"Kenapa?"Bastian menenggak minuman yang ada di tangannya hingga menyisakan setengahnya saja. "Ahhh." Diletakkannya kembali benda dengan pinggiran berembun tersebut ke atas meja, sebelum pandangannya beralih pada laki-laki di sampingnya ini. "mau curhat."David pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, tak lupa juga menaikkan satu kakinya agar lebih nyaman. "Paan?""Gue udah akhiri hubungan gue sama Teta."Yang diajak bicara pun terkekeh pelan, agak lucu temannya ini. "Emangnya ada hubungan apaan kalian selama ini? Lo selingkuh?""Nggak ada, ngawur! Lo paham maksud gue."Inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh David, Bastian, dan juga Nala, di mana Bastian akhirnya memperjelas batasan hubungannya dengan Alettha. Meskipun termasuk telat sekali, tapi akhirnya David merasa senang oleh keberanian temannya itu."Ya, baguslah. Terus apa lagi?"Bastian menghela nafasnya panjang, sebelum menghembuskannya perlahan. "Gue mau ngomong sama Nala yang sebenarnya, soal alasan kenapa gue nikahin d
Seminggu kemudianSudah dua hari Bastian disibukkan dengan pekerjaannya, sekarang sudah memasuki musim orang nikah dan juga acara mahasiswa yang tengah melangsungkan wisuda, belum lagi Bastian dan rekan-rekan sering ditawari job di sekolah-sekolah. Tentu saja tawaran-tawaran ini tak akan ditolak.Teman-teman Bastian yang lain termasuk David sudah dalam kondisi yang bugar, mungkin efek dari liburan yang diberikan seminggu yang lalu. Berbeda dari Bastian yang tampak kusut, tak ada liburan yang berarti untuknya. Sejak hari itu Bastian hanya mengurung diri di rumah, setia berada di samping ponselnya agar saat Nala menghubunginya, ia bisa langsung siap.Perihal Alettha, perempuan itu juga banyak menghubungi Bastian, hanya saja tak diperdulikan lagi oleh Bastian. Hari-harinya dipenuhi dengan harapan kabar dari Nala."Bas, besok sampai seminggu ke depan ada jadwal buat photoshoot produk baru si Berry. Rancangan dia lagi naik daun, diselingi juga sama beberapa produk skincare, make-up, sama p
CkittttKarena pikirannya tak ditempat, membuat Bastian tak fokus dengan jalanan di depannya. Hampir saja dirinya menabrak ojek online di depannya, beruntung di belakangnya tak ada mobil dalam jarak dekat."Aishh." Diusapnya wajahnya dengan kasar, berlanjut dengan menarik nafasnya dalam-dalam. Dihembuskannya nafas tersebut sembari kembali melajukan mobilnya.Suara panik Bella tadi benar-benar menganggu pikirannya, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Nala?Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya Bastian pun sampai di tempat tinggal Bella. Buru-buru ia meninggalkan mobilnya begitu saja, di dalam lift pun Bastian tampak tak bisa diam. Tubuhnya terus bergerak, karena tak sabaran menunggu lift tersebut berhenti di lantai tujuannya.Begitu pintu lift terbuka, buru-buru Bastian langsung melangkahkan kakinya, setengah berlari. Dipencetnya tombol tersebut beberapa kali, berharap penghuni di dalamnya akan segeta keluar dan membukakan pintu untuknya.Klikk"Lo udah sampai?
