Anisya kembali menyodorkan ponsel ke arahku. Kedua matanya membelalak, memintaku untuk segera menyambut pertanyaan dari Bang Hasan. Ingin rasanya menolak, agar Bang Hasan tahu bagaimana kelakuan dari istrinya, namun sedikit rasa tidak tega membuatku menerima kembali ponsel itu dan menjawab salam dari Bang Hasan.
“Waalaikumsalam, Bang. Hm, aku hanya ....”
“Abang? Kenapa enggak pulang? Hiks ...,” potong Anisya.
Gadis itu akhirnya tidak tahan untuk tetap diam. Dia merebut kembali ponsel dan membawa serta bersamanya. Anisya membuat jarak dengan kami hingga dua meter jauhnya, terdengar jika gadis itu mulai sesegukan sembari memanggil-manggil nama suaminya.
“Abang? Kenapa?” tanyanya lagi. Isakan Anisya semakin keras, hingga pertanyaan yang dia ungkapkan seakan hilang ditelan tangisan.
“Kenapa bertanya, Dek? Bukankah harusnya kamu sadar dan introspeksi diri?” Balasan dari Bang Hasan terdengar.
Aku memutuskan untuk menemui Bang Zaky setelah berdiskusi banyak hal dengan Allah, juga kedua sahabat baikku. Entah mengapa, saat ini aku belum ingin menyampaikannya pada mamak. Biarlah semuanya berjalan seperti seharusnya, dan setelah semuanya pasti, maka mamak akan segera kuberi tahu.Sesuai dengan perjanjian kami semalam, dalam sebuah pesan singkat aku menyampaikan kepada pemuda itu tentang keinginanku untuk berbicara tatap muka dengannya. Sambutannya begitu ramah, bahkan meminta untuk menjemputku ke kampus, yang tentu permintaannya aku tolak dengan alasan yang tidak bisa dia elak. Akhirnya, hari ini setelah memantapkan hati, aku mendatangi Bang Zaky ke kafe miliknya tempat dimana kami bertemu dua minggu lalu. Suasana kafe terlihat masih sama, namun pengunjungnya jauh lebih banyak dibanding hari saat kedatangan pertamaku.Pintu tempered yang mengkilap terbuka saat aku datang. Salah satu waiters yang bertugas menyambut tamu mengukir senyum begi
Sejenak aku menimbang-nimbang pilihan berjalan melewati pasangan baru itu atau memilih jalan memutar lewat pintu belakang agar bisa menghindari Bang Hasan dan istri cantiknya. Namun tanpa sengaja, aku malah mendapat tatapan hangat dari Bang Hasan, yang seakan-akan sedang menyambutku pulang. Sebuah tatapan yang sedikit berbeda, dengan yang selama ini dia tunjukkan.Terpaksa, agar Bang Hasan tidak menyadari jika aku menghindarinya, kedua kaki ini mulai berjalan melewati teras sederhana dengan atap yang rendah, tempat dimana kedua pasutri ini duduk bersama. Lagi-lagi ada rasa getir yang merambat paksa meski aku sudah berusaha keras untuk menepisnya. Sebab, sudah seharusnya, aku membuang jauh-jauh segala rasa tentang Bang Hasan, karena lamaran dari sepupunya telah aku terima.“Kamu pulang, Zahrah?” Bang Hasan mencegatku begitu aku melewati dirinya.Pemuda itu berdiri dengan kedua tangan yang tersimpan di saku. Senyumnya ramah, kedua mata beningnya memanc
Mamak, Anisya juga Bang Hasan, ketiganya menatap ke arahku, menunggui agar bibir yang kelu ini segera mengucapkan barisan kata yang ingin mereka dengar. Pandanganku ikut menyisir satu per satu dari tiga anggota keluarga di rumah ini. Menatap wajah mereka saja, membuatku begitu berat untuk menjelaskan tujuan utama dari kedatanganku.“Kamu dilamar, Nak?” Suara sengau mamak akhirnya memecah hening.Kuberanikan diri mengangkat wajah setelah tertunduk sejenak. Mencoba menerka-nerka apa yang tersembunyi di dalam batin wanita yang telah berjuang membesarkanku ini.“Siapa? Kapan? Kenapa enggak cerita?” Mamak mulai memberondongku dengan seribu tanya yang sudah bisa kutebak. Hanya saja, saat ini bibirku terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Rencana yang telah tersusun matang-matang selama perjalanan pulang tadi, hancur berantakan hanya karena satu orang yang pernah begitu dalam bermain di perasaanku.“Kamu akan menikah
Aku mematikan mesin motor tanpa berniat untuk turun. Bukannya bersikap tidak sopan, hanya saja ini bentuk penegasan terhadap Bang Hasan, jika aku tidak bisa berbicara dalam waktu lama, apalagi di lorong seperti ini.Pemuda itu mengerutkan kening karena melihat sikap acuh yang kutunjukkan saat ini. “Abang mau bicara apa? Sudah hampir gelap, kenapa ada di sini? Kasihan Anisya nyariin di rumah,” ingatku padanya. Sempat kulihat Anisya yang terus mengomel karena tidak dibawa Bang Hasan. Bisa dibayangkan, bagaimana mengamuknya gadis itu jika tahu, suaminya malah nyempil di sini.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Zahrah!”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, Bang. Tapi bener, kan? Sudah lewat jam enam sore, tiga puluh menit lagi adzan magrib dan Abang malah di sini,” jelasku sembari melirik jam mungil yang melingkar di lengan.“Kamu menghindari Abang? Kenapa melihat ke sembarang arah begitu, Zahrah? Orang yang kam
