yang jelas. Tak ada ilmu kedokteran mana pun yang mampu mengatasinya.“Bang, jangan lama-lama main di dunia sana. Ayo, pulang, aku nunggu kamu di sini.” Karmila berkata lirih sambil menyeka tangan Hendi dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat.Di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Karmila menghabiskan waktunya di sisi Hendi, menanti lelaki itu membuka matanya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, sama seperti halnya dengan tim dokter di sana, untuk membuat Hendi siuman. Semuanya tergantung dari berapa keras usaha Hendi untuk mau kembali. Sebab, bukan karena sakitnya dia tidak sadarkan diri seperti itu, melainkan karena rohnya sendiri yang terjebak di alam lain.**“Selamat datang, Hendi!”Hendi memandang heran ke seorang perempuan yang ada di hadapannya, menyambutnya dengan cara seorang kekasih