“Tenang dulu, tante. Semuanya akan terbuka hari ini. Saat ini juga. Tapi sebelum itu...” Mahanta fokus menatap Rania yang sibuk memperlihatkan boneka beruangnya pada kedua bayi Zaidan dan Ananda. “Tante Juwita, tolong bawa Rania dan bayi kami ke kamar tamu ya. Disana,” tunjuk Mahanta.Juwita yang ingin tahu ceritanya, terpaksa mengangguk. Dia mendorong stroller kembar itu sambil menggandeng Rania menuju kamar tamu. Setelah pintu kamar tamu tertutup, Mahanta kembali menatap satu persatu orang yang ada di ruangan itu.“Aku mulai ya. Kalian pasti sudah tahu siapa Sherena. Tapi yang kalian belum tahu adalah perbuatan jahat yang Sherena lakukan selama ini.”Nenek Darisa yang ingin bicara, terdiam saat Mahanta mengangkat tangannya. “Ada waktunya nenek untuk bicara nanti. Tapi tidak sekarang. Aku akan mulai mengatakan apa saja yang sudah Sherena lakukan selama ini. Dan semua ini ada hubungannya dengan Ziana, istriku dan Zaidan, bayi kami.”“Bayi cacat dibelain terus,” dumel nenek Darisa memb
“Papamu? Aku tidak yakin. Seharusnya dia sudah ada disini saat ini, Sherena. Tapi dimana dia?” Mahanta tersenyum mengejek ke arah Sherena.“Apa maksudmu, Maha? Kau apakan papaku?! Lepaskan aku!” Sherena memberontak dalam ikatannya hingga kedua pergelangan tangannya berdarah. Tatapannya nyalang menatap Mahanta penuh dendam.“Diam, Sherena. Atau kulakban mulutnya,” ancam Mahanta. “Papamu sudah berada di tangan yang tepat. Siapa suruh melakukan kejahatan untuk menjalankan bisnisnya. Papamu juga yang mengancam bisnis papaku ‘kan? Sampai salah satu kantor cabang kami tutup.”“Apa benar, Maha? Pak Nugraha yang melakukan itu?”“Aku sudah tahu sejak awal, pah. Tapi papa tidak akan percaya karena buktinya tidak ada. Papa Sherena menyuruh preman-preman yang dibayarnya untuk meneror para pegawai kita hingga trauma. Bahkan pengrusakan fasilitas kantor juga dilakukan oleh mereka.”“Wah, benar-benar nggak habis pikir papa. Tega banget Pak Nugraha melakukan itu. Apa dia tidak memikirkan dampaknya?”
“Kau membuat mama malu, Jay. Mama tidak pernah mengajarimu merebut apa yang menjadi milik orang lain,” ucap Emma kecewa.“Tapi mama melakukannya ‘kan? Mama merebut papa Hasan dari tante Intan.”Emma kembali melayangkan tamparan ke pipi putranya. “Kami menikah atas restu kak Intan, Jay. Apa yang mama lakukan berbeda denganmu, Jay. Jelas-jelas Ziana tidak setuju. Kamu tidak boleh memaksanya.”“Kenapa, mah? Kenapa aku tidak boleh mendapatkan apapun yang kuinginkan? Bahkan setelah semua yang kulakukan, aku tidak mendapat apapun selain menjadi bayangan Maha saja.” Jay terduduk di lantai yang dingin dengan tatapan kosong.“Jay, kamu salah, nak. Papa tidak mau kau terbebani dengan semua tugas untuk menjadi pewaris Hirawan. Kau pernah mencobanya ‘kan dan __”“Aku gagal. Aku tahu, pah. Tidak perlu papa ingatkan lagi.”“Dan apa kau ingat kenapa sampai kau gagal?”Jay terdiam memikirkan pertanyaan Hasan. Seharusnya ia berhasil memenangkan sebuah tender besar ketika sakit typus menyerangnya. Demi
Sambil berjalan keluar dari kamar bayinya, Ziana mencoba menghubungi Tomo. Setelah menunggu sebentar, akhirnya Tomo mengangkat teleponnya.“Halo, Ziana. Ada apa?”[“Ayah dimana sekarang? Kok nggak ada di mansion?”] tanya Ziana sedikit cemas.“Ayah masih diluar sama bunda, sama anak-anak juga. Kamu bukannya lagi sama Maha? Kok sudah pulang?”Ziana mengerutkan keningnya mencoba mencerna apa yang Tomo katakan. “Memangnya kenapa, ayah? Aku nggak ada urusan sama dia.”[“Masih ngambek ya? Kasihan Maha, Na. Dia melakukan itu untuk melindungi Zaidan. Coba kamu pikirkan baik-baik, Na.”]“Yah, aku masih sakit hati ya.”[“Ayah tahu. Tapi nggak baik lama-lama bertengkar. Lagian masalahnya sudah jelas ‘kan? Bunda juga titip pesan, bikinin adiknya Zaidan katanya.”]Ziana melotot kaget dan tersedak liurnya sendiri mendengar permintaan Juwita. “Uhuk! Ayah, aku belum lewat masa nifas. Masa sudah minta lagi?”[“Ya sudah, nunggu lewat masa nifas kata bunda. Sudah ya. Ayah mau bantu bunda dulu. Inget bai
