Langit berarak saat kerabat, teman, atasan, mengantar kepergian Erga untuk selamanya. Pria ramah yang disebut-sebut akan naik jabatan lagi itu menghela napas untuk kali terakhir di depan sang istri sesaat sebelum Hasan tiba.
Permintaan maaf meluncur dari bibirnya yang dipenuhi darah. Tangan Erga terayun pelan, berusaha menggapai wajah sang istri yang paling ingin dibahagiakannya di dunia ini.
“Maaf, dan terima kasih. Sepertinya, aku hanya bisa menemanimu sampai di sini. Kembalilah ke orangtuamu, dan bahagiakan Husein walau dia lahir tanpa cinta di antara kita,” rintih Erga saat itu.
Tangannya seketika terkulai, terjatuh ke brankar rumah sakit. Beberapa dokter yang masih mencoba menyelamatkan pria itu memulai upaya penyelamatan terakhir.
Tubuh sang istri terpukul mundur. Dia menutup mulut yang menganga, kemudian menggeleng tanpa henti sebab tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.
Baru pagi tadi, Erga berkata padanya, akan membe
“Astagfirullah ....”Tanganku masih gemetar setelah mendengar cerita soal kepergian sahabat baik Bang Hasan dengan cara nan tragis. Tidak hanya itu, juga sang istri yang dengan tega meminta dinikahi di depan pusara suaminya sendiri.Benarkah ada wanita sekeras itu di dunia ini? Aku bahkan tidak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Erga saat mendengar keinginan istrinya di depan pusaranya.Dia baru pergi, belum genap satu hari. Istrinya bukannya mendo’akan, tetapi malah ingin dinikahi segera, tanpa mengingat masa iddah dan Husein yang masih begitu kecil.Kutatap punggung polos nan tegap Bang Hasan usai merasa berat di kepala. Dia berdiri di depan almarinya, menelusuri satu per satu bagian dari kaos rumahannya yang sudah tersusun rapi. Bahkan berdiri membelakangi saja bisa begitu mempesona.Ya, dia memang rupawan, lebih dari itu, sikapnya juga menyenangkan. Pantas jika wanita yang tidak kutahu namanya begitu mengin
Lepas perih, datanglah luka.Engkau cinta, ada dimana?-Mine--“Mamak enggak setuju! Titik! Ada-ada saja kamu, Rah? Belum sebulan menikah sudah pengen ngangkat anak. Apa kata tetangga, keluarga, saudara, bahkan almarhum mak bapakmu? Adikmu saja sudah hampir melahirkan anak keduanya, sedangkan kamu yang baru menikah malah mau ngurus anaknya orang lain!”Mamak mertua menunjuk-nunjuk ke arahku. Emosinya meluap-luap sampai dia berdiri dari kursi meja makan, mengayun-ayunkan lengan kaftannya yang lebar dan transparan. Mamak mertua terlihat begitu membenci gagasan yang baru saja kuutarakan padanya, sampai tidak lagi bersedia melanjutkan makan malam.Bang Hasan di sebelahku selalu ingin membuka suara. Sebelum bibirnya sempat berkata, selalu kutahan dengan menggenggam tangannya di bawah meja. Apapun itu, Bang Hasan tidak boleh menentang ibunya, sebab keputusan ini memang berasal dariku.Jika memang mamak mertua ingin membenci, ma
“Syarat?” sambutku begitu mamak mertua berdiri di depan kami berdua.Mamak mertua memutar bola matanya. Bibirnya manyun, tanda sebenarnya dia keberatan dengan apa yang ingin diakuinya pada anak dan menantu. Namun, mungkin demi Bang Hasan, mamak mertua merubah ketetapannya, hingga melunak dan akhirnya mengalah.“Iya, syarat. Katanya mau Husein batal dibawa orang!” sindir mamak mertua tepat ke arahku.Aku tersenyum getir, seperti kucing yang disirami hujan sendirian. Mamak mertua dengan jelas menunjukkan jika dia tidak menyukai kehadiranku yang mungkin menjadi penghalang antara dirinya dan Bang Hasan. Padahal, jika mengingat pernikahan suamiku dengan Anisya dulu, wanita cantik itu juga tidak terlalu sering bertemu mamak mertua. Entahlah, apa memang aku seburuk itu atau mamak mertua hanya sedang berusaha melunakkan menantunya.“Kalau batal ya batal, Mak. Kenapa pakai syarat segala? Lagee hana cara laen! (Seperti tidak ada cara l
