Bambang menghembuskan nafas kasar, pikirannya mengawang-awang, teringat akan wajah cantik istrinya yang tiga bulan lalu baru saja ditalaknya.Yah sudah tiga bulan ini Bambang tinggal di Tasikmalaya, kota kelahiran orangtuanya, di sini Bambang membantu pamannya berkebun. Tampak matahari akan segera tenggelam, Bambang mengusap peluh yang menetes dengan handuk kecil yang sudah lusuh, beranjak pergi dari gubuk kecil tempatnya melepas penat setelah berkebun.Disusurinya jalan rerumputan dengan perlahan, matanya menatap langit yang sebentar lagi berwarna gelap. Entah kenapa hari ini terasa begitu melelahkan bagi Bambang, dadanya sesak mengingat istrinya yang sangat dia rindukan, namun rasa itu tertutupi rasa ego seorang lelaki yang merasa telah benar-benar dibohongi selama ini.Setelah berjalan lebih kurang lima belas menit sampailah Bambang di jalan raya pedesaannya, tampak lalu lalang orang cukup ramai, tampak juga beberapa pedagang berseliweran disana."Maaf Mang," sapa Bambang pada peda
"Ris," panggil Karin lembut sambil menatap wajah pucat Risti yang sudah tiga bulan ini belum berubah warna. Ini tepatnya tiga hari sudah Risti dirawat di sebuah rumah sakit dikarena mual dan muntah-muntah yang berlebihan di trisemester awal kehamilan Risti.Risti menoleh wajah sahabatnya."Apa lo sudah dapat kabar Bambang di mana?" tanya Risti lirih.Karin menggeleng lesu."Gue rindu hiks ...." tangis pilu Risti terdengar di dalam ruangan perawatannya."Ck, gue udh tanya pihak sekolah kembar juga, hasilnya sama, mereka bilang alasan pribadi tidak bisa menyebutkan dimana kembar pindah sekolah." terang Karin lesu"Ish, kenapa gue bisa bodoh banget gini jatuh cinta sama lelaki seperti Bambang." Risti masih terisak pelan."Kita ga pernah tau kapan cinta itu datang dan pergi dalam hidup kita Ris, lu harus sabar, Bambang masih muda, egonya tinggi, ternyata kesalahan lu diawal sudah melukai harga dirinya sebagai lelaki, dan lu harus terima itu sebagai konsekuensi, membiarkannya tenang untuk
Bau menyengat dari ruang operasi sangat membuat Bambang frustasi, dadanya sesak tak tertahan, air mata sudah mengering di pipinya seakan tak mampu lagi untuk mengeluarkannya. "Ya Allah apakah ini yang harus aku terima untuk menghapus semua dosaku kepada istri dan anakku," gumamnya lirih dalam hati.Sudah dua jam lebih Risti di dalam ruangan operasi, Bambang gelisah mondar-mandir di depan ruang operasi, sedangkan Karin dan Edward duduk dengan wajah beku. Rizal menghampiri setelah mengantarkan kembali ayahnya ke rumah."Sabar ya Bro, semoga anak dan istri lo bisa bertahan," ucap Rizal lemah sambil menepuk pundak Bambang menenangkan."Gue yang salah Zal, gue bukan suami dan ayah yang baik, gue..." Bambang kembali terisak tak sanggup melanjutkan kata-katanya, dipeluknya tubuh Rizal meminta kekuatan.Karin menetap Bambang dengan tatapan kasihan, dia tahu bahwa saat ini Bambang sangat menyesal atas perbuatannya.Klleeeekkk....Pintu kamar operasi terbuka. Bambang, Karin, Rizal juga Edward m
5 tahun kemudian"Riiss," panggil seseorang bersuara berat di sana, yang sedang terbaring lemah di tempat tidur karena serangan darah tinggi yang membuatnya mengalami stroke ringan.Risti yang sedang mengupas buah apel melihat ke asal suara."Ada apa ayah?" jawab Risti sambil tersenyum manis lalu mendekati ayahnya sambil membawa semangkuk buah apel yang telah dikupas."Hari ini jadikan keluarga Munos datang ke rumah?" tanya ayah lirih."Iya Ayah, insya allah habis isya.""Sudah disiapkan semuanya? makanan, snack atau minuman?" tanya ayah lagi."Sudah Ayah, tidak perlu Ayah pikirkan, itu biar Risti dan Bik Sumi yang membereskan. Hari ini Risti mau masak soto betawi dan siomay buat keluarga Munos," jawabnya semangat."Alhamdulillah anak ayah semakin dewasa, semakin pintar masak, semakin sabar, tinggal tunggu dilamar saja nanti malam," puji Pak Hermawan sambil tersenyum dan memegang tangan Risti.Risti membalas genggaman sang ayah, lelaki yang selalu menemaninya dan selalu menjadi ayah s