Tubuh ini terasa menegang setelah mendengar pengakuan dari perempuan berparas cantik itu. Hidung yang mancung, bibir tipis berpoles lisptik berwarna nude yang manis, riasan mata yang simple dengan bulu mata lentik alami dan alis yang indah. Belum lagi tubuhnya sangat ramping, kulit bening sehat dan penampilan yang modis. Sangat cocok jika mengaku sebagai istri dari pemuda tajir seperti Bang Zaky.Sedangkan aku? Tubuh sedikit berisi walau tidak over, dengan penampilan sederhana dan riasan yang selalu sederhana ini akan merasa minder jika berdiri bersebelahan dengan perempuan itu.Aku mengambil satu langkah mundur. Menatap keduanya dengan seluruh sisa kekuatan yang ada. Jika perasaanku hancur lebur saat mendengar Bang Hasan menikahi Anisya dulu, maka saat ini keadaannya tidak jauh berbeda.Kesekian kalinya, aku mengumbar sebuah senyum di atas luka yang berdarah bahkan mulai bernanah. Masuk ke tahap kronis, namun berusaha ditutupi dengan alasan akan sembuh dengan s
Aku menghabiskan beberapa menit dengan Bang Zaky setelah kepergian Maya. Lelaki itu terlihat kikuk, salah tingkah juga gugup hingga pelipisnya mengucurkan keringat. Saat itu, Bang Zaky berusaha keras menjelaskan padaku perihal mantan istri dan putri kecilnya yang bak bidadari. Masa lalu yang tidak pernah dia sebutkan sama sekali, karena menurutnya masa depanlah yang paling berarti.Aku bungkam saja, mengulas senyum agar lelaki itu tidak semakin gugup sembari mendengar kisah hidupnya. Hingga kepulanganku, Bang Zaky masih merasa bersalah, dia mengantarku dengan tatapan sayu, yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam pada dirinya sendiri.Hampir setengah lima sore, aku menyempatkan diri untuk salat asar lebih dulu di musalla yang disediakan kafe milik Bang Zaky sebelum berangkat pulang. Perjalanan pulang terasa lebih nyaman, karena pikiran tidak lagi terbeban dengan keadaan belum menunaikan kewajiban.Tidak butuh waktu terlalu lama, jam sibuk belum tiba saat motor
Aku berlari meski rok A yang melindungit tubuh bawah ini sedikit mengahalangi langkah. Tujuan dari pelarian ini adalah mobil Jazz putih yang baru saja dimasuki pemiliknya. Aku tidak bisa berhenti merutuki diri yang terlalu lamban memahami maksud dari perkataan Bang Hasan dan membiarkan pemuda itu lebih dulu meninggalkan kafe. Padahal, ucapan dari Bang Hasan begitu ambigue, mengundang banyak tanda tanya yang seharusnya segera aku mintai kejelasan.“Abang?” seruku sekeras mungkin. Namun mobil yang disetiri Bang Hasan, tetap melaju cepat melewatiku yang berdiri di parkiran.“Motor!” seruku lagi.Tanpa menjeda sedikit waktu pun, aku segera mendekati motor matik yang ikut datang bersamaku tadi. Meski hampir mustahil mengejar Bang Hasan, namun jiwa ini masih saja membara. Tidak ada salahnya mencoba, sembari berdo’a agar Bang Hasan terjebak lampu merah dan aku bisa menyusul pemuda itu.Berbagai pikiran jelek yang melintas satu per s
“Mak ... Anisya enggak mau,” lirih Anisya di dalam pelukan mamak. Dia terus menangis hingga isakan tangisnya tidak lagi terdengar jelas seperti sebelumnya. Air matanya seakan telah habis tidak bersisa.Sama halnya dengan Anisya, Mamak yang memeluk putri bungsunya juga menangis sesegukan. Tangan mamak begitu aktif mengelus punggung Anisya yang bergetar hebat, lalu beristigfar berulangkali demi menenangkan putri dan dirinya sendiri. Mungkin, mamak tidak pernah mengira, jika nasib putri-putrinya tidak akan semulus kisah cintanya dengan almarhum bapak.Aku yang hanya bisa berdiri di belakang keduanya, menjadi begitu bimbang. Rasa bersalah yang semakin menggunung karena melihat Anisya yang tidak berhenti menangis, membuatku tidak berani mendekati Anisya, apalagi mencoba menghiburnya. Meski apapun penjelasanku saat ini, sepertinya Anisya tidak akan pernah mempercayai ucapanku.“Ini semua gara-gara Kak Zahrah, Mak. Gara-gara Kak Zahrah! Dia iri sama N