“Mak ... Anisya enggak mau,” lirih Anisya di dalam pelukan mamak. Dia terus menangis hingga isakan tangisnya tidak lagi terdengar jelas seperti sebelumnya. Air matanya seakan telah habis tidak bersisa.
Sama halnya dengan Anisya, Mamak yang memeluk putri bungsunya juga menangis sesegukan. Tangan mamak begitu aktif mengelus punggung Anisya yang bergetar hebat, lalu beristigfar berulangkali demi menenangkan putri dan dirinya sendiri. Mungkin, mamak tidak pernah mengira, jika nasib putri-putrinya tidak akan semulus kisah cintanya dengan almarhum bapak.
Aku yang hanya bisa berdiri di belakang keduanya, menjadi begitu bimbang. Rasa bersalah yang semakin menggunung karena melihat Anisya yang tidak berhenti menangis, membuatku tidak berani mendekati Anisya, apalagi mencoba menghiburnya. Meski apapun penjelasanku saat ini, sepertinya Anisya tidak akan pernah mempercayai ucapanku.
“Ini semua gara-gara Kak Zahrah, Mak. Gara-gara Kak Zahrah! Dia iri sama N
Jalanan kota Banda Aceh begitu lengang malam ini. Gerimis yang baru saja datang menambah hawa suram. Bulu kudukku meremang saat menyusuri jalanan kota sembari mencari keberadaan Anisya.Pandanganku menyapu setiap sudut kota di tengah gelapnya malam. Sembari berharap bisa menemukan adikku yang nekat melarikan diri.Sore tadi, setelah Anisya pergi, meski punggung terasa ngilu, tetap saja aku memaksakan diri mendatangi rumah Kak Sum, pelukis Henna saat Anisya menikah dulu. Aku meminta kepada wanita berwajah manis itu untuk meminjamkan motor miliknya tanpa menjelaskan tujuanku padanya. Syukurnya, Kak Sum tidak kepo dan bertanya lebih jauh. Dia segera meraih kunci motor matiknya lalu menyerahkannya padaku.Aku yang tersipu dengan kebaikan Kak Sum, tanpa kusadari membungkukkan tubuh. Rasa haru dan kagum membuat tubuh ini memberi hormat padanya. Sebab biasanya, tiap kali aku meminjam motor tetangga yang lain jika motorku dipakai Anisya, ada saja pertanyaan-per
Ruang tunggu rumah sakit sangat lengang. Hanya satu dua orang dari petugas medis yang lalu lalang. Mereka terlihat santai, sembari bertukar kisah yang tidak menarik perhatianku sama sekali. Haha dan hihi, di larut malam begini.Entahlah, siapa yang perduli dengan kehidupan orang lain. Saat ini, hidupku sendiri tidak sesenggang itu. Ada seseorang yang begitu berarti, sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana.Aku memendarkan mata, bau obat yang menusuk, serta ruangan-ruangan yang didominasi warna putih, membangkitkan kenangan tentang sosok berharga dalam hidupku. Di rumah sakit yang sama, bertahun-tahun lalu di salah satu ruangan dari bangunan ini, aku telah mengikrarkan janji pada bapak untuk menjaga Anisya dan mamak. Mengutamakan kebahagiaan mereka di atas bahagiaku, mengutamakan keselamatan keduanya daripada diriku. Semua itu kulakukan, hanya untuk melihat senyum terakhir di wajah bapak yang pucat.Tapi, lihatlah kini, semua janji yang terikrar
Ini sudah hari kedua, dimana Anisya hidup dengan bantuan peralatan medis yang melilit tubuhnya. Monitor, ventilator, infus hingga kateter, adalah alat-alat yang ada di tubuh Anisya, setidaknya itu yang disebutkan oleh dokter saat membawa Anisya ke ruangan ini.Aku yang hanya bisa menatapnya dari luar ruangan, kembali sibuk merapal do’a, berharap jika Anisya akan kembali membuka kedua mata indahnya dan melanjutkan hidup bersama kami, dengan atau tanpa suaminya. Kuhela napas dalam-dalam, lalu menurunkan tangan dari dinding kaca yang menjadi pemisah antara aku dan Anisya. Kulangkahkan kaki ini menjauh, lalu menjauh dari ruangan bertulisan ICU.Tidak terasa, matahari di hari kedua sudah terbit tinggi. Memamerkan hangatnya meski tidak ada yang perduli. Setiap insan yang berlindung di bawah atap rumah sakit ini, begitu sibuk dengan urusannya masing-masing, hingga tidak sempat menengadah, menatap kembali matahari yang masih bersedia terbit di sana.Lama terdiam s
