Kandita tidak bisa memahami cinta manusia, yang dia tahu hanyalah dia tidak ingin ayahnya Karmila, Andaru, tetap dalam keadaan seperti itu, kering kerontang, bagai ranting. Mati.“Dia sudah lama mati. Buat apa lagi?” Dirga bertanya, tidak mengerti, meski secuil kecemburuan pelan-pelan menggerogoti batinnya, dan berteriak di dalam kepalanya, “Bagaimana bisa aku bersaing dengan orang mati?”“Hanya butuh sedikit darah lagi, maka Andaru akan bangun.” Kandita menjentikkan jari, sebuah cawan kecil muncul dari ketiadaan, cawan berisi cairan lengket, anyir, berwarna merah pekat.“Andaru, jadi itu nama suamimu? Ah, mantan!” Dahi Dirga mengernyit. “Lalu cawan yang ada di tanganmu itu. Apakah itu darah? Darah siapa?” Dirga tetap bertanya meski yakin cawan itu tidak berisi minuman biasa atau sekadar anggur. Tidak ada yang biasa-biasa saja dalam hidup atau pun diri Kandita.Kandita tersenyum penuh rahasia. “Kamu pikir untuk apa aku susah payah dan mau repot-repot melatihmu ilmu kanuragan, menurunk
Tanpa pernah disangka oleh Kandita, Dirga melompat ke atas ranjang, tangannya mencekik mayat Andaru yang baru saja bergerak-gerak. Mata Andaru memelotot, erangan parau keluar dari kerongkongannya.“Jangan!” Kandita menarik Dirga kuat-kuat.Kandita memang berbadan kecil, tetapi memiliki tenaga dalam yang sanggup mematahkan tulang seorang lelaki dewasa. Penampilan bisa menipu, sama seperti raut wajah Kandita yang cantik dan lembut, tetapi menyimpan kekejian luar biasa di dalam hatinya. Dia mungkin seorang peri, dan seperti kebanyakan peri lainnya, Kandita tidak punya hati.Tubuh besar Dirga melayang ke udara, menghantam tembok kamar, menjatuhkan beberapa lukisan kematian yang sudah diam-diam diambil Kandita dari kamar Karmila untuk dijadikan pajangan kamar rahasia, tempat mereka berada saat itu. Andai saja Dirga manusia biasa yang tidak pernah mempelajari tenaga dalam dan ilmu kekebalan, dia pasti sudah tewas, dilempar dengan kekuatan sebesar itu hingga membuat retakan di dinding.Namun
Di rumah sakit, Karmila menunggui Hendi dengan gelisah. Ambulans yang dia panggil tidak hanya membawa Hendi tetapi sekaligus juga Nurlaila. Hendi segera masuk ruang operasi sementara Nurlaila dirujuk ke rumah sakit jiwa. Untuk sementara waktu Nurlaila harus menghabiskan hidupnya sementara di rumah sakit jiwa sebab kali itu apa yang dilakukannya sudah sangat berbahaya. Nurlaila bisa saja benar-benar membunuh Hendi.Kondisi Hendi kritis, lukanya sudah mulai infeksi dan dia juga sudah kehilangan terlalu banyak darah. Sebelum dia masuk ruang operasi, dokter mengatakan kepada Karmila untuk mempersiapkan hati akan kemungkinan terburuk.“Tolong, Dok, selamatkan Bang Hendi!” Karmila berkata sambil memohon-mohon.Dokter itu menepuk-nepuk pundak Karmila, berusaha menenangkannya. “Kami berusaha yang terbaik. Saat ini pasien membutuhkan banyak kantung darah. Golongan darahnya B, dan kebetulan hanya ada satu kantung di sini, padahal kami butuh setidaknya empat kantung darah.”“B? Golongan darah sa
Hardikan Ki Gendeng bagai musik indah di telinga Nurlaila. Dia tahu, siluman ular itu akan membantunya sama seperti yang pernah dia lakukan saat dirinya terjebak di alam jin waktu itu. Ki Gendeng akan menuntunnya, membantunya menghalau bayangan gelap yang senantiasa mengacak-acak kewarasannya.“Ki, benar itu kamu? Tolong, selamatkan aku!” Nurlaila bergumam di batas kesadarannya. Dia berjuang melawan efek obat bius.“Berat sekali nasibmu.” Ada kesedihan dalam suara Ki Gendeng. “Aku mungkin bisa membantumu saat kita ada di duniaku. Tapi di sini, aku tidak berhak mencampuri urusan manusia.”Seiring dengan makin jelasnya suara Ki Gendeng dari dalam kepalanya, kesadaran Nurlaila terlempar semakin dalam, ke suatu ruangan hampa, putih. Nurlaila merasakan kepalanya ringan, saat dia membuka mata, dia tidak lagi berada di dalam kamar perawatannya. Tidak ada ranjang rumah sakit, tidak ada apa-apa, bahkan tidak ada dinding-dinding yang membatasi. Dia bebas tanpa terikat apa pun. Dan, di ruangan t
