{“Maha, mama minta kamu pulang sekarang juga. Ini penting! Mama tunggu!”}Mahanta mengerut membaca chat dari Intan saat pria itu kembali ke ruangannya. Setelah Ziana masuk ke ruang pribadinya, Lintang memberitahu Mahanta kalau ada salah satu klien yang ingin bertemu dengannya. Karena itu Mahanta tidak ada di ruangannya saat Ziana pergi dari sana.“Ada apa ya?” gumam Mahanta yang bisa didengar Lintang.“Kenapa, bos?”“Mama menyuruhku pulang. Penting katanya. Padahal setelah ini, aku harus ke rumah Ziana.”“Coba ditelpon dulu, bos.”Mahanta menyetujui usulan Lintang dan menelpon Intan. Setelah menunggu, Intan tidak kunjung mengangkat teleponnya. Merasa ada yang tidak beres karena mamanya itu jarang meminta hal seperti itu, Mahanta memutuskan untuk pulang sebentar.“Aku akan pulang. Nanti aku balik lagi ke sini. Kabarin kalau Ziana sudah bangun ya. Kamu jangan pulang dulu sampai Ziana bangun,” titah Mahanta.“Siap, bos. Yang penting bonus lancar.”“Dasar matre!”“Realistis, bos. Hari gin
Ziana yang baru sampai di rumah, mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Sejak terakhir memesan gocar setelah menjemput Rania, Ziana tidak memperhatikan ponselnya lagi. Keningnya mengerut saat melihat ponselnya sepi tanpa adanya notifikasi yang biasanya ramai.“Kok sepi banget ya. Biasanya jam segini ada notifikasi like dari postingan kak Hannah,” gumamnya sambil mengutak-atik ponsel itu. “Astaga! Kuotanya habis.”“Kenapa, Na?” tanya Hannah yang kembali dari dapur.“Kuotaku habis, kak. Pinjam hotspot dong.”Hannah menyodorkan ponselnya lalu beranjak ke kamar Rania untuk mengajaknya mandi. Baru saja Ziana menyambungkan ponselnya dengan hotspot Hannah, beberapa chat langsung masuk membuat ponsel Ziana sangat berisik.“Banyak banget. Maha?”Ziana hampir membuka chat dari Mahanta, tapi pria itu sudah lebih dulu menelponnya. Perempuan itu segera mengangkat teleponnya dan mendengar teriakan kekhawatiran Mahanta.[“Sayang, kamu dimana?! Kenapa nggak aktif? Tolong katakan kamu dimana sekarang?
“Rania itu__”“Kenapa Bapak bisa bertanya seperti itu? Apa sebelumnya kalian pernah...” Renan memotong ucapan Hannah yang ingin menjelaskan siapa Rania sebenarnya. Lirikan mata pria itu membuat Hannah menunggu Mahanta menjawab pertanyaan Renan.“Kak Renan!” seru Ziana dengan wajah merona merah.Rasanya tidak pantas bagi Renan untuk menanyakan hal pribadi seperti itu. Ziana merasa Renan memiliki rencana lain kalau sampai Mahanta mengatakan yang sebenarnya. Perempuan itu sedikit paham dengan jalan pikiran Renan.“Dia Rania, keponakanku. Anaknya kak Hannah dan kak Renan,” sambung Ziana cepat.Mahanta termangu sejenak sebelum kembali bertanya. “Lalu kenapa dia memanggilmu ‘buna’?”“Sejak lahir, Rania lebih sering diasuh oleh Ziana. Saya sebagai ibunya harus bekerja membuat pesanan kue untuk membantu mas Renan. Bukan hanya Bapak yang salah paham, tapi tetangga di sekitar sini juga sering mengira kalau Rania adalah anaknya Ziana,” jelas Hannah.“Saya mengerti.” Mahanta mengangguk dan merasa
“Jangan macam-macam, Maha. Nanti kakakku lihat.” Ziana menggeser posisinya sedikit menjauh lalu membuka bungkusan bento yang terlihat lezat.Aroma enak membuat Ziana tersenyum senang lalu mulai mengambil peralatan makan yang tersedia di dalam bungkusan bento itu. Tanpa menawari Mahanta, Ziana segera melahap bento itu hingga kedua pipinya menggelembung seperti kelinci yang sedang makan.“Pelan-pelan makannya. Tidak ada yang akan merebut makananmu,” ucap Mahanta sambil membuka botol air mineral untuk Ziana. “Habis kamu makan, es buahnya akan meluncur kesini.”“Kok tahu lagi?!”Ziana mencoba mengingat darimana Mahanta bisa mendapatkan informasi tentang apa yang diinginkannya. Ekspresi wajahnya sedikit berubah saat teringat dengan status yang dibuatnya ketika menjemput Rania tadi. Ziana memang melihat gambar bento dan es buah yang lewat di sosial medianya. Hanya gambar tapi bisa membuat salivanya membanjiri mulutnya.“Lain kali kalau ada yang kamu inginkan, kasih tahu aku. Jangan diam saj
