“Abang tidak ingin menjelaskannya sekarang?” tanyaku begitu aku menutup daun pintu rumah.
Bang Hasan yang menggendong Husein hanya berdiam diri di depan pintu kamar kami. Bibirnya terkatup sempurna sampai aku tidak bisa menebak apa yang ada di benaknya. Tidak cukup sampai di situ, Bang Hasan pun enggan menoleh padaku meski untuk sejenak.
“Abang ....”
“Besok, besok Abang jelaskan. Sebaiknya, malam ini kita istirahat dulu, Zahrah,” elaknya. Sesuatu yang sudah kutebak saat melihatnya mengajakku gegas pulang ke rumah.
Bang Hasan tentu akan bertahan dengan pikirannya, dan menganggap jika keputusannya adalah yang terbaik. Akan tetapi, bagiku semuanya tentu berbeda. Anak kecil yang akan dibawa Bang Hasan ke dalam kehidupan kami, aku tentu berhak untuk tahu tentang siapa dia dan dari mana asalnya.
“Itu anaknya Abang, kan?” Sesak terasa di dalam dada.
Aku hampir saja menumpahkan air mata saat mendapati
Kami duduk bersisian setelah menghabiskan sekian waktu dalam keheningan. Ekspresi Bang Hasan yang tiba-tiba berubah menjadi sedih, membuatku memilih menyerah dan memutuskan untuk menenangkannya lebih dulu. Setidaknya, sampai Bang Hasan bersedia berbicara lebih jauh.Tanganku bersedekap di dada yang membusung, sedangkan Bang Hasan duduk dengan jemari yang terpilin di pangkuan. Tidak ada yang berbicara, hanya ada helaan napas yang mengudara, dan aku masih belum sanggup untuk membuka suara.“Abang tidak tahu harus memulainya dari mana ....” Begitulah ucapan Bang Hasan kemudian.Dia menghela napas sedalam mungkin, sampai dadanya yang bidang membusung, mengalahkanku yang sejatinya seorang wanita. Aku paham, sesuatu yang disimpannya sekian lama, telah membuat dirinya sakit dan tersiksa sampai mengenang pun mampu membuatnya terluka.“Soal ini, Abang juga tidak jujur sepenuhnya pada mamak dan yang lain,” imbuhnya lagi.Bang Hasan me
Kupeluk erat Bang Hasan saat melihatnya terdiam usai menyibak sedikit kisah. Tubuhnya mendadak dingin, keringat sebesar biji jagung berhamburan di pelipis, hingga membasahi kerah kemeja kerjanya hari ini. Bang Hasan mulai memilin jemarinya di pangkuan untuk kesekian kali. Gugup terasa jelas dari setiap pergerakannya. Seakan tidak ingin membuka tabir itu, Bang Hasan tertawa kecil sendirian. Hanya beberapa detik, sebelum kemudian bibirnya merapat lagi, dan suamiku bersiap untuk menguak lebih banyak kisah yang selama ini disimpannya seorang diri. “Abang, jadi sering diajak ke rumah. Makan malam di sana bersama dia dan istrinya. Kadang, Abang menolak karena merasa tidak nyaman. Istrinya kerap kali berpakaian terbuka saat Abang datang, dan teman Abang tidak menegur sama sekali. Selain itu, tatapannya ke arah Abang mulai berbeda dan jelas membuat Abang risih. Sesekali, dia tersenyum, senyum penuh napsu. Ekor matanya meruncing, Abang mulai merasa aneh dengan wanita itu. ”
Andai saja hari ini weekend, mungkin aku bisa meluruskan lutut yang lelah di rumah, bertemankan gawai, menonton tv, dan semangkuk cemilan. Sungguh, semua hal yang dulu mudah kulakukan, sekarang bagaikan hujan di musim panas.Jangankan bisa berleha-leha seharian, batinku saja terus bergolak usai menikahi Bang Hasan. Walau dia tidak pernah menuntutku memasak atau mengurusnya setiap hari, tetapi hal-hal yang dilakukannya belakangan ini membuat perutku mual sendiri.Pagi tadi, Bang Hasan langsung berangkat ke rumah mamak mertua. Dia mengantar Husein yang masih terlelap di ranjang kami tanpa berkata apapun padaku. Usai mandi pagi, kutemukan rumah sepi, lalu deru mobil kami terdengar dari arah luar.Ingin rasanya bertanya, kenapa Bang Hasan mengambil keputusan sepihak. Namun, jawaban yang akan kuterima akan selalu sama. Dia ... ingin menjaga perasaanku, di atas segalanya.“Bu ... Bu Zahrah!”Aku mengerjap sekali, nanar segela menghilang dan b