Nurlaila menolak untuk pulang ke rumahnya.“Tapi, Mah, kenapa?” Karmila tidak mengerti. Rumah sakit jiwa menurutnya adalah tempat yang terlalu mengerikan untuk ditinggali, belum lagi kemunculan semua entitas gaib yang senantiasa mengganggu Nurlaila. Tidak ada obat medis yang bisa menghalangi semua penampakan itu sebab kemunculannya bukanlah karena ketidakseimbangan neurotransmitter dalam kepala Nurlaila. Semua itu nyata, bukan halusinasi. Karmila tahu.“Akan lebih aman kalau aku tetap di sini.” Nurlaila memandang Karmila dengan mata basah, tangannya gemetar.“Aman gimana, Mah? Aku bisa mengurusi Mama di rumah. Mama akan jauh lebih baik jika tinggal di rumah sendiri daripada di sini. Enggak akan ada lagi yang bisa ganggu Mama.”Nurlaila menggeleng, bersikeras. “Aku enggak bisa selamanya bergantung kepadamu, Sayang.” Dia membelai lembut rambut Karmila, menatapnya penuh kasih. “Bertemu denganmu adalah sebuah berkah. Mungkin ini balasan atas kebaikan yang pernah dilakukan almarhum orangtu
Operasi Hendi memang berjalan lancar, tetapi dia belum juga siuman. Kondisi Hendi mengingatkan Karmila akan kondisi Nurlaila dahulu. Nurlaila juga pernah berada dalam koma tanpa sebab yang jelas. Tak ada ilmu kedokteran mana pun yang mampu mengatasinya.“Bang, jangan lama-lama main di dunia sana. Ayo, pulang, aku nunggu kamu di sini.” Karmila berkata lirih sambil menyeka tangan Hendi dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat.Di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Karmila menghabiskan waktunya di sisi Hendi, menanti lelaki itu membuka matanya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, sama seperti halnya dengan tim dokter di sana, untuk membuat Hendi siuman. Semuanya tergantung dari berapa keras usaha Hendi untuk mau kembali. Sebab, bukan karena sakitnya dia tidak sadarkan diri seperti itu, melainkan karena rohnya sendiri yang terjebak di alam lain.**“Selamat datang, Hendi!”Hendi memandang heran ke seorang perempuan yang ada di hadapannya, menyambutnya dengan cara seorang kekasih
Sosok Anggita perlahan-lahan bergerak. Hendi mendesah lega, meski dalam hatinya dia heran sendiri dengan reaksinya. Sebab, kalau benar Anggita alias Kanjeng Ratu tewas saat itu, bukankah dia akan otomatis terbebas dari semua sumpah dan perjanjian apa pun? Kemudian, Hendi menduga bahwa bisa jadi reaksinya itu karena perubahan karakter Anggita. Entah mana karakternya yang sejati, Hendi masih bertanya-tanya. Kanjeng Ratu yang kuat dan kejam, atau Anggita yang lemah dan gelisah?“Apa yang terjadi kepadamu?”“Semua yang kamu katakan benar. Di sini aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah salah satu pelayan dari penguasa yang sesungguhnya, ratu yang sesungguhnya.” Anggita bicara. Dia duduk bersimpuh, sama sekali tidak merasa terganggu dengan debu-debu kuning yang menyelimuti tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sosoknya saat itu lebih menyerupai berhala debu. Tatapan kosong, diam, tak bergerak.“Jadi kau sungguh-sungguh bukan Kanjeng Ratu?”Patung Anggita bergerak sedikit, merontokkan d
Mata Hendi berkilat-kilat mendengar penjelasan Anggita. “Berikan liontin itu!” Dia berpikir itu adalah kesempatan yang tak akan datang lagi, menghancurkan Kanjeng Ratu, sosok gaib yang menjadi ancamannya, mimpi buruknya, terornya, untuk selama-lamanya.Anggita balik memandang Hendi dengan wajah pucat. Dia bisa saja menyerahkan liontin itu, tetapi setengah dari kekuatannya akan hilang. Mustahil baginya untuk bertahan di dunia yang sekarang ditinggalinya jika dia melemah. Makhluk-makhluk yang lain akan dengan mudah menghancurkannya, meremuk tubuhnya, memisah-misahkan tangan, kaki, dan kepalanya. Anggita pikir seandainya dengan begitu dia akan tewas untuk selamanya, mungkin itu tidak akan telalu buruk. Tetapi, dia tahu, angin akan datang menyatukan kembali semua anggota tubuhnya, memasukkan udara ke dalam tenggorokannya, memberinya hidup sekali lagi, lagi, dan lagi, sampai waktunya benar-benar sudah habis.Setelah itu, mereka kembali akan mempermainkannya.“J-jangan. Aku bersumpah, Kanje