Bab 29Seorang wanita berlari tertatih-tatih meninggalkan sebuah gudang tua. Kakinya yang telan jang menginjak kerikil yang runcing, namun ia terus berlari walau sakit yang mendera membuat wajah pucatnya meringis. Sesekali ia melihat ke belakang. Seolah takut akan ada orang yang mengejarnya dalam kegelapan malam. Hingga akhirnya, tubuh kurus itu tak lagi mampu bertahan dan ambruk di tepi jalan yang sepi.Lima belas menit berlalu, tampak cahaya lampu mobil dari kejauhan. Sebuah mobil muncul dan berhenti di samping tubuhnya yang terkapar. Sayup ia mendengar seseorang berkata, "masih hidup! Cepat bawa ke mobil! Orang ini butuh pertolongan segera!"Bibir keringnya mendesah lega. "Ah ... akhirnya." *Reza langsung berangkat ke Rumah Sakit dengan wajah serius. Kasus yang sedang dikejarnya kembali menghadirkan insiden. Wanita paruh baya yang menghilang dari Rumah Sakit telah ditemukan. "Dia masih butuh perawatan, tapi sudah sanggup berinteraksi," ujar seorang dokter perempuan saat ia
Pukul dua belas malam, Dinda masih dalam duduk di tepi ranjangnya dengan hati bimbang. Padahal mereka telah sampai ke rumah satu jam yang lalu. Haruskah ia yang lebih dulu meminta izin untuk masuk ke kamar Dr.Andra? Atau ia tunggu dulu sang dokter yang memanggil? Setengah jam berlalu, nyatanya Dinda tak berani masuk lebih dulu. Akhirnya ia memutuskan mengambil air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering karena tegang. Ceklek! Pintu kamarnya terbuka, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Andra yang berseberangan dengan kamarnya. Matanya langsung bertemu dengan mata coklat terang Andra. Sang dokter sangat tampan dengan sweater biru tua dan celana putihnya. Rambutnya tampak sedikit kusut dan basah.Bibir menawan laki-laki mengukir senyum. "Aku mau pinjam hairdryer," ucapnya."Oh," Dinda langsung masuk kembali dan mencari hairdryer miliknya. Jantungnya nyaris serasa jatuh saat bertemu tatap dengan lelaki yang memang sedang dipikirkannya. Kini degupnya begitu kencang, sampai
"Aku tau alasanmu menjebaknya hanya untuk melihat seberapa besar keteguhannya dalam mempertahankan hidup. Kau ingin membuatnya jatuh cinta dan lantas meninggalkannya."Andra terdiam. "Bagaimana kau tau?" tanyanya kemudian. "Siska saja tau, bagaimana mungkin aku tidak?""Lalu kenapa selama ini kau memintaku menjauh dari Siska? Padahal kau tidak benar-benar menyukainya, kan?" tanya Andra tanpa menoleh. "Karena dia membawa pengaruh buruk untukmu. Dia yang membuatmu menyekap Ari di dalam lemari saat kita masih jadi anak buah Kang Komar dulu."Keduanya terdiam. "Aku ingin, kau berhenti sekarang. Buang semua bayang-bayang masa lalu dan hiduplah dengan damai bersama perempuan itu." pinta Alex. "Ini satu-satunya permintaan pertama dan terakhirku," ujarnya, lalu bangkit dan melangkah pergi."Aku juga punya permintaan," Andra menoleh, pada punggung Alex yang berhenti melangkah. "Berhenti melakukan hal buruk yang akan membuatmu tertangkap dan berakhir di penjara. Aku tau, kau juga merasakan tr
"Dokter Muda Andra Janson Diam-diam Telah Menikah Dengan Mahasiswi Calon Pelukis."Dinda terpaku bingung setelah membaca judul beritanya. "Kenapa bisa masuk berita begini?" tanyanya kemudian. "Ya bisa lah. Suami kamu itu Dr.Andra Janson, Dinda. Dokter muda terbaik di seantero provinsi ini," sahut Fathimah. "Dan lagi, semalam itu Dr. Andra sweet banget, lho. Langsung cium kamu di depan semua orang dan bilang kalo kamu istrinya."Dinda menggigit bibirnya. Tidak hanya semalam, pagi tadi Dr.Andra juga membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu kemudian melangkah dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa mahasiswa tampak berbisik saat ia lewati. Membicarakan hal yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang juga melihat beritanya. Dinda menggaruk kening dengan ujung telunjuknya sambil terus berjalan. Kalau sudah begini ia bisa apa? Dr.Andra yang telah jadi suaminya memang orang ternama yang sangat wajar menjadi buah bibir orang-orang. Jadi mau tak mau ia harus siap menjadi buah b
Reza menghentikan motornya di hadapan sebuah Restoran. "Kita sekalian makan siang, ya?" ucap pria itu pada Dinda. "Makan siang?" Dinda mengernyit. "Ini udah sore, Za."Reza menyengir. "Aku belum sempat makan siang tadi. Temenin aku, ya?" "Tapi aku cuma minum aja, ya.""Oke," Reza tersenyum manis. Sepiring spaghetti dihidangkan di hadapan keduanya dengan dua gelas jus. "Kamu beneran nggak mau makan, nih?" tanya Reza. Dinda mengangguk. Perutnya tak merasa lapar dengan keadaan hati yang tak menentu seperti ini. Sikap Dr.Andra yang tiba-tiba romantis membuatnya tak bisa memikirkan apapun selain laki-laki itu. Reza langsung menyuap spaghetti itu tanpa mengaduk sausnya. "Ternyata kamu makannya masih kayak dulu, ya?" Dinda menatapnya sambil menggeleng-geleng. "Apanya?" Reza menengok tak mengerti. "Itu, tidak diaduk dulu?" tunjuk Dinda ke piring Reza. "Masih males buat ngaduk?" Reza terkekeh. "Iya. Seperti yang kamu tau, aku lebih malas disuruh aduk makanan daripada cuci piring."
