Setelah menikmati sesi berendam dan sekalian mandi pagi, Nala merasa tubuhnya jauh lebih segar. Nyeri dan ngilu pada area kewanitaannya pun berkurang banyak."Mas." Bastian menoleh ke arah sumber suara, di mana Nala yang tengah menurunkan bagian bawah dress yang tadinya sempat terlipat. "kok yang dibawa baju-baju ginian, sih? Harusnya kayak yang biasa aku pakai aja.""Iya, maaf. Tadinya mau bawa itu, tapi terlalu makan tempat karena jadi banyak yang musti dibawa."Mau marah dan ngomel bagaimana juga, tidak akan membuat dress yang ada di koper berubah menjadi kaos dan celana jeans kesukaannya. Terlalu membuang tenaga, Nala pun hanya mengangguk pasrah. Kakinya melangkah menuju balkon kamar, menjelang pagi, udara masih begitu dingin.Senyumannya terbit kala netra cokelatnya menangkap bintang kejora yang ada di bagian barat, bintang itu bersinar paling terang. Hanya ia yang masih tetap tinggal bersama dengan bulan, kala jutaan bintang-bintang telah menghilang dari langit.Nala tersentak k
Tepat sekali! Satu bidikan yang pas menangkap potret Bastian mencium bibir Nala dengan latar keindahan sunrise di pantai.Beberapa detik ciuman itu bertahan, karena Nala tak memberi balasan akan ciuman tersebut, Bastian pun berinisiatif untuk melepaskannya. Belum benar-benar terlepas, Nala langsung mengalungkan tangannya pada leher sang suami. Memutar kepalanya ke kiri dan mulai menyesap bibir tipis Bastian, memberikan lumatan-lumatan serta gigitan gemas di sana.Tentu saja Bastian senang bukan main, senyumnya terbit disela-sela ciuman kali ini. Kameranya langsung ia lepaskan dari genggaman tangan, beralih menahan tengkuk sang istri untuk memperdalam ciumannya.Kepala keduanya berputar ke kiri dan kanan guna mencari titik kenikmatan yang pas. Jika dipikir-pikir adegan kali ini mirip dengan scene dalam drakor atau film romantis lainnya.Beradu bibir dengan background suasana pantai di pagi hari dan soundtrack suara gemuruh ombak yang terus datang dan pergi ditambah kicauan burung yang
"Mas, kamu yakin kita pulang sekarang? Kita baru sampai kemarin, loh?"Tanpa menghentikan kegiatannya yang tengah memasukkan semua pakaian ke dalam kopernya, Bastian berkata, "Iya, nanti kita liburan lagi. Mas beneran harus pulang, Teta sakit dan kamu tau sendiri kan dia nggak punya siapa-siapa lagi selain Mas? Jadi, kita pulang dulu, ya."Nala mengerjabkan matanya pelan. Suaminya ini terlalu perduli dengan orang lain lantaran orang itu adalah masa lalunya atau memang sifat asli Bastian yang juga begini kepada orang lain. "Dia udah gede, Mas. Dia bisa pergi ke dokter sendiri. Ngapain Mas yang repot kayak gini, sih? Mas masih cinta ya sama dia?"Berhubung dengan kegiatan berkemasnya yang sudah selesai, Bastian pun menegakkan kembali tubuhnya dan menghadap Nala. "Dia tetep perempuan, Nala. Kamu bisa nggak sih jangan tanya yang aneh-aneh dulu, nggak tepat waktunya. Sekarang ayo, kita pulang." Bastian langsung menarik tangan Nala dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya telah bers
Saja menginjakkan kakinya di Jakarta, Bastian langsung sibuk merogoh ponselnya, menghubungi seseorang yang menjadi alasan utamanya untuk kembali ke ibu kota."Iya, Bas?"Suara lemah dari seorang di seberang sana langsung menyapa rungu Bastian, kakinya masih sibuk melangkah dengan pandangan lurus ke depan, sebelum menoleh ke sana ke mari guna mencari taksi. "Kamu di mana? Gue udah pulang ke Jakarta, parah nggak sakitnya?""Masih sama kayak dulu, Bas. Sakit banget.""Tunggu, gue jalan ke sana."Benda pipih itu kembali di kantongi, ketika pandangan matanya berhasil menemukan taksi kosong di pinggir jalan. Tanpa menunggu lama lagi ia pun masuk ke dalam."Pak apartmen Bulan."Laki-laki paruh baya yang telah duduk di kursi kemudi itupun lekas menganggukkan kepalanya, sebelum menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, kaki Bastian terus bergerak gelisah. Jujur, hatinya tak tenang dengan pikiran terus tertuju pada Teta. Rahangnya beberapa