Aku membuka lembaran selanjutnya dari buku Anisya. Dari setiap lembar yang sudah kubaca, barulah aku menyadari jika Anisya tidak menuangkan semua kesehariannya di dalam diary kecil ini. Melainkan, Anisya hanya menuliskan kisah-kisah tertentu yang mungkin dirasanya cukup berarti.Hal yang paling mengoyak perasaanku adalah, buku diary Anisya yang tipis ini, bahkan belum penuh meski sudah dia tulisi sejak SMA, terlihat dari biodata, gaya penulisan serta tanggal kisah pertama yang dia ungkapkan di dalamnya. Jika tebakanku benar soal kisah-kisah berarti itu, maka bisa disimpulkan jika selama ini tidak banyak hal yang menarik untuknya.Aku begitu sibuk merutuki ketidakberdayaan sebagai orang yang diamanatkan bapak untuk menjaga Anisya. Mungkin selama ini, Anisya memendam seribu rasa sakit yang lebih dari rasa sakitku saat dia menikahi Bang Hasan. Padahal selama ini aku begitu mengagumi paras indah serta bentuk tubuhnya yang bak gitar. Lagi, pelajaran berharga jika kesempurna
“Kita bicara di sini saja,” pintanya meski aku masih enggan menorehkan senyum di wajah. Bang Hasan terus saja meminta agar kami berpindah dari lokasi awal menuju kantin rumah sakit. Menurutnya, ada banyak hal yang ingin dia bicarakan denganku secara pribadi. Tidak sopan rasanya duduk berduaan di bangku begitu, padahal ada banyak orang yang lalu lalang di sana.Aku menurut saja meski dengan setengah hati. Perasaanku masih terluka dengan kenyataan yang baru saja terungkap ini. Meski dalam setiap curahan hatinya Anisya meminta maaf padaku, tetap saja ada bagian yang memberat di dalam sana untuk segera menerima hal ini. Menerima kenyataan jika Anisya pernah mencorengku dengan abu demi mendapatkan berlianku. “Mau obrolin yang mana dulu, Zahrah?” ujarnya lagi setelah kami duduk berhadapan di salah satu meja. Aku masih saja acuh, menatap kosong pada layar ponsel yang mati dengan tangan yang terkepal kuat. “Soal Abang yang eng
Langkahku semakin ragu setelah melihat perubahan tajam dari raut wajah Bang Zaky. Pemuda itu terlibat pembicaraan serius dengan adik sepupunya. Tidak ada senyum apalagi tawa, hanya rasa tegang yang menyelimuti kedua pemuda itu. Aku yang hanya bisa menyimak dari jarak dua meter ini meremas tanganku sendiri. Tatapan mata hanya bisa mengikuti setiap pergerakan keduanya sembari menerka-nerka dari gerak bibir Bang Zaky tentang apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali Bang Zaky mengangkat diary milik Anisya, ekspresinya dipenuhi tanda tanya, sedang lawan bicaranya mengangkat kedua tangan lalu mengendikkan bahu. Ingin sekali aku menghampiri keduanya dan mendengar lebih jelas pembicaraan yang kini sedang mereka lakukan, namun sisi lain dari diriku menahan agar lebih bersabar, karena setelahnya Bang Zaky pasti akan menuntut penjelasan dariku. Kulihat Bang Hasan menepuk pundak Bang Zaky, lalu pemuda itu melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari saudara sepupunya
Tiga tahun setelah kecelakaan Anisya, kehidupan kami berjalan kembali dengan normal. Tidak sepenuhnya normal, tentu saja berubah total dibanding masa lalu. Normal yang aku maksud di sini adalah, kehidupan kami berubah tenang tanpa ada masalah-masalah berat yang menyiksa.Ada banyak perubahan, sangat banyak hingga kedua mata ini bisa basah tiap kali mengingat. Aku ingat benar hari itu, tepat setelah sebulan Anisya sembuh, terhitung empat minggu sejak kecelakaan itu terjadi, Bang Hasan dan Anisya resmi bercerai, baik secara agama maupun hukum. Saat itu, aku mengira Anisya akan menahan Bang Hasan atau meraung-raung seperti yang selama ini dia lakukan, namun Anisya hanya tersenyum, lalu meminta maaf pada pemuda itu, juga padaku.Sempat aku meminta Anisya untuk memeriksakan diri ke dokter, takut-takut jika kepalanya yang terluka parah membuat gadis itu berubah. Akan tetapi, Anisya mengakui jika selama dia kritis di ICU, Anisya bisa merasakan kasih sayang dan ketulusan darik
“Apa itu penting, Rah? Jangan mikirin Bang Hasan dulu, itu ibu-ibu di kampung sini nyebelinnya udah akut banget,” omelnya seraya menghempas tubuh di sofa. Sofa tua peninggalan mamak dan bapak itu berguncang dan berderit, usianya yang mulai banyak membuatnya tidak sanggup menahan perlakuan keras yang diberikan Tya.“Sudah, kita sudah balas juga tadi.” “Enggak puas, Rah! Maunya aku sambelin mulutnya tuh Bu Kades. Heran, ngurusin urusan orang aja pinter banget. Giliran masalah di kampung lemotnya minta ampun.” Tya tidak bisa berhenti mengomel. Gadis itu mengerucutkan bibir, keningnya yang berkilau menjadi jelek karena berkerut tipis. Wajar saja gadis itu berucap begitu. Masih teringat jelas hari dimana kami bertiga datang ke rumahnya untuk melapor jika Tya dan Wulan akan tinggal bersamaku, namun Bu Kades seakan acuh bahkan menunda-nunda menerima kedatangan kami. Akhinrya, barulah hari ketiga, Bu Kades menyetujui set