Saja menginjakkan kakinya di Jakarta, Bastian langsung sibuk merogoh ponselnya, menghubungi seseorang yang menjadi alasan utamanya untuk kembali ke ibu kota."Iya, Bas?"Suara lemah dari seorang di seberang sana langsung menyapa rungu Bastian, kakinya masih sibuk melangkah dengan pandangan lurus ke depan, sebelum menoleh ke sana ke mari guna mencari taksi. "Kamu di mana? Gue udah pulang ke Jakarta, parah nggak sakitnya?""Masih sama kayak dulu, Bas. Sakit banget.""Tunggu, gue jalan ke sana."Benda pipih itu kembali di kantongi, ketika pandangan matanya berhasil menemukan taksi kosong di pinggir jalan. Tanpa menunggu lama lagi ia pun masuk ke dalam."Pak apartmen Bulan."Laki-laki paruh baya yang telah duduk di kursi kemudi itupun lekas menganggukkan kepalanya, sebelum menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, kaki Bastian terus bergerak gelisah. Jujur, hatinya tak tenang dengan pikiran terus tertuju pada Teta. Rahangnya beberapa
Ada akhirnya Nala memustuskan untuk pulang keesokan harinya. Tentu saja liburan kali ini tak lagi menarik untuknya, bahkan selepas kepulangan Bastian saja Nala terus menangis di dalam kamar. Kini, pada akhirnya Nala sudah berada dalam kondisi tak lagi ingin menangis, sudah lelah rasanya dan tentu saja karena pasokan air matanya telah habis."Makasih, Pak.""Sama-sama, titip salam buat Bastian, ya, kok pulang nggak bilang-bilang dulu." Nala hanya tersenyum menanggapinya.Setelahnya Nala pun melangkahkan kaki meninggalkan laki-laki itu, sebentar lagi penerbangannya akan segera tiba. Tentu saja Nala tak ingin kejadian di Bali waktu itu terulang lagi, apalagi saat ini mood-nya jauh lebih buruk dari pada saat itu.Setelah mendudukkan bokongnya di kursi pesawat, Nala pun langsung memejamkan matanya, berharap kantuknya akan segera datang agar otaknya kembali bisa beristirahat. Semoga selamat sampai tujuan."Elo?"Belum sampai satu menit Nala memejamkan matanya, rungunya mendengar suara yang
"Yakin mau nginep sini?" tanya Bella memastikan. Sebenarnya tak masalah jika Nala benar-benar mau menginap di sini, tapi, mengingat masa lalu keduanya agaknya tak mungkin keduanya menjadi dekat hanya karena telah berbagi cerita selama dipenerbangan.Yang ditanya pun langsung menoleh ke arah sumber suara. "Ya, sebulan.""Lama banget, tai." Meskipun mengomel, tapi Bella langsung menekan beberapa digit sebelum pintu apartmennya terbuka.Nala mengikuti langkah kaki perempuan di depannya ini, memasuki apartment yang terbilang cukup luas, apalagi hanya dihuni oleh satu orang.Saat memasuki apart Bella, pandangan mata Nala tak pernah berhenti berkeliling. Semuanya terlihat bersih dan rapi, dapat Nala tebak jika sosok Bella ini menyukai pekerjaannya, menjadi seorang model terkenal.Ahh, rupanya bakatnya ini sudah terbentuk dari lama. Netra cokelat Nala melihat beberapa potret saat Bella mengenakan pakaian sekolah, sepertinya tengah menjadi model cilik dari produk tas punggung. Wajahnya masih
"Eugh." Lenguh Nala sembari menggeliat pelan, kelopak matanya perlahan mulai terbuka, hingga warna putih langit-langit kamar menjadi yang pertama kali dilihatnya. Suara dengkuran halus dengan tangan besar yang melingkar di perutnya membuat Nala lekas menoleh ke arah sumber suara.Iya, itu adalah Bastian, suaminya. Tengah tertidur pulas menghadapnya, sementara tangan dan kakinya menumpang di tubuhnya, seperti tengah memeluk guling. Senyuman Nala langsung mengambang melihat pemandangan indah ini, ia menyingkirkan tangan dan kaki Bastian dengan perlahan, dilanjut dengan mengubah posisinya menjadi miring, berhadapan dengan sang suami."Suamiku ganteng banget." Jari telunjuk kecil itu tergerak untuk menyentuh kening Bastian, menyingkirkan anak rambut yang mengganggu pemandangannya. Berlanjut turun menyusuri pipi itu hingga akhirnya berhrnti pada rahang yang tampak menonjol tersebut, inilah salah satu daya pikat seorang Bastian.Tak cukup puas dengan itu, tangan Nala kembali menelusuri area
