Mamak, Anisya juga Bang Hasan, ketiganya menatap ke arahku, menunggui agar bibir yang kelu ini segera mengucapkan barisan kata yang ingin mereka dengar. Pandanganku ikut menyisir satu per satu dari tiga anggota keluarga di rumah ini. Menatap wajah mereka saja, membuatku begitu berat untuk menjelaskan tujuan utama dari kedatanganku.
“Kamu dilamar, Nak?” Suara sengau mamak akhirnya memecah hening.
Kuberanikan diri mengangkat wajah setelah tertunduk sejenak. Mencoba menerka-nerka apa yang tersembunyi di dalam batin wanita yang telah berjuang membesarkanku ini.
“Siapa? Kapan? Kenapa enggak cerita?” Mamak mulai memberondongku dengan seribu tanya yang sudah bisa kutebak. Hanya saja, saat ini bibirku terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Rencana yang telah tersusun matang-matang selama perjalanan pulang tadi, hancur berantakan hanya karena satu orang yang pernah begitu dalam bermain di perasaanku.
“Kamu akan menikah
Aku mematikan mesin motor tanpa berniat untuk turun. Bukannya bersikap tidak sopan, hanya saja ini bentuk penegasan terhadap Bang Hasan, jika aku tidak bisa berbicara dalam waktu lama, apalagi di lorong seperti ini.Pemuda itu mengerutkan kening karena melihat sikap acuh yang kutunjukkan saat ini. “Abang mau bicara apa? Sudah hampir gelap, kenapa ada di sini? Kasihan Anisya nyariin di rumah,” ingatku padanya. Sempat kulihat Anisya yang terus mengomel karena tidak dibawa Bang Hasan. Bisa dibayangkan, bagaimana mengamuknya gadis itu jika tahu, suaminya malah nyempil di sini.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Zahrah!”“Aku tidak mengalihkan pembicaraan, Bang. Tapi bener, kan? Sudah lewat jam enam sore, tiga puluh menit lagi adzan magrib dan Abang malah di sini,” jelasku sembari melirik jam mungil yang melingkar di lengan.“Kamu menghindari Abang? Kenapa melihat ke sembarang arah begitu, Zahrah? Orang yang kam
Tubuh ini terasa menegang setelah mendengar pengakuan dari perempuan berparas cantik itu. Hidung yang mancung, bibir tipis berpoles lisptik berwarna nude yang manis, riasan mata yang simple dengan bulu mata lentik alami dan alis yang indah. Belum lagi tubuhnya sangat ramping, kulit bening sehat dan penampilan yang modis. Sangat cocok jika mengaku sebagai istri dari pemuda tajir seperti Bang Zaky.Sedangkan aku? Tubuh sedikit berisi walau tidak over, dengan penampilan sederhana dan riasan yang selalu sederhana ini akan merasa minder jika berdiri bersebelahan dengan perempuan itu.Aku mengambil satu langkah mundur. Menatap keduanya dengan seluruh sisa kekuatan yang ada. Jika perasaanku hancur lebur saat mendengar Bang Hasan menikahi Anisya dulu, maka saat ini keadaannya tidak jauh berbeda.Kesekian kalinya, aku mengumbar sebuah senyum di atas luka yang berdarah bahkan mulai bernanah. Masuk ke tahap kronis, namun berusaha ditutupi dengan alasan akan sembuh dengan s
Aku menghabiskan beberapa menit dengan Bang Zaky setelah kepergian Maya. Lelaki itu terlihat kikuk, salah tingkah juga gugup hingga pelipisnya mengucurkan keringat. Saat itu, Bang Zaky berusaha keras menjelaskan padaku perihal mantan istri dan putri kecilnya yang bak bidadari. Masa lalu yang tidak pernah dia sebutkan sama sekali, karena menurutnya masa depanlah yang paling berarti.Aku bungkam saja, mengulas senyum agar lelaki itu tidak semakin gugup sembari mendengar kisah hidupnya. Hingga kepulanganku, Bang Zaky masih merasa bersalah, dia mengantarku dengan tatapan sayu, yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam pada dirinya sendiri.Hampir setengah lima sore, aku menyempatkan diri untuk salat asar lebih dulu di musalla yang disediakan kafe milik Bang Zaky sebelum berangkat pulang. Perjalanan pulang terasa lebih nyaman, karena pikiran tidak lagi terbeban dengan keadaan belum menunaikan kewajiban.Tidak butuh waktu terlalu lama, jam sibuk belum tiba saat motor
Aku berlari meski rok A yang melindungit tubuh bawah ini sedikit mengahalangi langkah. Tujuan dari pelarian ini adalah mobil Jazz putih yang baru saja dimasuki pemiliknya. Aku tidak bisa berhenti merutuki diri yang terlalu lamban memahami maksud dari perkataan Bang Hasan dan membiarkan pemuda itu lebih dulu meninggalkan kafe. Padahal, ucapan dari Bang Hasan begitu ambigue, mengundang banyak tanda tanya yang seharusnya segera aku mintai kejelasan.“Abang?” seruku sekeras mungkin. Namun mobil yang disetiri Bang Hasan, tetap melaju cepat melewatiku yang berdiri di parkiran.“Motor!” seruku lagi.Tanpa menjeda sedikit waktu pun, aku segera mendekati motor matik yang ikut datang bersamaku tadi. Meski hampir mustahil mengejar Bang Hasan, namun jiwa ini masih saja membara. Tidak ada salahnya mencoba, sembari berdo’a agar Bang Hasan terjebak lampu merah dan aku bisa menyusul pemuda itu.Berbagai pikiran jelek yang melintas satu per s