Hannah kembali ke kamar Ziana sambil membawa segelas kopi dan kue buatannya. Diletakkannya kopi dan kue itu diatas meja Ziana, lalu keluar lagi. Wanita itu ingin menidurkan Rania dulu. Melihat lemper kesukaannya, Mahanta langsung mengambil kue itu lebih dulu. “Enak banget. Rasanya sama banget kayak yang dibeli mamaku. Ini kakakmu yang buat?” “Iya. Itu semua kue yang dijual kak Hannah di toko kuenya. Padahal kak Hannah selalu memakai bahan-bahan yang bagus. Aneh kalau ada kuenya yang basi sampai separah di berita itu. Kak Hannah juga tidak pernah menjual kue hari kemarin lagi. Kalau ada yang tersisa, dia akan membawanya pulang atau memberikannya pada orang yang kurang mampu yang ditemuinya di jalan.” Mahanta mengangguk mengerti lalu meraih kue lemper lagi. Sampai tiga kue lemper habis, Mahanta baru meneguk kopinya. “Enak?” “Banget. Besok aku pesan lemper lagi ya. Aku mau lima. Biasanya kakakmu bisa bikin berapa?” “Bisa 50 bungkus. Karena harus bikin kue yang lain lagi. Kalau cuma
Langkah Sherena terhenti saat terdengar suara ponsel dari arah lift. Mahanta kembali mengintip dari balik pilar dan memfokuskan matanya melihat sosok yang baru muncul dari dalam lift.“Jay? Oh, rupanya mereka masih berhubungan.” Mahanta menatap dingin pada Jay yang merangkul pinggang Sherena dan berjalan menuju mobil pria itu.“Mereka mau kemana ya? Apa harus kuikuti?”Mahanta mengurungkan niatnya untuk mengikuti Sherena dan Jay dengan resiko ketahuan. Pria itu berjalan cepat menuju lift setelah mobil Jay keluar dari basement apartemen. Di dalam lift, Mahanta mencoba menghubungi Lintang.“Suruh orang mengikuti mobil Jay sekarang. Dia baru keluar dari basement apartemen,” titah Mahanta setelah terdengar suara Lintang dari seberang sana.[“Memangnya dia bikin ulah apalagi?”] tanya Lintang sambil mengirimkan chat pada orang kepercayaannya dengan ponsel satunya.“Dia keluar sama Sherena. Feelingku mengatakan ada sesuatu yang menarik.”[“Kamu cemburu?”]“Hei! Aku hanya ingin menyingkirkan
“Selamat pagi, Bu Hannah. Maaf mengganggu.”“Iya, Pak. Silakan. Maaf sedikit berantakan.” Hannah sedikit bingung dimana bisa menerima tamu itu sedangkan meja makannya sedang berantakan.“Kak, mereka...”“Tenang, Na. Kakak sudah siapkan uangnya. Kamu bikinin kopi dulu ya.”Ziana menatap ragu ke arah Hannah yang sudah mendekati petugas dari bank tempatnya meminjam uang atas jaminan rumah mereka. Kekhawatiran Ziana membuat Mahanta ikut menatap ke arah Hannah lalu bertanya padanya.“Siapa mereka, sayang?”“Petugas bank. Kak Hannah terpaksa meminjam uang untuk modal berjualan kue dan membiayai kuliahku. Seingatku jatuh temponya masih lama, tapi kemarin ada petugas bank itu bilang kalau kak Hannah harus melunasi hutang itu secepatnya.”“Lintang, bantu Bu Hannah. Cepat selesaikan,” titah Mahanta sebelum Ziana bisa mencegahnya.“Baik, Bos.”“Pak Lintang, jangan kesana. Maha, biarin kak Hannah yang... KAK HANNAH!”Ziana menjerit syok ketika melihat Hannah terdorong ke samping oleh petugas bank
“Sherena? Apa maksudmu?”Mahanta menoleh kaget mendengar suara Ziana yang sudah berdiri di belakangnya. Ekspresi perempuan itu sangat dingin, tapi menuntut sebuah penjelasan.“Apa yang dia lakukan? Aku tidak suka dibohongi lagi, Maha. Jawab aku.”Mutlak menuntut jawaban. Tidak ada kesempatan bagi Mahanta untuk berkilah kali ini. Pria itu harus mengatakan yang sebenarnya.“Maafkan aku, Na. Kita bicarakan setelah Lintang kembali ya. Jangan sampai Bu Hannah dengar.”Ziana menahan segala keingintahuannya dan memilih kembali ke tempat duduknya. Rasa mualnya kini berganti menjadi rasa kesal yang teramat sangat pada Mahanta. Lagi-lagi Sherena menjadi alasan Mahanta mengulur waktu.Kepercayaan Ziana pada Mahanta kini berada di ambang krisis lagi. Tidak menutup kemungkinan Mahanta hanya menggunakan Lintang dan Hannah untuk memikirkan alasan lain untuk menutupi kebenaran. Disaat seperti ini, Ziana masih tidak tegas jika berhubungan dengan Hannah.“...Na? Ziana?” panggil Hannah sambil mengguncan