"Dokter Muda Andra Janson Diam-diam Telah Menikah Dengan Mahasiswi Calon Pelukis."Dinda terpaku bingung setelah membaca judul beritanya. "Kenapa bisa masuk berita begini?" tanyanya kemudian. "Ya bisa lah. Suami kamu itu Dr.Andra Janson, Dinda. Dokter muda terbaik di seantero provinsi ini," sahut Fathimah. "Dan lagi, semalam itu Dr. Andra sweet banget, lho. Langsung cium kamu di depan semua orang dan bilang kalo kamu istrinya."Dinda menggigit bibirnya. Tidak hanya semalam, pagi tadi Dr.Andra juga membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu kemudian melangkah dengan perasaan yang bercampur aduk. Beberapa mahasiswa tampak berbisik saat ia lewati. Membicarakan hal yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang juga melihat beritanya. Dinda menggaruk kening dengan ujung telunjuknya sambil terus berjalan. Kalau sudah begini ia bisa apa? Dr.Andra yang telah jadi suaminya memang orang ternama yang sangat wajar menjadi buah bibir orang-orang. Jadi mau tak mau ia harus siap menjadi buah b
Reza menghentikan motornya di hadapan sebuah Restoran. "Kita sekalian makan siang, ya?" ucap pria itu pada Dinda. "Makan siang?" Dinda mengernyit. "Ini udah sore, Za."Reza menyengir. "Aku belum sempat makan siang tadi. Temenin aku, ya?" "Tapi aku cuma minum aja, ya.""Oke," Reza tersenyum manis. Sepiring spaghetti dihidangkan di hadapan keduanya dengan dua gelas jus. "Kamu beneran nggak mau makan, nih?" tanya Reza. Dinda mengangguk. Perutnya tak merasa lapar dengan keadaan hati yang tak menentu seperti ini. Sikap Dr.Andra yang tiba-tiba romantis membuatnya tak bisa memikirkan apapun selain laki-laki itu. Reza langsung menyuap spaghetti itu tanpa mengaduk sausnya. "Ternyata kamu makannya masih kayak dulu, ya?" Dinda menatapnya sambil menggeleng-geleng. "Apanya?" Reza menengok tak mengerti. "Itu, tidak diaduk dulu?" tunjuk Dinda ke piring Reza. "Masih males buat ngaduk?" Reza terkekeh. "Iya. Seperti yang kamu tau, aku lebih malas disuruh aduk makanan daripada cuci piring."
Andra tertawa melihat reaksi Dinda. Wajah manis itu tampak pucat. "Aku tidak minta itu, kok," terang laki-laki itu setelah tawanya reda. "Aku hanya ingin, kamu menganggap pernikahan kita ini bukan sekedar pernikahan yang terjadi karena keadaan yang mendesak. Kalo boleh, aku ingin menua bersamamu," sambungnya kemudian. Dinda terpaku. Napasnya seakan terhenti. Selama ini ia tak berani berharap untuk masa depan yang lebih jauh bersama laki-laki yang telah menikahinya itu. Karena ia merasa pernikahan mereka hanyalah sebuah bentuk bantuan sang dokter untuknya. ."Dokter ... serius?" tanyanya kemudian. "Ya, mana mungkin hal sepenting ini dibawa bercanda?""Tapi ... saya bukan wanita yang Dokter cintai. Dan Dokter juga harusnya masih bisa memilih istri sesuai kriteria yang Dokter inginkan."Andra tersenyum dan menopang dagunya. "Siapa bilang kamu bukan kriteria yang aku inginkan?"Dinda terdiam. Lalu menunduk, menghindari tatapan sang dokter yang membuatnya grogi. "Meski tak punya krite
Reza keluar bersama Excel. Dahlan langsung menyambutnya dengan tatapan tak sabar. "Bagaimana? Memang dokter itu kan, pelakunya?" cecar laki-laki itu."Iya. Bapak juga ditangkap," jawab Excel."Apa maksudmu?""Bapak juga salah.""Salah apanya?!" Dahlan mengernyit tak terima. "Bapak yang buat aku diculik orang."Plak! Dahlan menepuk keras kepala putranya."Ngawur kamu! Mana mungkin Bapak ingin kamu diculik orang!" bentaknya. "Ehm," Reza berdeham untuk menenangkan ayah dan anak itu. "Kami akan menginterogasi Dr.Andra lebih dulu. Kalo memang terbukti salah, baru kami menangkapnya.""Bagus, kalau ada kemajuan seperti itu!" Dahlan akhirnya tersenyum puas. "Harusnya kalian beruntung kami langsung tau pelakunya. Kalian tak perlu susah-susah menyelidiki lagi."Edi mengangguk-angguk cepat. Tak ingin preman sekaligus rentenir tua itu terus mengoceh. "Iya Pak, iya. Kami berterimakasih atas kerjasamanya," ucapnya. Sang Brigadir kemudian menatap seniornya. "Gimana hasilnya? Apa memang dokter
