Share

Ada Apa Dengan Ayah?

"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,"

"A-apa? Makanan?"

"Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?"

"A-aku pikir--"

"Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.

Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu. 

"Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri. 

"Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul.

"Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur. 

"Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur. 

"Terserah. Adanya apa?"

"Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--"

"Apa saja," ujarnya memotong kalimatku. 

Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa. 

"Kamu ngelamun?" Azka mengagetkanku. 

"Eh ... i-tu, a-aku ... a-aku ... nggak bisa," ucapku jujur.

"Nggak bisa masak?" tanya Azka dengan mimik muka heran. 

"Iya. Aku nggak pernah masak," ucapku lagi merasa bersalah. 

"Baiklah. Biar aku saja, ya. Kamu duduk di situ."

Kuturuti perintah Azka dan mulai memperhatikannya sibuk dengan wajan penggorengan. 

"Kamu bisa masak?" tanyaku. 

"Bisa."

"Masa, sih?"

"Buktinya?"

"Aku belum coba," ucapku ragu. 

"Nanti kamu bisa coba, 'kan. Coba lihat, ada nasi tidak di magic com," titah Azka. 

Aku dengan sigap segera membuka tutup magic com. Syukurlah ada nasi di dalamnya, lebih dari cukup untuk kami berdua. 

"Ada, banyak. Buat apa?"

"Jangan banyak tanya, ambil nasi untuk dua piring."

"Baiklah." Aku hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan Azka. Setelah itu kuberikan padanya dan kembali duduk di kursi. 

"Selesai," ucap Azka dan menghidangkan masakannya di atas meja. 

"Ha? Ini?" tanyaku tak percaya. 

"Iya. Ayo, makan."

"Buahaha ... kamu cuma masak telor ceplok doang?"

"Iya. Cepat, mudah dan praktis."

"Kirain masak makanan apa gitu."

"Mending, dari pada nggak bisa sama sekali," ucapnya sambil menyendokkan nasi ke mulut. 

"Jadi, kamu itu sebenarnya bisa masak nggak, sih?" tanyaku penasaran.

"Nggak. Masak telor bisa," jawabnya santai. 

Spontan saja aku dibuatnya tertawa lagi. Benar-benar humoris sekali laki-laki ini. Untunglah Azka bisa mengerti aku yang belum bisa masak. Namun, di dalam hati aku bertekad untuk belajar masak agar bisa melayaninya dengan baik. 

***

"Loh? Kalian udah pada bangun?" Bunda terlihat kaget saat melihatku dan Azka sedang menonton tv. 

"Sudah, Bun. Shubuh Azka minta dibikinin makanan."

"Qila yang bikin? Masa?" Kening Bunda mengkerut heran. 

"Azka, Bun," lirihku pelan. Harapnya sih biar nggak kedengeran. 

"Apa? Masa suami yang masakkin."

"Memangnya salah? Namanya juga belum bisa masak, Bun," sungutku membalas ledekan Bunda. 

"Nggak apa-apa, Bunda. Qila belum terbiasa, nanti 'kan bisa minta ajarin sama Bunda," ucap Azka disertai senyuman khas Lee Min Hoo. 

"Untung punya suami pengertian, ya," ujar Bunda. "Ayuk, ikut Bunda masak. Biar sekalian belajar," ajak Bunda lagi. 

Aku mengangguk dan beranjak mengikuti langkah Bunda menuju dapur. 

"Sekarang, kamu kupas bawangnya, ya," titah Bunda menunjuk beberapa biji bawang merah yang sudah disiapkannya. 

"Bun, nanti mata Qila perih."

"Ih ... kalau udah nikah itu, masak nggak pake alasan apa-apa, Aqila sayang."

"Tapi, Bun--"

"Nggak ada tapi-tapian. Buruan kupas bawangnya, Bunda mau nyiapin bahan masakan yang lain."

Akhirnya, mau tidak mau aku harus melaksanakan perintah Bunda. Benar saja, baru dua biji bawang saja sudah membuat mataku mengeluarkan air mata karena perih. 

"Huuu ... tahan Qila, tahan. Tinggal beberapa lagi," lirihku sendiri. 

"Qila, aku ke kantor sebentar, ya." Tiba-tiba Azka muncul di dapur. "Kamu kenapa?" tanyanya lagi melihat wajahku yang basah karena air mata. 

