Bagian 80
Mas Vadi memutuskan untuk tidak menyampaikan salam perpisahan kepada seluruh staf rumah sakit. Katanya mending nanti saja saat menyebar undangan. Ya, aku sih, oke-oke saja. Lagian, ini tengah jam kerja. Kehadiran kami yang keliling ruangan atau setidaknya berkabar kepada staf yang dikenal, kemungkinan bisa mengganggu aktifitas kesibukan mereka. Mending langsung pulang untuk menjemput Ibu untuk keliling mencari ruko, begitu ucap Mas Vadi.
Kami berdua pun kembali masuk ke mobil sedan miliknya, setelah menyalami dua tukang parkir yang kebetulan tengah berjaga. Mang Ahmad dan Pak Dikin. Dua tukang parkir lama yang memang kami kenali. Wajah mereka tampak agak sedih saat kami katakan bahwa kami tidak lagi bekerja di sini terhitung mulai sekarang.
“Yah, Pa
Bagian 81 Aku yang sudah berpikir macam-maca, lekas mengambil posisi rileks dengan menyandarkan punggung di jok. Kumundurkan lagi sandaran tempat duduk ini agar aku bisa bernapas dengan agak lega. Bukan kenapa-kenapa. Sepertinya asam lambungku naik sebab stres yang tiba-tiba melanda pasca mendengar kabar bahwa Nadya tengah berbaan dua. Tuhan, aku hanya minta agar jalan hijrahku tak berat-berat amat. Baru saja kukenakan hijab hari ini, cobaan langsung menerpa dengan cukup hebatnya. Kehadiran Nadya yang sekonyong-konyong minta ditemui, tentu saja sanggup membuat jiwaku terguncang. “Ris, kamu mau kan, kalau kita menemui Nadya sebentar saja di rumahnya? Kasihan dia.” Mas Vadi mencoba terus tawar menawar denganku. Dia pasti tahu kalau aku ini sulit untuk menerima kenyataan bahwa sang mantan masih terus meminta belas kasihan
Bagian 82 Kami tiba di depan halaman rumah mewah milik Mas Vadi dengan sosok wanita berambut pendek seleher tengah duduk menanti di kursi teras. Mas Vadi tampak tergese turun dari mobil, sampai-sampai abai terhadapku yang duduk di sampingnya. Tak ada sepatah kata pun dari bibirnya. Entah itu berbasa basi untuk mengajakku turun bersama, atau minta izin untuk bicara empat mata dengan mantan kekasihnya tersebut. Siapa yang tak bakal sakit hati? Oke, aku pikir, akulah yang posesif dan terlalu sensitif. Namun, salahkah aku jika bersikap begini, saat kami memanglah sepasang kekasih yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan? Aku keluar dari mobil dengan langkah yang gontai. Kubanting pintu mobil agak keras, meskipun Mas Vadi enggan peduli dan lebih memilih setengah
Bagian 83 “I-iya …, Mas. Aku kira, kamu akan kembali pada Nadya.” Aku menunduk lagi. Menarik napas dalam-dalam demi mengusir sisa rasa pilu yang sempat menyergap. Meskipun hatiku kini jauh lebih tenang daripada tadi, tetap saja ada setitik rasa takut kehilangan. Aku pernah sekali gagal. Bagiku, memulai lagi dan lagi sebuah hubungan percintaan bukanlah suatu hal yang mudah. Maka, kali ini aku tak ingin gagal lagi. Cukuplah ini yang terakhir sampai aku dan Mas Vadi sama-sama menutup mata. “Tidak akan. Aku tidak bakal meninggalkanmu, hanya untuk kembali pada Nadya. Paham?” Suara Mas Vadi tegas dan penuh dengan penekanan. Tangannya sempat hinggap di bahuku, tetapi buru-buru dia tarik kembali. “Ayo, kita temui ibumu. Katanya mau cari ruko.” 