Di Kantor Polisi. Begitu keluar dari ruang interogasi, Reza melihat Dahlan kembali. Laki-laki tua berbadan tinggi besar itu tampak bersemangat."Di mana dia?" tanya Dahlan dengan angkuhnya. Reza mengerutkan keningnya. "Dia? Maksudnya anak Bapak?" "Bukan. Si dokter sialan itu. Bukankah kalian sudah menangkapnya?""Kami masih dalam penyelidikan, Pak.""Halah! Penyelidikan apa?! Kalian terlalu bertele-tele. Sudah jelas anak ingusan sok kaya itu pelakunya, masih saja kalian ragukan! Biarkan aku masuk dan bertemu dengannya!""Tidak bisa, Pak. Tolong jangan buat kerusuhan," tolak Reza. "Kerusuhan apanya? Aku cuma mau menanyakan sesuatu sama dia, biar mata kalian terbuka!"Reza menggeleng. "Tidak bisa, Pak!" tegasnya."Biarkan saja, IPDA Reza. Biarkan dia masuk." Suara berat seorang laki-laki tiba-tiba menyela. Komisaris Haris berdiri dengan memasang tampang wibawa yang menyembunyikan obsesinya. Reza langsung menoleh. Begitu juga dengan Dahlan. Sang rentenir tua langsung tertawa melih
Dinda menahan napas merasakan sentuhan lembut di pipinya. Jemari Andra kini menyentuh wajahnya, sementara wajah tampan yang dikaguminya itu semakin mendekat padanya. Dinda menelan saliva. Jantungnya mulai berdegup dengan kencang.Begini kah rasanya disentuh oleh seorang lelaki yang kita sukai? Rasanya benar-benar mendebarkan. Wajah Andra semakin mendekat. Membuat Dinda tak lagi mampu menatap. Jantungnya tak kuasa. Hingga spontan matanya tertutup. Hati kecilnya hanya bisa mengucapkan bismillah. Dengan nama Allah ia akan merelakan semua anggota tubuh dan wajahnya disentuh oleh lelaki yang telah sah menjadikannya istri di hadapan-Nya. Dalam gelapnya mata yang terpejam, ia merasakan hembusan napas hangat di wajahnya. Dinda menelan salivanya lagi dengan dada yang semakin berdebar. Detik selanjutnya, keningnya merasakan sebuah kecupan hangat nan lembut. Kecupan yang dilakukan dengan penuh perasaan. Refleks, Dinda membuka matanya. Dr. Andra ternyata hanya mengecup keningnya, bukan me
Bab 38Dinda langsung menajamkan pendengaran. Kres kres kres. Suara lain kembali terdengar. Seperti orang mengais sesuatu. Jantung Dinda seketika berdetak kencang. Suara itu jelas berasal dari kamar ke-tiga. Ia merasa harus memastikannya kali ini, kenapa seringkali ada suara dari kamar itu jika tak ada penghuninya? Dinda bangkit perlahan, kemudian berjingkat menuju ke ruang belakang. Kres kres kres. Suara kerukan itu kembali terdengar. Dinda mendekat ke arah pintu kamar ke-tiga dan menempelkan telinganya. Namun ia tak melihat, ada semut yang berbaris di daun pintu.Dan saat mukanya dinaiki semut yang terhalang barisannya, gadis itu langsung berteriak kaget. "Astaghfirullah!" serunya sambil menepis semut itu dari pipinya. Dan suara berisik di dalam langsung menghilang. Dinda kembali menunggu dan menajamkan pendengaran. Namun kamar itu benar-benar telah senyap. Dinda menghela napas dan menatap semut-semut yang telah mengganggu pengintaian nya. Hewan-hewan kecil itu berbaris dan
Bab 39Dinda keluar dari kelasnya dengan wajah muram. Ia benar-benar sedih tak bisa menjadi penolong untuk Andra. Ia tak tahu bagaimana caranya membuktikan bahwa sang dokter tak mungkin menculik seseorang.Gadis itu menggigit bibirnya. Membayangkan Reza yang begitu yakin bahwa Dr.Andra adalah penjahat. Bagaimana kalau Dr.Andra dipenjara? Ah, ia benar-benar tak sanggup membayangkannya. Hatinya hanya bisa berharap semoga pengacara yang dicari Alex bisa segera membantu sang dokter. "Dinda!" Sebuah suara memanggilnya dari arah tempat parkir.Dalam kekacauan pikirannya, gadis itu menoleh. Dan langkahnya seketika terhenti. "Dokter ... Andra?" sebutnya terbata. Rasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Andra melayangkan senyuman hangat. "Iya, ini aku," jawabnya. Dinda mengerjapkan matanya, memperjelas penglihatannya yang mungkin saja tertipu halusinasi. Dan ternyata sosok Andra benar-benar nyata. Serasa telah menemukan kembali separuh jiwanya, Dinda merasakan haru memenuhi dadanya.