Dengan sabar Bastian pun membantu memijit tengkuk Nala. Entah apa yang terjadi, tapi tadi tiba-tiba Nala merasakan perutnya tak enak. Ingin muntah, tapi sekarang tak ada apapun keluar dari perutnya selain cairan bening."Deg-degan banget mau ketemu Mama. Sampai mual-mual gini." Tangan kanan itu mengadah air untuk kemudian digunakan sebagai kumur-kumur."Nggak apa-apa, itu kamu lagi kaget aja. Sekarang gimana? Udah aman?" Nala pun membalasnya dengan anggukan kepala. "mau ketemu sekarang?""Iya."Keduanya pun kembali menuju ruangan Mama Nala. Dari balik kaca panjang di pintu, terlihat dokter dan suster yang tengah melakukan pemeriksaan di sana. Mama Nala pun terlihat bingung, namun hanya diam membiarkan orang-orang itu menjalankan pekerjaannya.Air mata Nala pun tak terbendung lagi, sudah berapa lama ia tak melihat mamanya membuka mata. Jujur saja, selama ini bahkan Nala sudah tak berharap banyak, namun Tuhan dengan berbaik hati mengembalikan mamanya."Terima kasih, Tuhan." Bastian meng
Setiap tarikan nafas Ratih terdengar begitu berat. Bahkan dokter sudah angkat tangan karena memang kemungkinan untuk bertahan hidup pasien terlalu kecil, bahkan hampir tak ada. Lagi pula, Ratih sendiri juga yang menolak untuk ditangani lebih lanjut."Ma, maafin Nala, Ma. Nala nggak bermaksud nyakitin Mama. Nala nggak tau apapun, Ma." Genggaman tangannya pada tangan sang mama kian mengerat, ada perasaan takut kala melihat mamanya yang begitu sulit mengambil oksigen."Bukan salah kamu, Nala," balas Ratih dengan suara terlampau pelan, bahkan nyaris tak terdengar di telinga Nala. "kamu bahagia?"Nala yang ditanya seperti itu hanya diam. Jika dibilang bahagia juga tak sepenuhnya bahagia, bukankah bahagia dan sedih memang ada porsinya masing-masing?"Mama seneng kamu ada yang jagain."Tiba-tiba saja tubuh Ratih terguncang hebat selama beberapa detik. Tentu saja Nala sendiri kelimpungan bercampur kaget melihat hal mengerikan itu."Dokterrrr. Dokter tolong Mama sayang, Dokkk." Teriak Nala sek
Tak ada lagi air mata yang keluar dari pelupuk mata Nala. Ia hanya menatap tenang dengan tetap duduk di kursi roda kala orang-orang mulai menimbun sesuatu di dalam lubang galian tersebut. Pandangannya pun tak lagi fokus, dalam pikirannya kembali berputar segala kenangan yang telah dilewatinya bersama Mama sedari kecil.Mamanya telah terlebih dahulu berpamitan, menitip pesan dirinya harus bahagia. Tak ada tanggapan berarti yang ia berikan, andai saja bisa memilih, tentu saja Nala lebih ingin berada di dalam mimpi bersama mamanya lebih lama lagi. Menahan perempuan itu dan menahan diri agar tak cepat bangun.Lagi pula, apa yang akan didapatkannya andai ia memberontak. Apa mamanya akan bangun andai ia mengais-ngais timbunan tersebut? Tentu saja tidak, mau ia berontak sebagaimanapun juga, tetap tidak akan ada yang berubah. Inilah takdir yang Tuhan tuliskan dalam takdirnya.Usapan pelan pada bahunya sama sekali tak menarik perhatian. Tak ada sedetikpun yang terlewat selama prosesi pemakaman
"Sa-sayang." Kerongkongan Bastian terasa tercekat. Terkejut? Tentu saja ia terkejut dengan pilihan yang Nala ajukan, bagaimana bisa dirinya disuruh memilih salah satu diantara dua hal yang tak mungkin bisa ia pilih salah satunya? "kamu bercanda, 'kan?" "Tolong, jawab iya, Nala. Mas mohon, jangan begini sama Mas."Tubuh Bastian langsung melemas kala Nala memberi jawaban dengan gelengan kepala, lututnya bahkan sudah tak mampu lagi digunakan sebagai tumpuan tubuhnya.Entah bagaimana jawaban Bastian nanti, Nala tak akan mempermasalahkan itu semua. Lagi pula, selama ini dirinya juga tak siap sama sekali dengan kedatangan makhluk lain dalam dirinya. Bagaimana tidak, hidupnya saja kekurangan kasih sayang sejak kecil, ditambah lagi dengan kabar duka yang masih merundung dirinya. Nala sepenuhnya sadar jika tak ada orang yang benar-benar perduli padanya, termasuk suaminya sendiri.Isakan tangis Bastian yang terdengar di rungu Nala sama sekali tak mengubah pendiriannya, bahkan tak ada raut wajah