“Mak ... Anisya enggak mau,” lirih Anisya di dalam pelukan mamak. Dia terus menangis hingga isakan tangisnya tidak lagi terdengar jelas seperti sebelumnya. Air matanya seakan telah habis tidak bersisa.Sama halnya dengan Anisya, Mamak yang memeluk putri bungsunya juga menangis sesegukan. Tangan mamak begitu aktif mengelus punggung Anisya yang bergetar hebat, lalu beristigfar berulangkali demi menenangkan putri dan dirinya sendiri. Mungkin, mamak tidak pernah mengira, jika nasib putri-putrinya tidak akan semulus kisah cintanya dengan almarhum bapak.Aku yang hanya bisa berdiri di belakang keduanya, menjadi begitu bimbang. Rasa bersalah yang semakin menggunung karena melihat Anisya yang tidak berhenti menangis, membuatku tidak berani mendekati Anisya, apalagi mencoba menghiburnya. Meski apapun penjelasanku saat ini, sepertinya Anisya tidak akan pernah mempercayai ucapanku.“Ini semua gara-gara Kak Zahrah, Mak. Gara-gara Kak Zahrah! Dia iri sama N
Jalanan kota Banda Aceh begitu lengang malam ini. Gerimis yang baru saja datang menambah hawa suram. Bulu kudukku meremang saat menyusuri jalanan kota sembari mencari keberadaan Anisya.Pandanganku menyapu setiap sudut kota di tengah gelapnya malam. Sembari berharap bisa menemukan adikku yang nekat melarikan diri.Sore tadi, setelah Anisya pergi, meski punggung terasa ngilu, tetap saja aku memaksakan diri mendatangi rumah Kak Sum, pelukis Henna saat Anisya menikah dulu. Aku meminta kepada wanita berwajah manis itu untuk meminjamkan motor miliknya tanpa menjelaskan tujuanku padanya. Syukurnya, Kak Sum tidak kepo dan bertanya lebih jauh. Dia segera meraih kunci motor matiknya lalu menyerahkannya padaku.Aku yang tersipu dengan kebaikan Kak Sum, tanpa kusadari membungkukkan tubuh. Rasa haru dan kagum membuat tubuh ini memberi hormat padanya. Sebab biasanya, tiap kali aku meminjam motor tetangga yang lain jika motorku dipakai Anisya, ada saja pertanyaan-per
Ruang tunggu rumah sakit sangat lengang. Hanya satu dua orang dari petugas medis yang lalu lalang. Mereka terlihat santai, sembari bertukar kisah yang tidak menarik perhatianku sama sekali. Haha dan hihi, di larut malam begini.Entahlah, siapa yang perduli dengan kehidupan orang lain. Saat ini, hidupku sendiri tidak sesenggang itu. Ada seseorang yang begitu berarti, sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.Aku memendarkan mata, bau obat yang menusuk, serta ruangan-ruangan yang didominasi warna putih, membangkitkan kenangan tentang sosok berharga dalam hidupku. Di rumah sakit yang sama, bertahun-tahun lalu di salah satu ruangan dari bangunan ini, aku telah mengikrarkan janji pada bapak untuk menjaga Anisya dan mamak. Mengutamakan kebahagiaan mereka di atas bahagiaku, mengutamakan keselamatan keduanya daripada diriku. Semua itu kulakukan, hanya untuk melihat senyum terakhir di wajah bapak yang pucat.Tapi, lihatlah kini, semua janji yang terikrar
Ini sudah hari kedua, dimana Anisya hidup dengan bantuan peralatan medis yang melilit tubuhnya. Monitor, ventilator, infus hingga kateter, adalah alat-alat yang ada di tubuh Anisya, setidaknya itu yang disebutkan oleh dokter saat membawa Anisya ke ruangan ini.Aku yang hanya bisa menatapnya dari luar ruangan, kembali sibuk merapal do’a, berharap jika Anisya akan kembali membuka kedua mata indahnya dan melanjutkan hidup bersama kami, dengan atau tanpa suaminya. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menurunkan tangan dari dinding kaca yang menjadi pemisah antara aku dan Anisya. Kulangkahkan kaki ini menjauh, lalu menjauh dari ruangan bertulisan ICU.Tidak terasa, matahari di hari kedua sudah terbit tinggi. Memamerkan hangatnya meski tidak ada yang perduli. Setiap insan yang berlindung di bawah atap rumah sakit ini, begitu sibuk dengan urusannya masing-masing, hingga tidak sempat menengadah, menatap kembali matahari yang masih bersedia terbit di sana.Lama terdiam s