Terima kasih, masih mengikuti kisah Xander-Theodora. Ceritanya akan semakin seru loh. Pantengin terus ya. Terima kasih.- Teha
"Bagaimana kondisimu, Jud? Sudah baikan? Perutmu aman?" Kutodongkan sejumlah pertanyaan kepada pasien semalam yang masih berbaring dengan nyaman di atas tempat tidurku.Berkat provokasi Xander, aku terpaksa berlari pulang hanya untuk mendapati Judith masih terlelap. Ia baru terbangun ketika aku selesai mandi. Tahu begini tadi aku jalan kaki saja. Hah!"Masih sempat ke toilet beberapa kali, tapi sepertinya hari ini sudah tidak apa-apa," jawab Judith dengan suara malas.Wajar dia terlihat pucat, pasti semalam Judith kurang tidur karena sakit perut dan harus pergi ke toilet. Bangun tidur saja kesiangan!"Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Sudah kubilang kalau ada apa-apa cepat panggil aku di kamar sebelah," ujarku sedikit mengomel. Semalam sebelum berangkat ke kamar sebelah, aku sudah mewanti-wanti agar Judith memanggilku bila ia butuh bantuan."Bagaimana mungkin aku akan mengganggu kenyamanan sepasang suami istri yang sedang tidur bersama?" cibirnya dengan sindiran nyelekit yang tidak t
"Jangan macam-macam!" Teguran keras itu tak hanya mengagetkan Judith, tetapi aku dan Xander pun sedikit tersentak, lalu melihat sekilas satu sama lain. Tanpa sadar kami mengucapkan kalimat itu secara bersamaan. Kami memiliki kekhawatiran yang sama. "Kompak banget, ya, kalian berdua ini," kekeh Judith, tetapi jelas terasa sewotnya. Mimiknya berubah, wajahnya melengos, dan perhatiannya terfokus pada makanan di depannya, satu pertanda bahwa dirinya sedang ngambek. "Tidak baik seorang pemuda dan seorang gadis yang baru mengenal untuk pergi berdua. Tak baik untuk orang yang melihat, dan lebih tak baik lagi untuk mereka berdua," cakap Xander penuh pertimbangan. Hmm, mode bisnis menyala! Sejauh ini aku masih berusaha memahami cara Xander berpikir dan bersikap, dan meskipun belum berhasil seratus persen, aku selalu tahu ketika suamiku bersikap sebagai seorang pebisnis. Saat itu sikapnya sangat percaya diri, meyakinkan, dan sedikit mengintimidasi. "Ah, kau ini seperti ayahku saja."
"Barusan Mama telepon, katanya Adam dan Vanessa ke rumah Papa Mama, kita diminta ke sana, dan ... kita akan menginap," cakap Xander menerangkan perubahan rencana tiba-tiba ini.Apa? Menginap??? Aduh, bulu kudukku merinding!Sekadar berkunjung ke rumah mertuaku bukanlah masalah, tetapi menginap di sana??? Tak ada kamar khusus untukku, sebab bagi mereka kamar Xander adalah kamarku juga, dan kami dikondisikan sebagai pasangan yang saling mencintai, tak mungkinlah kami tidur terpisah."Tak perlu overthinking!""Astaga! Ngagetin aja sih!" Aku terpekik pelan tatkala Judith berbisik tiba-tiba. Tanganku refleks menumbuk lengannya, tetapi perempuan itu malah tersenyum meledek."Nikmati saja kesempatan berduaan lagi sama yayang. Semalam kayaknya masih kurang." Seusai membisikkan kalimat jahil itu Judith berlalu secepat pencuri yang menghindari kejaran massa, dan duduk di kursi belakang mobil.Pandai sekali dia menghindari pukulanku lebih lanjut. Diiringi desah menyerah, aku masuk ke mobil, dan d
Bab 1."Kamu ..., apa yang kau lakukan di sini???"Aku berseru kaget, saat melihat sosok pria di hadapanku.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Alex, kekasihku. Kepadaku, MC jelas-jelas menyatakan bahwa mempelai priaku telah menanti, tetapi, Alex tidak ada di panggung. Justru, saudara sepupunya lah yang berdiri dengan angkuh di sana."Di mana Alex?" tanyaku lagi ketika menyadari kealpaan calon suamiku.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ballroom, tetapi Alex sama sekali tak nampak batang hidungnya. Tiba-tiba aku mendapat firasat buruk akan hal ini.Lalu dengan air muka datar, pria angkuh itu melangkah mendekatiku. Aroma maskulin yang memikat semerbak di udara."Kau mencari suamimu, Theodora?” ucapnya dengan wajah yang sinis. “Perkenalkan, Xander—Alexander Noah Smith, suamimu" lanjutnya dengan yakin."Apa???"Ini pasti penipuan. Nama mereka memang sama, Alexander, tetapi calon suamiku bukanlah Alexander yang ini."Kau pasti bergurau, Xander.” Aku tertawa kosong. “Tolong, seriuslah
"Kamu pikir kamu hebat, Theodora?Apa yang kaulakukan ini sia-sia saja. Jika Xander mau, ia bisa dengan mudah menemukanmu, dan kau bisa bayangkan hal buruk apa yang bisa ia lakukan terhadapmu."Ucapan pedas itu terlontar dari seorang wanita muda yang di duduk di hadapan. Dialah Judith, sahabat sekaligus sosok yang membawaku lari dari pesta pernikahan sialan itu.Berkat bantuannya aku bisa bersembunyi di rumah mendiang neneknya di luar kota, yang kuyakin tak diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku."Jud, bagaimana bisa kau malah membela Xander ketimbang sahabatmu sendiri? Kau tidak lihat berita di televisi itu? Xander patut mendapatkannya, setelah apa yang dilakukannya kepadaku," gerutuku sedikit sewot.Padahal aku sedang tertawa puas, karena kekacauan di pesta pernikahan terkutuk itu. Xander pasti malu, sebab ada banyak kenalan dan rekan bisnisnya yang melihat. Bahkan para wartawan telah menjadikannya berita heboh di televisi maupun portal berita online. Aku sungguh puas, eh, Judi
"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku."Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan."Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya."Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!"
"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya."Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik."Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga."Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk
"Mama, ngapain sih mesti nanya seperti itu? Sudah jelas ....""Mama nggak ngomong sama kamu, Xander. Tutup mulutmu, dan makan saja!" tukas ibu mertuaku memarahi anak lelakinya.Waduh!Sesuai janjinya, suami abal-abalku telah mencoba untuk mengintervensi saat percakapan mulai menyudutkanku, tetapi Xander malah disemprot oleh ibunya. Jadi siapa yang akan kujadikan tameng? Aku harus menjawab apa, bila ibu mertuaku terus menekan?"Kalau mulutku ditutup, bagaimana aku bisa makan, Ma? Coba jelaskan," protes Xander tak terduga.Ucapan random itu terdengar begitu lucu. Ayah Xander terkekeh pelan, sementara air muka sang ibu terlihat merengut lucu."Bukan begitu juga maksud Mama," timpalnya bersungut-sungut. "Mama lagi ngomong sama istrimu, kamu tak perlu ikut campur, makan sajalah. Toh ini juga menyangkut masa depanmu."Walaupun terkesan rewel, ibu mertuaku ini sebenarnya sangat perhatian.Aku tahu, ini adalah caranya memastikan bahwa anak lelakinya tidak akan ditinggal minggat lagi oleh istr