Bagian 84PoV Lestari Aku keluar dari ruang periksa dengan digandeng oleh Mama. Wajah Mama terlihat begitu berseri. Dia sedari di dalam tadi tak hentinya mengembangkan senyuman lebar. Entah apa maksudnya. Sementara aku, masih terhenyak dan belum sanggup untuk mengatakan apa pun selain diam seribu bahasa. “Tari, kamu kenapa, Nak? Kamu sedih?” tanya Mama saat kami baru saja keluar dari ruang tunggu praktik dokter kandungan. Aku menggelengkan kepala. Mencoba mengembangkan
Bagian 85PoV Lestari “Hahaha, ah, Mama! Sukanya bercanda terus.” Mas Tama langsung mengalihkan pandangannya dan kini duduk tegap di depan stir. Mama kemudian mencolek pinggangku, membuatku semakin tersipu sembari menunduk malu. “Cie, ada yang mukanya merah,” bisik Mama menggodaku. Aku tidak menjawab apa pun. Hanya diam sembari mengulum senyuman. Sementara itu, mesin mobil mulai dijalankan Mas Tama. Kami bertiga pun keluar dari area parkir praktik dokter kandungan. Sepanjang perjalanan, Mas Tama hanya diam seribu bahasa. Sementara itu, Mama sibuk bercerita kepadaku tentang banyak hal. Mula
Bagian 86PoV Tama Kehadiran Tiara yang sebenarnya sengaja kujadwalkan untuk berjumpa sekaligus ‘melamarnya’ di hadapan kedua orangtuaku, tiba-tiba berubah ambyar. Rencana rapi yang sudah kususun jauh-jauh hari, harus kurelakan untuk kandas begitu saja sebelum layar terkembang. Nasib malang memang tak pilah pilih siapa yang bakal disapanya. Aku yang rasanya sudah taat kepada perintah agama maupun orangtua, nyatanya harus mencecap rasa kecewa akibat gagal sebelum berperang. Tak pernah kusangka sebelumnya, bahwa Tiara telah memiliki tambatan hati. Seorang pilot yang pastinya menjadi idaman bagi perempuan mana pun, termasuk seorang polwan sepertinya. Polwan menikah dengan polisi itu sudah biasa. Namun, kalau calon suaminya ialah seorang pilot, memanglah epik. Aku sebagai pria saja menganggap wajar bila Tiara sudah ngebet
Bagian 87 Aku dan Ibu sempat terdiam cukup lama. Saling merenung, masing-masing memikirkan isi kepala yang rahasia. Aku sibuk menerka, bagaimana perasaan Bapak jika tahu istrinya begini, sedang Ibu entah apa. Wanita itu terlalu misterius. Sebagai anak kandungnya pun, aku sungguh tak memiliki kuasa untuk menebak secuil saja pikirannya. “Ris, ayo kita pergi. Kasihan Vadi menunggu.” Akhirnya, Ibu mengajakku untuk menyudahi kekalutan pikiran. Wanita itu menyeka sisa air mata di pipi dan sudut pelupuknya. Kuanggukkan kepala ke arah Ibu. Menggenggam jemarinya, mencoba untuk mengulas senyum agar wanita itu tenang. Tak sia-sia usahaku, Ibu pun langsung tersenyum lebar. Wajahnya telah menunjukkan seri yang sempat luput. Sudahlah. Kita sudahi saja apa pun yang me
Bagian 88PoV Lestari Aku sungguh terkesiap mendengarkan ucapan Mas Tama. Jawaban yang sungguh membuat hatiku sangat bebesar. Sempat berkecil hati sebab memikirkan perasaan Mas Tama yang bisa saja terganggu sebab terus dijodoh-jodohkan denganku, ternyata jawaban yang dilontarkannya malah membuatku begitu terperangah. “Ssst, jangan bilang seperti itu, Ri. Semua orang punya masa lalu. Tentang omongan Mama … ya, bagiku tidak masalah. Kita tidak tahu garis takdir, Ri.” Begitu katanya. Membuatku tak jadi berkecil hati atau rendah diri. Bagaikan tetes air yang menyirami kuntum layu, ucapan Mas Tama benar-benar berlaku sebagai booster untuk krisis kepercayaan diri yang kualami. “M-maaf, Mas ….” Namun, hanya itu yang bisa kukata