"Kamu mau makan apa?" tanya Bastian dengan lembut seraya membelai rambut Nala. Tak sampai tiga detik momen itu terjadi karena Nala langsung menjauhkan kepalanya, menolak halus sentuhan Bastian. Melihat itu Bastian tak lagi memaksa, ia pun menjauhkan diri untuk kemudian duduk di seberang Nala. "ada makanan selain ini yang pengen kamu makan nggak, hm?" Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya pelan.Sudah dua hari ini Bastian berada di apart Nala karena perempuan itu tak ingin pergi dari sini, toh Bella juga mengizinkannya tinggal di sini."Nal, gue berangkat dulu, ya. Kesiangan banget ini." Dengan riweh Bella merapikan anak rambutnya yang masih berantakan. Entah jam berapa nanti dirinya sampai di lokasi pemotretan, ini saja sudah terlambat 10 menit."Hati-hati," balas Nala dengan suara pelan.Mendengar itu membuat Bella sedikit lega karena Nala kembali mau menjawabnya. "Lo juga hati-hati, inget ada dedek bayi di perut lo." Usai mengatakan itu, Bella pun langsung melenggang pergi. Me
Sebisa mungkin Nala meredam suara langkah kakinya, kembali ke dalam kamar untuk diam-diam mengambil ponsel dan dompetnya. Sial, air matanya tak mau berhenti menetes. Sakit, hatinya terasa begitu sakit. Setiap kata yang ia dengar tak pernah lepas dalam ingatannya, sampai kapan pun ia tak akan lupa.CeklekkNala tersentak kaget saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, melihat seseorang yang datang dengan senyuman lebarnya."Nal-a?" Tak sampai lima detik, senyuman yang Bastian hadirkan itupun langsung memudar kala netranya mendapati presensi Nala yang tengah menangis. "kamu kenapa nangis?" Dengan tatapan penuh khawatir Bastian pun mendekat pada Nala, menyentuh pelan pundak perempuan itu dan menghampus air matanya.Sementara yang ada di belakang pun mengundurkan diri melihat situasi yang mendadak berubah, Bella dan David memilih menjauh pergi untuk memberi ruang pada sepasang suami-istri itu."Hei, lihat Mas. Kenapa kamu nangis, hm?" Dengan sabarnya Bastian menunggu sang istri membuk
Dengan sabar Bastian pun membantu memijit tengkuk Nala. Entah apa yang terjadi, tapi tadi tiba-tiba Nala merasakan perutnya tak enak. Ingin muntah, tapi sekarang tak ada apapun keluar dari perutnya selain cairan bening."Deg-degan banget mau ketemu Mama. Sampai mual-mual gini." Tangan kanan itu mengadah air untuk kemudian digunakan sebagai kumur-kumur."Nggak apa-apa, itu kamu lagi kaget aja. Sekarang gimana? Udah aman?" Nala pun membalasnya dengan anggukan kepala. "mau ketemu sekarang?""Iya."Keduanya pun kembali menuju ruangan Mama Nala. Dari balik kaca panjang di pintu, terlihat dokter dan suster yang tengah melakukan pemeriksaan di sana. Mama Nala pun terlihat bingung, namun hanya diam membiarkan orang-orang itu menjalankan pekerjaannya.Air mata Nala pun tak terbendung lagi, sudah berapa lama ia tak melihat mamanya membuka mata. Jujur saja, selama ini bahkan Nala sudah tak berharap banyak, namun Tuhan dengan berbaik hati mengembalikan mamanya."Terima kasih, Tuhan." Bastian meng
Setiap tarikan nafas Ratih terdengar begitu berat. Bahkan dokter sudah angkat tangan karena memang kemungkinan untuk bertahan hidup pasien terlalu kecil, bahkan hampir tak ada. Lagi pula, Ratih sendiri juga yang menolak untuk ditangani lebih lanjut."Ma, maafin Nala, Ma. Nala nggak bermaksud nyakitin Mama. Nala nggak tau apapun, Ma." Genggaman tangannya pada tangan sang mama kian mengerat, ada perasaan takut kala melihat mamanya yang begitu sulit mengambil oksigen."Bukan salah kamu, Nala," balas Ratih dengan suara terlampau pelan, bahkan nyaris tak terdengar di telinga Nala. "kamu bahagia?"Nala yang ditanya seperti itu hanya diam. Jika dibilang bahagia juga tak sepenuhnya bahagia, bukankah bahagia dan sedih memang ada porsinya masing-masing?"Mama seneng kamu ada yang jagain."Tiba-tiba saja tubuh Ratih terguncang hebat selama beberapa detik. Tentu saja Nala sendiri kelimpungan bercampur kaget melihat hal mengerikan itu."Dokterrrr. Dokter tolong Mama sayang, Dokkk." Teriak Nala sek
Tak ada lagi air mata yang keluar dari pelupuk mata Nala. Ia hanya menatap tenang dengan tetap duduk di kursi roda kala orang-orang mulai menimbun sesuatu di dalam lubang galian tersebut. Pandangannya pun tak lagi fokus, dalam pikirannya kembali berputar segala kenangan yang telah dilewatinya bersama Mama sedari kecil.Mamanya telah terlebih dahulu berpamitan, menitip pesan dirinya harus bahagia. Tak ada tanggapan berarti yang ia berikan, andai saja bisa memilih, tentu saja Nala lebih ingin berada di dalam mimpi bersama mamanya lebih lama lagi. Menahan perempuan itu dan menahan diri agar tak cepat bangun.Lagi pula, apa yang akan didapatkannya andai ia memberontak. Apa mamanya akan bangun andai ia mengais-ngais timbunan tersebut? Tentu saja tidak, mau ia berontak sebagaimanapun juga, tetap tidak akan ada yang berubah. Inilah takdir yang Tuhan tuliskan dalam takdirnya.Usapan pelan pada bahunya sama sekali tak menarik perhatian. Tak ada sedetikpun yang terlewat selama prosesi pemakaman