"Ris, gue udah cafe ya dengan Rizal, lo di mana?" tanya Karin melihat jam di tangannya Risti sudah telat lima belas menit dari waktu perjanjian."Bentar lagi sampe kok tungguin ya," balas Risti di seberang sana."Yang, aku kok deg-deg an mau ketemu Mbak Risti, lebih horor dari pada ketemu ayah dan ibu kamu." Rizal bergidik."Emangnya sahabat gue pocong," rajuk Karin sambil manyun."Jangan manyun gitu dong ah, ntar tambah ubannya lho," goda Rizal."Ishh, apaan sih?" Karin terlihat kesal dengan sikap Rizal."Maaf ya Mbak Karin sayang, jangan ngambek dong." Karin masih menghindarkan pandangannya dari mata Rizal.CuuppSecepat kilat Rizal mencium pipi gembil milik Karin."Ihh ... jangan cium-cium!" Karin mengusap kasar pipinya."Waduh, masih sore udah mesum aja nih calon penganten." Suara bening Risti terdengar di telinga Karin dan Rizal, posisi mereka masih membelakangi Risti. Mereka pun menoleh."Kamuu Rizal?" tanya Risti."Rizal ini....!" mata Risti meminta penjelasan kepada Karin.Ka
Lala dan Lulu berlari menghambur kepelukan Risti, meluapkan rasa rindu mereka. Risti menyambut hangat begitupun ia sangat merindukan Si kembar."Teteh apa kabar?" tanya Lala sambil terisak"Teteh sehat, Lala dan Lulu sehat juga kan?" tanya Risti menatap bahagia wajah kembar.Mereka mengangguk. Lalu mengeratkan kembali pelukammya kepada Risti."Teteh pake jilbab sekarang ya, Lala hampir ga ngenalin soalnya tambah cantik," puji Lala tulus."Wah, ada yang minta traktir es krim nih kayaknya." goda Risti."Ehh, ngomong-ngomong kalian sedang apa di sini, Sayang?""Kami kunjungan ke beberapa Museum Teh dari sekolah, ini lagi istirahat sholat dan makanmakan, " jawab Lala riang. Kedua remaja itu tidak berkedip memperhatikan mantan kakak ipar mereka yang semakin cantik. "Memang sekarang kalian tinggal di mana?""Di Bandung Teh, daerah Cinambo.""Teteh ga nanyain kabar Mas Salman Khan?" kekeh Lala.Risti tersenyum malu. Teringat Bambang yang ngotot ingin dibilang mirip artis India Salman Khan.
Munos jadi uring-uringan setelah menerima telepon dari wanita itu, dua hari yang lalu.Flashback"Kamu jangan bercanda ya!" bentak Munos dari sebrang sana."Saya jujur Pak, ini bayi Bapak," ucap wanita itu sambil terisak."Gugurkan!" perintah Munos."Tidak.""Aku bilang gugurkan!" bentaknya lagi.Tuutt...tuut...Flashback offMunos memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia meskipun jadwalnya masih harus seminggu lagi.Sopir menjemputnya di bandara Cengkareng.Beepp...beepp... Ponsel Munos berbunyi. MamaNama yang tertera di layar ponsel."Kamu sudah sampai, Nak?""Sudah Mah, ini sudah menuju kantor.""Baiklah hati-hati di jalan, apa kamu sudah memberi tahu Risti kamu sudah kembali Nak?""Ya Allah lupa Mah, iya yaa ... ini aku langsung kabari Risti.""Iya Mah Assalamualaikum." Munos menutup telponnya."Ya ampun gara-gara cewek sialan itu gue ampe lupa sama tunangan sendiri!" umpat Munos kesal.Sesampainya di kantor, Munos bergegas ke ruangannya."Naik ke atas aku perlu bicara," isi
"Aku tidak suka kebohongan, kamu tahu, kan?" nada menekan Risti tertuju lekat di netra milik Munos."Siapa yang berbohong sayang, itu maksudnya adalah milik keponakan mamah, sepupuku Nabila, tadi pagi aku mengantarkannya ke dokter kandungan." Munos beralasan tanpa berani menatap Risti.Risti menatap lekat disana, sedikit ragu."Oke ... kita telpon Nabila sekarang ya." Munos memencet no hp Nabila sepupunya, sebuah kebetulan Nabila memang sedang hamil."Tidakk perluu, aku percaya," sahut Risti akhirnya. "Hhhiiuuff...hampir saja." Munos berucap lega dalam hati, lalu melanjutkan fokus dengan riuh jalanan di ibu kota.Mata Risti tak dapat terpejam, pikirannya melayang jauh, tak lama lagi ia akan melepas status jandanya namun masih ada yang mengganjal dengan perangai Munos hari ini, dan obat itu."hhhhmm ... entahlah aku harus benar percaya atau tidak." Risti memandang lemas benda pipih yang berlogo apel digigit, saat benda itu bergetar.Ddrrtt..ddrrtt..Karin."Bagi tips bagaimana agar bi