"Semuanya sudah selesai di proses dan disetujui. Hanya satu tahun, ingat, setelah itu kamu harus kembali lagi. Jangan sia-siakan perjuangan kamu selama ini.""Baik, Pak, terima kasih banyak atas bantuannya.""Sama-sama, silakan nikmati satu tahun ini. Saya tunggu kamu kembali."Panggilan pun berakhir. Nala menggenggam benda pipihnya itu dengan pandangan lurus ke depan. Siapa bilang dirinya baik-baik saja? Mungkin dari luar memang terlihat demikian, namun yang benar-benar tau hanyalah dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang tau bagaimana perjuangannya selama ini untuk tetap bertahan.Entah kapan jiwanya yang hilang itu akan kembali lagi, atau mungkin tidak akan pernah?Langit sudah gelap, membuat Nala beranjak dari posisi duduknya dan melangkahkan kaki menuju jendela. Sudah saatnya jendela itu di tutup.***Sebenarnya Bastian agak menyesal mengiyakan permintaan Alettha tanpa berpikir panjang. Namun, lagi-lagi perasaannya berubah kala melihat wajah lelah itu terlelap d
"Tuhan, tolong selamatkan istriku." Puluhan kali Bastian merapalkan do'a itu. Melihat apa yang terjadi pada Nala, tentu saja Bastian sudah tau apa yang sebenarnya terjadi. Kepalanya terasa hampir meledak, sampai detik ini ia masih tak menyangka Nala benar-benar nekat sejauh ini.Buk ... buk ... bukDengan penuh kesadaran Bastian memukul kepalanya sendiri menggunakan kepalan tangannya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!"Harusnya semalam Bastian tidak meninggalkan Nala, tidak menginap di tempat Alettha, seharusnya semalam ia berada di samping Nala. Ya, harusnya seperti itu, Nala masih dalam kondisi berduka, harusnya ia sadar itu. Kenapa ia terlalu ambil hati ucapan Nala, harusnya ia sadar jika ucapan Nala hanyalah bentuk omong kosong karena kondisi mentalnya yang tak stabil."Arghhhh." Erang Bastian sembari menjambak rambutnya sendiri. Terlihat jelas bagaimana urat-urat itu menonjol di pelipis dan bagian samping wajah Bastian.Netranya melirik ke arah pintu
TringgPintu itupun terbuka dan menampakkan sosok perempuan cantik dengan senyuman lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. Matanya tampak berbinar mendapati siapa yang datang bertamu kali ini.Tak ada angin, tak ada hujan, dan tak ada tanda-tanda apapun, namun semesta memberikan kejutan, mendatangkan laki-laki yang selama beberapa hari ini tak nampak batang hidungnya."Kenapa nggak bilang, padahal ak--"PLAKKTamparan keras dari telapak tangan yang besar itu mendarat sempurna di pipi kiri Alettha hingga berhasil membuat perempuan itu langsung terhuyung ke samping, untung saja dengan sigap tangannya meraih gagang pintu untuk dikenakan sebagai tumpuan. Kalau tidak, tentu saja tubuhnya sudah terbujur di lantai."B-bas, kam--"PlakkkBelum sempat bibirnya selesai berucap, tamparan kedua berhasil mendarat kembali di pipi Alettha, namun kali ini di pipu kanannya. Sempurna sudah, dua pipinya menjadi sasaran sebuah tamparan yang ia sendiri tak tau sebabnya."Puas kamu Alettha? HAH?
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini