Hari berganti malam, Adnan tengah mengerjakan tugas sekaligus mengulang materi sekolah di kamarnya bersama Nadhin yang tampak telah tertidur pulas. Sementara itu, Nadina tampak sibuk di ruang tamu dengan satu laptop di meja dan beberapa berkas kepengurusan pondok. “Nadina, sudah malam, Nak! Lanjutkan saja besok.” Aminah berjalan mendekati Nadina lalu duduk di hadapan menantunya itu dan mengamati betapa sibuknya Nadina detik itu. “Tinggal sedikit lagi, Umi. Sekalian saja Nadina selesaikan sekarang. Takut besok tidak sempat mengerjakannya,” papar Nadina sebentar melirik Aminah lalu kembali fokus dengan pekerjaannya di meja itu. “Kamu dan putramu sama saja. Kalau tidak diperingatkan tetap berada di balik meja dan membaca buku juga deretan tulisan itu seolah tanpa rasa lelah!” pekik Aminah. Nadina segera mengangkat kepalanya memandang Aminah. “Lho, Adnan belum tidur, Umi? Tadi Adnan sudah pamit untuk tidur, bahkan Nadina sudah mengantarnya ke atas ranjang bahkan menunggu hingga Nadhi
Hari berganti, tepatnya jam pulang sekolah Adnan. Kali ini Nadina menjemput Adnan dengan tepat waktu namun sendirian tanpa Nadhin. Perasaannya sedikit cemas dengan berita yang akan ia bawa untuk sang guru itu. Beberapa saat kemudian, dari arah kelas satu, beberapa murid mulai berlari keluar kelas dan menuju orang tua mereka masing-masing. Nadina tahu, jam terakhir adalah jam matematika, dan karenanyalah, sebelum Adnan yang menghampirinya, ia berniat untuk menyusul ke kelas untuk menemui guru putranya itu. Saat ia berada di depan pintu, tampak seorang anak lelaki yang mencium tangan sang guru sebagai bentuk pamitnya, anak itu tampak bahagia dan memberikan ekstra pelukan. Begitupun dengan sang guru yang tampak tersenyum tulus dan mengelus pucuk kepala anak itu. “Assalamualaikum, Pak Rayyan!” pekik Nadina memecah ruang kelas kosong itu. Seketika Rayyan dan Adnan menoleh. Seperti para anak pada umumnya, Adnan segera berlari ke arah Nadina, memeluknya lalu juga bersalaman dengan sang i
Waktu makan malam akhirnya tiba. Tepatnya, malam itu setelah maghrib, Nadina, Ali, Aminah, juga kedua bocah telah bersiap menyambut kedatangan Rayyan di dalem. “Apa kamu sudah memberikan alamat yang benar, Nadina? Kamu memberi tahu nama pondok kita bukan? Itu akan lebih memudahkannya!” tanya Ali. “Astagfirullah! Nadina lupa, Abi! Nadina tidak bilang jika tinggal di pondok. Tapi alamat pada data siswa itu jelas kok, Abi! Apa Nadina perlu menghubunginya?” tanya Nadina ragu. Sementara itu, Rayyan dengan mobilnya tampak sedikit terkejut saat alamat yang Nadina berikan pada data siswa adalah sebuah pondok besar di kota itu. “Apa ia dan keluarga besarnya adalah santri pondok ini? Bagaimana aku akan bertamu? Apakah seorang santri bisa dijenguk sembarangan?” batin Rayyan sembari mengetuk-ketuk stir mobilnya dan memandang pondok besar yang ada di hadapannya itu. “Tunggu, bagaimana mungkin satu keluarga besar tinggal di pondok? Apakah ini memang pondok untuk keluarga turun temurun? Tapi ta
Kini semua orang duduk di ruang tamu, meskipun saat ini ruang tamu dalem telah disulap menjadi ruang makan darurat, namun ada satu sisi tempat sofa yang mereka gunakan untuk berbincang. “Abi, menunggu apa lagi? Abi mau membuat umi dan Nadina terus penasaran seperti ini?” tanya Aminah menoleh pada Ali yang masih diam dan tersenyum tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan pemuda itu. “Jadi begini, Umi, Nadina! Dulu, sewaktu Nadhif masih berusia tujuh sampai delapan tahun, abi pernah mengajak Nadhif jalan-jalan ke museum di luar kota. Nah waktu pulang, Nadhif ini minta dibelikan mie ayam, waktu abi sudah memesan, dan mau ambil dompet, dompet abi hilang!” “Abi panik, akhirnya jam tangan abi yang menjadi jaminan untuk tukang mie ayam itu. Waktu abi kembali ke tempat Nadhif dengan semangkuk mie ayam, Nadhif hilang!” Aminah dan Nadina tampak mendengarkan dengan saksama sementara Rayyan tampak tak hentinya menebar senyuman mengingat kembali kejadian itu. “Lalu?” sahut Aminah tak sabara
Sajian makan malam kini berderet di meja makan yang telah dikelilingi seluruh anggota keluarga juga tamu mereka malam itu. Makanan yang tampak lezat pun dengan lahap masuk ke dalam setiap mulut. Beberapa pujian kerap Rayyan berikan setiap menu masakan baru memasuki mulutnya. “Masakannya sangat lezat, Umi! Umi sangat pandai memasaknya!” pekik Rayyan. “Pak Rayyan salah! Semua ini Ibu yang masak! Adnan juga ikut bantu! Bantu mencicipi!” pekik Adnan menyela seketika membuat Nadina menoleh ke arahnya dan sedikit mengode agar tak lagi melanjutkan perkataannya. “Ah, begitu? Wah, maaf sudah salah sangka. Tapi siapa pun yang memasaknya, ini sangat enak! Saya serius! Terima kasih untuk makanannya, Ibu Nadina!” pekik Rayyan. Nadina tak begitu membalas selain hanya anggukan kecil dan senyum tipis sembari kembali menyuapi Nadhin untuk menghalau tatapan dengan Rayyan. Beberapa perbincangan kecil dilakukan oleh Ali dan Aminah bersama Rayyan, sementara Nadina memilih merapikan meja makan. Namu
“Umi, Nadina mohon jangan kembali membahas ini, Umi,” pinta Nadina dengan wajah yang menunduk. Jarinya saling bertaut dan dimainkan sementara matanya tampak mulai berair. Aminah berjalan mendekati Nadina lalu duduk di sebelah sang menantu dan sebentar menarik napas sabar. “Mengapa tidak, Nadina? Putra umi, Nadhif benar! Kamu masihlah Nadina, seorang wanita yang cantik, muda, dan baik hati. Kamu berhak mendapatkan kehidupan baru. Umi rasa kehadiran Rayyan adalah sebuah simbol atau pertanda untuk lembaranmu yang baru,” “Umi sangat senang saat melihat Adnan menggandeng tangan kalian berdua tadi. Kamu pasti juga melihat sendiri bagaimana putramu yang amat pengertian itu bahagia berada di sekitar guru matematika itu, bukan?” lanjut Aminah. “Bagaimana bisa Umi mengatakan semua ini meskipun baru sekali bertemu dengannya, Umi?” ujar Nadina. “Lalu bagaimana denganmu dan Nadhif dulu? Abimu yang mengenalmu dan keluargamu. Bukan umi. Keyakinan itu datang tanpa basa-basi Nadina. Tidakkah kau
Berlatar sekolah Adnan, Rayyan tampak semakin memperhatikan Adnan dan memberikan perhatian lebih terhadap bocah lelaki itu baik saat proses mengajar maupun di luar kelas. Seperti yang diduga, Adnan pun senang dengan perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh guru berwajah mirip ayahnya itu. Menurutnya, setidaknya ia bisa membayangkan kenangan masa lalu bersama sang ayah dengan wajah Rayyan yang terkesan lebih nyata dibandingkan foto yang sering ibunya tunjukkan. Menyedihkan. “Adnan bawa makan siang? Mau makan di kantin, Nak?” tanya Rayyan yang menghentikan Adnan bersama kawannya keluar dari kelas saat jam istirahat itu telah berdenting. “Eh, ada Pak Rayyan! Iya, Pak! Adnan sama Ciko mau makan di kantin sama temen-temen juga! Bapak mau ikut? Hari ini Adnan bawa ikan bakar buatan ibu, lho!” pekik Adnan bangga. “Adnan makan saja dulu bersama teman-teman, ya! Setelah makan, boleh bapak bertemu Adnan? Bapak ada sedikit pertanyaan untuk Adnan!” tanya Rayyan dengan wajah harap-harap
“Adnan anak yang pinter! Harus baik-baik jaga ibu dan adik Nadhin, ya! Harus patuh dan nurut sama ibu, jangan bikin ibu sedih, okei?” tutur Rayyan. “Siap, Pak!” Adnan pun lanjut melahap makanannya. Usai kotak makanan itu kosong tak bersisa, Adnan tampak meneguk minumannya seolah rasa haus telah minggat dari tenggorokannya. Kini kedua terlibat sunyi kembali. Beberapa siswa dan siswi tampak berlarian ke sana kemari, beberapa memainkan bola sepak, bola basket, dan memakan jajan kantin meskipun dengan berjalan. Adnan meluruskan kakinya sembari menggerak-gerakkannya pelan. “Pak Rayyan kalau kangen sama ayah dan ibunya Pak Rayyan, bapak ngapain?” tanya Adnan tiba-tiba tanpa menatap ataupun menoleh ke arah Rayyan. Pemuda itu pun ikut menyelonjorkan kakinya sebelum akhirnya mendongakkan kepala dengan mata tertutup. “Waktu kecil, bapak cuma bisa nangis dan marah sama Allah, Adnan. Kalau tidak begitu datang ke makam beliau dan memainkan tanah kuburannya sambil sesenggukan. Pak Rayyan kec