Andra tertawa melihat reaksi Dinda. Wajah manis itu tampak pucat. "Aku tidak minta itu, kok," terang laki-laki itu setelah tawanya reda. "Aku hanya ingin, kamu menganggap pernikahan kita ini bukan sekedar pernikahan yang terjadi karena keadaan yang mendesak. Kalo boleh, aku ingin menua bersamamu," sambungnya kemudian. Dinda terpaku. Napasnya seakan terhenti. Selama ini ia tak berani berharap untuk masa depan yang lebih jauh bersama laki-laki yang telah menikahinya itu. Karena ia merasa pernikahan mereka hanyalah sebuah bentuk bantuan sang dokter untuknya. ."Dokter ... serius?" tanyanya kemudian. "Ya, mana mungkin hal sepenting ini dibawa bercanda?""Tapi ... saya bukan wanita yang Dokter cintai. Dan Dokter juga harusnya masih bisa memilih istri sesuai kriteria yang Dokter inginkan."Andra tersenyum dan menopang dagunya. "Siapa bilang kamu bukan kriteria yang aku inginkan?"Dinda terdiam. Lalu menunduk, menghindari tatapan sang dokter yang membuatnya grogi. "Meski tak punya krite
Reza keluar bersama Excel. Dahlan langsung menyambutnya dengan tatapan tak sabar. "Bagaimana? Memang dokter itu kan, pelakunya?" cecar laki-laki itu."Iya. Bapak juga ditangkap," jawab Excel."Apa maksudmu?""Bapak juga salah.""Salah apanya?!" Dahlan mengernyit tak terima. "Bapak yang buat aku diculik orang."Plak! Dahlan menepuk keras kepala putranya."Ngawur kamu! Mana mungkin Bapak ingin kamu diculik orang!" bentaknya. "Ehm," Reza berdeham untuk menenangkan ayah dan anak itu. "Kami akan menginterogasi Dr.Andra lebih dulu. Kalo memang terbukti salah, baru kami menangkapnya.""Bagus, kalau ada kemajuan seperti itu!" Dahlan akhirnya tersenyum puas. "Harusnya kalian beruntung kami langsung tau pelakunya. Kalian tak perlu susah-susah menyelidiki lagi."Edi mengangguk-angguk cepat. Tak ingin preman sekaligus rentenir tua itu terus mengoceh. "Iya Pak, iya. Kami berterimakasih atas kerjasamanya," ucapnya. Sang Brigadir kemudian menatap seniornya. "Gimana hasilnya? Apa memang dokter
Di Kantor Polisi. Begitu keluar dari ruang interogasi, Reza melihat Dahlan kembali. Laki-laki tua berbadan tinggi besar itu tampak bersemangat."Di mana dia?" tanya Dahlan dengan angkuhnya. Reza mengerutkan keningnya. "Dia? Maksudnya anak Bapak?" "Bukan. Si dokter sialan itu. Bukankah kalian sudah menangkapnya?""Kami masih dalam penyelidikan, Pak.""Halah! Penyelidikan apa?! Kalian terlalu bertele-tele. Sudah jelas anak ingusan sok kaya itu pelakunya, masih saja kalian ragukan! Biarkan aku masuk dan bertemu dengannya!""Tidak bisa, Pak. Tolong jangan buat kerusuhan," tolak Reza. "Kerusuhan apanya? Aku cuma mau menanyakan sesuatu sama dia, biar mata kalian terbuka!"Reza menggeleng. "Tidak bisa, Pak!" tegasnya."Biarkan saja, IPDA Reza. Biarkan dia masuk." Suara berat seorang laki-laki tiba-tiba menyela. Komisaris Haris berdiri dengan memasang tampang wibawa yang menyembunyikan obsesinya. Reza langsung menoleh. Begitu juga dengan Dahlan. Sang rentenir tua langsung tertawa melih