“Bismillah ....”Kalimat yang terlontar saat menginjakkan kaki kembali di rumah keluarga Bang Hasan. Debar-debar kekhawatiran segera menyergap begitu kudapati suara riuh rendah dari arah dalam.Perlahan, dengan memberanikan diri, aku melangkah memasuki ruang depan. Tempat yang sama dengan dimana kutemukan kenyataan tentang Husein dan Bang Hasan.Di sofa-sofa yang sama, beberapa orang duduk berdekatan. Mamak mertua memilih posisi menyamping, tepat di sebelah Bang Hasan yang memangku Husein. Sedang kakak sepupunya yang kemarin mengaku sebagai orangtua kandung Husein, duduk di arah berlawanan.Dari tempatku berdiri saat ini, bisa kulihat dengan jelas jika mereka terlihat bahagia. Termasuk dua orang yang sepertinya pasangan suami istri itu.Mereka tertawa kecil, sesekali melontarkan canda dan tawa sampai suara riuh kembali menyapa. Sembari meneguk minuman berwarna jingga yang disuguhkan di atas meja, mereka lagi-lagi menjerumuskan
“Iya, Dek. Alhamdulillah-nya, anaknya beneran dikasih ke kita. Wanita yang tadi, datang-datang malah bikin ulah!” sahut suaminya.Suaranya yang ternyata kemayu membuatku merinding hebat. Keduanya terkikik setelah membocorkan niat hitam yang seharusnya mereka simpan sendiri sampai mati.Membayangkan keinginan untuk mengadopsi Husein hanya agar memiliki keturunan sendiri, bagiku adalah sebuah kejahatan. Memang, sering terdengar embusan angin soal hal ini, saat pasangan-pasangan yang belum memiliki anak untuk sekian lama, memilih untuk mengadopsi anak orang lain dan dirawat bagaikan anak sendiri. Lalu, izin Allah, tidak lama setelahnya, sang istri mengandung.Lucunya, setelah beberapa kali hal ini terjadi, orang-orang menganggapnya sebagai kejadian ajaib. Mengadopsi anak adalah bentuk usaha untuk memancing anak sendiri. Bukan itu masalahnya, tetapi kenyataan yang timbul usai mereka mendapatkan seorang anak dari rahim sang istri.Tidak se
POV 3, oleh penulis.Kantor Perwakilan Kalimantan Timur, dua tahun yang lalu.--“San, dipanggil Pak Erga, tuh!” ujar salah satu pria dengan badge dari sebuah perusahaan BUMN.Pria berkacamata yang membawa beberapa map di tangannya menghampiri meja kerja Hasan untuk sejenak. Panggilan dari atasan keduanya memaksa dia menemui pria muda yang belum genap setahun menjadi rekan kerjanya.“San! Astaga, nih anak!” imbuhnya.Hasan yang bersembunyi di balik kubikel biru tidak memberi respon apapun. Dia sibuk menautkan pandangannya dengan layar komputer. Satu tangannya menyentuh bibir, tangan yang lain begitu lihai memainkan mouse di atas pad.“San! Mau dipecat kayaknya!” tegur sang teman.Dia sengaja berdiri di depan kubikel Hasan, lalu memukul pembatas dengan keras agar pria yang dipanggilnya mendengar. Begitu pandangan keduanya beradu, dalam jarak lebih dari satu meter, Hasan beruj
“Bapak sudah tahu jawabannya, karena itu, tidak seharusnya menawarkan pilihan memuakkan ini denganku. Sebaiknya, simpan sendiri tawaran itu dan kita bisa melanjutkan kehidupan masing-masing tanpa berurusan sama sekali. Soal istri bapak, atau Husein, itu tidak ada kaitannya denganku. Seharusnya yang harus Bapak lakukan sejak awal adalah berusaha membuat istri Bapak mencintai Bapak, bukannya mencarikannya seorang pria yang dapat menggantikan Bapak dan membuat penawaran ini dengan menggunakan posisi Bapak. Terima kasih, permisi ....”Hasan mengangkat tubuhnya dari bantalan kursi yang empuk. Hatinya tetap saja memegang teguh keyakinan yang dipercayainya sampai kapanpun tanpa rasa iba dengan apa yang dialami Erga.Keduanya saling diam usai Hasan memberikan perlawanan. Erga tidak lagi mencoba mendesak Hasan, dan terus menekuk wajahnya dengan memandangi berkas-berkas penting yang harus dia selesaikan hari ini.Bagi Erga, ini adalah kekalahan terbesar
Langit berarak saat kerabat, teman, atasan, mengantar kepergian Erga untuk selamanya. Pria ramah yang disebut-sebut akan naik jabatan lagi itu menghela napas untuk kali terakhir di depan sang istri sesaat sebelum Hasan tiba.Permintaan maaf meluncur dari bibirnya yang dipenuhi darah. Tangan Erga terayun pelan, berusaha menggapai wajah sang istri yang paling ingin dibahagiakannya di dunia ini.“Maaf, dan terima kasih. Sepertinya, aku hanya bisa menemanimu sampai di sini. Kembalilah ke orangtuamu, dan bahagiakan Husein walau dia lahir tanpa cinta di antara kita,” rintih Erga saat itu.Tangannya seketika terkulai, terjatuh ke brankar rumah sakit. Beberapa dokter yang masih mencoba menyelamatkan pria itu memulai upaya penyelamatan terakhir.Tubuh sang istri terpukul mundur. Dia menutup mulut yang menganga, kemudian menggeleng tanpa henti sebab tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.Baru pagi tadi, Erga berkata padanya, akan membe