Ada akhirnya Nala memustuskan untuk pulang keesokan harinya. Tentu saja liburan kali ini tak lagi menarik untuknya, bahkan selepas kepulangan Bastian saja Nala terus menangis di dalam kamar. Kini, pada akhirnya Nala sudah berada dalam kondisi tak lagi ingin menangis, sudah lelah rasanya dan tentu saja karena pasokan air matanya telah habis."Makasih, Pak.""Sama-sama, titip salam buat Bastian, ya, kok pulang nggak bilang-bilang dulu." Nala hanya tersenyum menanggapinya.Setelahnya Nala pun melangkahkan kaki meninggalkan laki-laki itu, sebentar lagi penerbangannya akan segera tiba. Tentu saja Nala tak ingin kejadian di Bali waktu itu terulang lagi, apalagi saat ini mood-nya jauh lebih buruk dari pada saat itu.Setelah mendudukkan bokongnya di kursi pesawat, Nala pun langsung memejamkan matanya, berharap kantuknya akan segera datang agar otaknya kembali bisa beristirahat. Semoga selamat sampai tujuan."Elo?"Belum sampai satu menit Nala memejamkan matanya, rungunya mendengar suara yang
"Yakin mau nginep sini?" tanya Bella memastikan. Sebenarnya tak masalah jika Nala benar-benar mau menginap di sini, tapi, mengingat masa lalu keduanya agaknya tak mungkin keduanya menjadi dekat hanya karena telah berbagi cerita selama dipenerbangan.Yang ditanya pun langsung menoleh ke arah sumber suara. "Ya, sebulan.""Lama banget, tai." Meskipun mengomel, tapi Bella langsung menekan beberapa digit sebelum pintu apartmennya terbuka.Nala mengikuti langkah kaki perempuan di depannya ini, memasuki apartment yang terbilang cukup luas, apalagi hanya dihuni oleh satu orang.Saat memasuki apart Bella, pandangan mata Nala tak pernah berhenti berkeliling. Semuanya terlihat bersih dan rapi, dapat Nala tebak jika sosok Bella ini menyukai pekerjaannya, menjadi seorang model terkenal.Ahh, rupanya bakatnya ini sudah terbentuk dari lama. Netra cokelat Nala melihat beberapa potret saat Bella mengenakan pakaian sekolah, sepertinya tengah menjadi model cilik dari produk tas punggung. Wajahnya masih
"Eugh." Lenguh Nala sembari menggeliat pelan, kelopak matanya perlahan mulai terbuka, hingga warna putih langit-langit kamar menjadi yang pertama kali dilihatnya. Suara dengkuran halus dengan tangan besar yang melingkar di perutnya membuat Nala lekas menoleh ke arah sumber suara.Iya, itu adalah Bastian, suaminya. Tengah tertidur pulas menghadapnya, sementara tangan dan kakinya menumpang di tubuhnya, seperti tengah memeluk guling. Senyuman Nala langsung mengambang melihat pemandangan indah ini, ia menyingkirkan tangan dan kaki Bastian dengan perlahan, dilanjut dengan mengubah posisinya menjadi miring, berhadapan dengan sang suami."Suamiku ganteng banget." Jari telunjuk kecil itu tergerak untuk menyentuh kening Bastian, menyingkirkan anak rambut yang mengganggu pemandangannya. Berlanjut turun menyusuri pipi itu hingga akhirnya berhrnti pada rahang yang tampak menonjol tersebut, inilah salah satu daya pikat seorang Bastian.Tak cukup puas dengan itu, tangan Nala kembali menelusuri area
Entah sudah berapa banyak panggilan dan pesan dari Bastian yang Nala abaikan. Dirinya masih belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu, setidaknya Bastian harus menunggu sampai kepala Nala terasa dingin.Panas dan kesal melebur menjadi satu, Nala yang awalnya bodo amat dengan ponselnya yang terus berdering pun mulai risih. Suasana di dalam kamar pun mendadak tak lagi terasa enak, padahal ini sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Tak ada lagi yang berantakan dan berdebu, seharian ini Nala benar-benar menyibukkan diri.Saat tangannya hampir menyentuh benda pipih tersebut, mendadak perut Nala keroncongan. Mengurungkan niatnya untuk mematikan ponsel, Nala lebih memilih untuk keluar dari kamar dengan membiarkan ponselnya terus berdering.Sunyi, itulah yang Nala rasakan setelah keluar dari kamarnya. Melangkahkan kaki mengikuti feeling-nya menuju dapur, pandangan mata Nala tak lepas dari segala macam perabot dan interior yang dilewatinya. Bella benar-benar pandai, pilihannya tampak bagus