"Masih nanya, nggak liat aku lagi kupas bawang. Huu ... Bunda nggak nanggung-nanggung banger ngasih kerjaan," rengekku. 

"Eh ... eh ... Bunda aja yang biasanya masak sendiri, nggak pernah kayak gitu, tuh," ucap Bunda membela diri. 

"Itu 'kan Bunda, bukan Qila."

"Masak yang rajin, ya. Nanti pulang kantor aku mau makan masakan kamu, loh. Walaupun rasanya tidak dijamin," ledek Azka.

"Heh ... enak aja. Liat aja nanti, pasti kamu bakalan nambah terus makannya," ucapku penuh penekanan. 

"Baiklah. Sampai nanti, ya." 

Azka mengacak rambutku lembut. Sesuatu yang tidak pernah dilewatinya, membuatku tersenyum sendiri setelah ia pergi. 

"Hei ... malah senyum-senyum, cepetan gih."

"Iya-iya, Nyonya," ucapku diiringi tawa Bunda. 

***

"Bun, Ayah dari tadi nggak ke luar juga. Apa Ayah nggak kerja hari ini?" tanyaku saat makanan sudah terhidang di meja makan. 

"Iya-ya. Bunda lupa juga lagi bangunin Ayah. Bentar, ya."

Bunda berjalan ke kamarnya untuk membangunkan Ayah. Hal yang tidak biasa dilakukan, Ayah biasanya selalu bangun pagi tanpa perlu dibangunkan terlebih dahulu. Saat akan menghubungi Azka, aku dikagetkan dengan teriakan Bunda dari arah kamar. 

Aku berlari kencang menyusul beliau. Aku semakin kaget saat mendapati Bunda menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayah yang tidak merespon.

"Bunda, Ayah kenapa?" pekikku tak kalah histeris. 

"Bunda juga tidak tahu, Ayah sepertinya pingsan. Telpon Azka sekarang, Qila. Cepat!" titah Bunda. 

Langsung saja kutekan nomor Azka dan menghubunginya. Cukup lama nada terhubung, barulah Azka mengangkatnya. 

"Hallo, assalammualaikum. Ada apa Q--"

"Azka, cepat pulang! Ayah pingsan!" teriakku cepat. 

"Iya, aku pulang segera."

Kumatikan ponsel lagi dan kembali ke kamar Bunda. Kulihat Bunda masih saja menangis dan berusaha terus membangunkan Ayah. Aku yakin Ayah akan baik-baik saja, dadanya naik turun pertanda beliau masih bernapas. 

Ya Allah, lindungilah Ayah. 

***

Kami sudah berada di rumah sakit, para dokter dan perawat tengah sibuk di dalam sana. Sedangkan Bunda masih saja menangis, syok atas kejadian ini. Aku yang sebenarnya juga histeris, berusaha terlihat tegar dan kuat, agar Bunda tidak larut dalam kekhawatirannya tentang Ayah. 

"Minum dulu, Bunda," ucapku menyodorkan sebotol air minum mineral yang baru saja dibelikan Azka. 

Bunda meraih botor dengan tangan bergetar, air matanya tetap saja tidak berhenti mengalir. Kulihat Bunda meneguk air dengan pelan. Tiba-tiba, Bunda menangis lagi dengan isakan yang lebih kuat. 

Aku yang kaget lantas menaruh air minum tadi di kursi samping beliau. Bunda menutupi tangisnya di balik kedua telapak tangan. Aku tahu Bunda pasti sangat khawatir sekarang. 

"Bunda, lebih baik kita berdoa agar Ayah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Bun," bujukku dengan mengusap-usap punggung Bunda. 

"Ada apa dengan ayahmu, Qila? Tadi ia sehat-sehat saja, tidak ada gejala sakit sedikitpun. Dan lagi, kenapa dokter itu lama sekali," ujar Bunda menatap pintu ruangan dengan raut kesal. 

"Biarkan dokter bekerja dengan yang seharusnya, Bun. Lebih baik Bunda sholat dulu, biar Qila dan Azka tunggu di sini."

"Ya, sudah. Bunda mau sholat dulu ke Musala, kamu dan Azka jaga di sini sampai dokter ke luar. Ingat, ya, jangan ke mana-mana!" tegas Bunda mengingatkan.

Aku dan Azka mengangguk cepat tanda mengerti. Paham akan kekhawatiran Bunda saat ini. 


***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status