Entah sudah berapa banyak panggilan dan pesan dari Bastian yang Nala abaikan. Dirinya masih belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu, setidaknya Bastian harus menunggu sampai kepala Nala terasa dingin.Panas dan kesal melebur menjadi satu, Nala yang awalnya bodo amat dengan ponselnya yang terus berdering pun mulai risih. Suasana di dalam kamar pun mendadak tak lagi terasa enak, padahal ini sudah lebih baik dari pada sebelumnya. Tak ada lagi yang berantakan dan berdebu, seharian ini Nala benar-benar menyibukkan diri.Saat tangannya hampir menyentuh benda pipih tersebut, mendadak perut Nala keroncongan. Mengurungkan niatnya untuk mematikan ponsel, Nala lebih memilih untuk keluar dari kamar dengan membiarkan ponselnya terus berdering.Sunyi, itulah yang Nala rasakan setelah keluar dari kamarnya. Melangkahkan kaki mengikuti feeling-nya menuju dapur, pandangan mata Nala tak lepas dari segala macam perabot dan interior yang dilewatinya. Bella benar-benar pandai, pilihannya tampak bagus
Sungguh, Bastian ingin sekali membelah dirinya menjadi dua bagian. Baru saja ia mendapatkan kabar jika Nala sudah pulang, membuat Bastian buru-buru pulang ke rumah agar bisa langsung meminta maaf dan bicara berdua dengan Nala.Sepanjang perjalanan pulang tadi, Bastian terus merapalkan kata maaf agar saat di depan Nala nanti dirinya tak kaku lagi. Namun, sesampainya di rumah ia malah tak mendapati siapapun di dalam sana, rumahnya dalam kondisi yang sama seperti saat terkahir ditinggalkan.Puluhan panggilan yang dilakukannya tak kunjung mendapatkan jawaban, bahkan berapa banyak pesan yang dikirimnya juga tak kunjung mendapatkan repon dari Nala. Sungguh, ini benar-benar membuatnya gila, di mana Nala sekarang ini? Perempuan itu menjadi tanggungjawabnya, tapi ia malah tak tau sama sekali keberadaan perempuan itu."Nala, ayo angkat. Mas mohon."Masih dengan harapan Nala mau berbaik hati mengangkat panggilannya, meskipun sudah hampir putus asa Bastkan dibuatnya. Tubuhnya selalu gelisah, bahk
"Nghh--"Berat, itulah yang Bastian rasakan pada kepalanya. Mengerjabkan matanya pelan sembari merubah posisinya menjadi duduk, Bastian memukul kepalanya sendiri menggunakan kepalan tangannya. Menggelengkannya beberapa kali, berharap agar rasa pening yang dirasakannya segera luruh."Agh--sakit."Kaku, tubuh Bastian terasa kaku dan tegang. Diusaknya matanya menggunakan kedua telapak tangannya, sebelum diguyarkannya ke belakang rambutnya yang sudah menjuntai panjang.Netranya yang masih terasa berat itu berkeliling, ini asing untuknya, bukan kamarnya macam biasa. Butuh beberapa detik Bagi Bastian untuk menyadari dimana dirinya saat ini."Ah."Bastian terkejut bukan main mendengar suara barusan, pandangannya langsung teralih ke samping yang juga diiringi oleh pergerakan dari sisi sampingnya.Eh, kok ada perempuan lain? Bastian hampir berteriak saat melihat tubuh telanjang perempuan itu, sampai netranya tanpa sengaja menangkap presensi dirinya yang juga tanpa pakaian. Ah, Bastian teringat
TakkSendok yang sejak tadi dipegang Alettha itupun langsung jatuh begitu mendengar ucapan Bastian barusan. Tanpa permisi laki-laki di depannya itu terlihat buram di matanya, mulutnya yang audah terbuka itupun juga tampak kesusahan membuka suara."Gue harap lo ngertiin posisi gue, ya, Ta.""B-bas?" Akhirnya kata itu berhasil keluar dari mulut Alettha setelah susah payah melewati laringnya yang terasa menyempit. "a-apa?""Sorry, Ta. Gue harap lo ngerti dan hargai keputusan gue." Bastian pun langsung bangkit dari posisinya. Air mata perempuan adalah kelemahannya, melihat Alettha yang hampir menangis membuat pertahannya mulai runtuh. Oleh sebab itu, sebelum semuanya benar-benar runtuh, akan lebih baik jika dirinya segera pergi dari sini."L-lo jahat." Ucapan Alettha barusan berhasil mengalihkan atensi Bastian. Lihat, air mata Alettha sudah turun, membuat dadanya terasa sesak. "gue ada satu permintaan, Bas."Kening Bastian berkerut mendengar kalimat terakhir Alettha yang terdengar menarik