“Kamu serius, Wul?” sungut Tya begitu kami bertiga kembali menempati kursi di sebuah warung makan di daerah Darussalam. Jika biasanya mereka yang akan menjemput lalu menyeretku pergi menjauh dari sini, maka kali ini Tya tidak punya selera menyetir. Pengakuan Wulan dua malam lalu membuat kami berdua masih tidak menyangka, jika Wulan akan mencapai kesimpulan nan polos hanya demi membahagiakan bapak dan mamaknya di kampung sana. “Tapi, enggak gini juga, Wul! Kamu kan enggak suka dia, dan dia juga lebih muda dari kamu. Serius aja, Wul, kamu nikahin brondong!” sembur Tya lagi. Dia tidak bisa berhenti mengomeli Wulan yang mengambil keputusan paling aneh menurut gadis itu. “Kamu lihat aja, Zahrah! Dari ceritanya saja harusnya kamu sudah paham, Wul, menikah itu enggak main-main. Sama orang yang kamu suka saja, banyak rintangannya, apa lagi yang enggak,” cerocosnya lagi. Aku masih belum berkata sepatah kata pun. Cukuplah mendengar Tya yang terus menyudutkan Wu
“Jadi, kalian bakalan ngerawat anak Bang Hasan dari temennya itu?” telisik Tya dari jok kemudi.Dia bertanya tanpa beralih pandangan ke arahku. Kelihaiannya mengemudi sejak SMA telah membuat gadis itu mampu menakhlukkan mobil jenis apapun dengan mudah, berbeda denganku yang masih belum belajar menyetir sama sekali sampai hari ini.“Iya, untuk ke depan, Husein akan jadi tanggungjawabku dan Bang Hasan. Tapi, tinggalnya tetap dengan mamak, sih. Mamak juga enggak izinin kami bawa Husein,” lanjutku pada Tya.Usai sepeninggal Wulan, kuputuskan untuk bercerita pada Tya. Dibanding Wulan yang sedang menghadapi kesulitannya, Tya jauh lebih senggang untuk mendengarku. Lagi pula, jika aku masih mencoba menyembunyikannya lebih lama, aku khawatir Tya atau Wulan akan mengetahuinya dari orang lain dan mulai menyimpan dendam padaku.Kami berdua menjadi hening untuk sesaat. Tidak ada yang berbicara lagi, dan hanya deru napas lelah yang terdengar.
Aku segera berpaling begitu mendengar suara dalam yang menyentak siang. Di belakangku, Bang Hasan sudah berdiri dengan ekspresi geram. Dia tidak berkata apapun lagi usai menegur mahasiswa tidak sopan yang mengusik istrinya, selain memandang lurus dengan sorot mata serupa elang.Begitu tajam, tegas. Bang Hasan seolah menegaskan jika dirinya menantang mahasiswaku yang berusia jauh di bawahnya itu.“Abang? Ka-kapan datang?” Aku tergugu menghadapi Bang Hasan.Lekas ayunan langkah kaki ini menuju padanya. Tidak, tidak boleh begini. Aku tidak mau jadi viral dalam satu hari. Bang Hasan dan pemuda tidak sopan itu harus dipisahkan, atau paling tidak kami berpindah tempat.“Bang? Tenang.”“Ini orangnya, Zahrah? Mahasiswa yang sering mengganggumu melalu pesan-pesannya?” Bang Hasan menunjuk mahasiswa itu.Kutemukan urat-urat leher dan lengannya bermunculan segera. Pertanda buruk jika Bang Hasan mulai kehilangan kendal
Ini sudah kedua kalinya aku mengecek setiap daun pintu dan jendela. Hati kecil terus berbisik gelisah mengingat aku akan tinggal sendirian sejak malam ini.Dua jam yang lalu, usai salat isya Bang Hasan dijemput mobil kantor. Dia dan dua manajer lain akan diantar ke bandara malam ini juga.Sebelum berangkat, pria berparas indah itu terus mengecupku tanpa henti. Mengingatkan juga agar istrinya senantiasa berhati-hati selama dirinya pergi nanti. Bahkan, Bang Hasan memberi ide agar aku minggat saja ke rumah mamak mertua dan tinggal bersama keluarganya.Tapi, tentu saja aku keberatan. Bukannya tidak sayang diri sendiri, atau mengabaikan nasihat suami, namun mamak mertua tentu masih menyimpan sedikit kecewa karena keputusanku yang menginginkan Husein untuk hidup bersama kami.“Abang, pergi saja. Jangan khawatir. Dulu, aku juga sendirian, kan?!” elakku padanya saat mengantar pria itu ke teras rumah.Mobil fortuner putih sudah berdiri di luar p
"Iya, Abang. Aku baik-baik aja, tenang!” Begitulah kuingatkan Bang Hasan di hari ketujuh dinasnya ke pulau Jawa.Sungguh, Bang Hasan lebih posesif dari pada almarhum bapak dan almarhumah mamak. Tidak hanya merecoki Tya dan Wulan agar mereka berdua tinggal di rumah ini sementara, Bang Hasan terus meneleponku setiap kali dia punya waktu.Tidak jarang, Bang Hasan hanya bertanya hal sederhana. Sudah makan? Atau sedang apa? Lalu, mematikan panggilan setelah merasa cukup puas.Jujur, aku senang dibuatnya. Bang Hasan menunjukkan sikap jika diriku memanglah wanita satu-satunya yang dia inginkan di dalam hidupnya yang menawan itu.Aku yang selalu tersipu mendengar suaranya yang memanggil namaku di seberang sana. Atau, ketika Bang Hasan bertanya tentang apa yang kuinginkan saat dia pulang nanti selain keselamatan dan kesehatannya yang sudah pasti. Unik, bukan? Bang Hasan yang kubayangkan dulu saat kami masih berstatus teman tidaklah se