“Masa belum sih? Gimana Lintang itu?” omel Juwita sambil menatap kesal ke arah Lintang. Dari reaksi Hannah saja, dia sudah bisa menebak kalau hubungan antara Hannah dan Lintang masih jalan di tempat.Hannah yang tidak mengerti dengan maksud ucapan Juwita, ikut menatap Lintang yang sibuk memesan makanan untuknya. Setelah Lintang menyelamatkannya dari Sherena, Hannah masih merasa sedikit takut dan tidak nyaman. Untung saja Juwita dan Tomo sangat peka hingga mereka mengajak Hannah dan Rania untuk tinggal sementara di mansion mereka sampai Hannah pulih dari syok yang dialaminya.“Apa harus bunda yang nanya ya?”“Nanya apa, bunda? Memangnya ada apa?” Hannah mengerjap bingung dengan apa yang sedang Juwita bicarakan.“Hadeh, masa kamu nggak bisa lihat sih? Lintang itu__”“Sotonya akan datang sebentar lagi. Setelah makan, kamu bisa minum obat dan istirahat,” potong Lintang lalu duduk kembali ke tempatnya semula. Lintang menatap Hannah dan Juwita yang terdiam menatap kepadanya. “Ada apa? Mau p
“Mama ngapain di dapur?”Mendengar suara Rania, Hannah buru-buru berbalik dan tidak sengaja keningnya mengenai bibir Lintang. Wanita itu terpaku dengan mata melotot karena tidak menyangka dengan apa yang terjadi diantara mereka. Begitu pula dengan Lintang yang merasakan jantungnya berdebar kencang.“Mama?”Hannah tersentak lalu tersenyum pada Rania yang menatapnya dengan mata setengah mengantuk. “Sayang, kamu sudah bangun. Mau minum susu?”Rania mengangguk lalu mengalihkan pandangannya pada Lintang. Gadis kecil itu merentangkan tangannya lalu berucap, “Om Lintang, gendong.”“Iya, sayang. Sebentar ya. Om cuci tangan dulu.”Lintang segera mencuci dan mengeringkan tangannya sebelum menggendong Rania kembali ke ruang tengah. Tak lama, Hannah mendekati mereka sambil membawa tiga botol susu yang sudah siap diminum. Sambil tersenyum manis pada Rania, Hannah menyerahkan botol susunya pada putrinya itu.“Rania masih ngantuk ya. Mau bobok lagi?” tanya Hannah lembut.“Nggak, mah. Mau main sama o
[“Lintang, dimana kamu? Jam berapa kita berangkat?”] tanya Mahanta di seberang sana.Lintang melirik jam tangannya, “Setelah makan malam bersama di mansion ya, bos. Papa Sherena juga akan diantar kesana nanti. Mereka akan pergi bersama-sama sebagai satu keluarga.”[“Kapan kalian kesini?”]“Sebentar lagi, bos. Tapi sebelum itu beri aku ucapan selamat, bos. Aku akan menjadi ayah.”[“Apa kau gila, Lintang?! Bagaimana bisa kau menghamili Hannah?!”][“Apa?! Kak Hannah hamil?!”]Lintang menepuk keningnya sembari menjauhkan layar ponselnya dari telinganya. Suara Mahanta dan Ziana terdengar sangat keras hingga nyaris memecahkan gendang telinganya. Perlahan ia mendekatkan kembali layar ponsel itu dan mulai bicara.“Halo, bos? Dengerin dulu, bos. Halo? Halo?” Lintang memeriksa ponselnya dan menyadari sambungan teleponnya sudah terputus.Terdengar dering telepon di belakangnya membuat Lintang menoleh. Tomo meraih ponselnya lalu bicara dengan seseorang yang sepertinya terus menerus bersuara keras
Mahanta dan Ziana sama-sama menoleh ke arah pintu keluar dan mendapati Arjuna menutup matanya dengan kelima jari yang direnggangkan. Pria itu tiba-tiba membuka pintu ruang bayi dan memergoki keduanya sedang berciuman mesra. Bukannya menutup pintunya kembali, Arjuna justru membuka pintu semakin lebar hingga semua orang yang mendengar teriakannya, bergegas mendekati kamar bayi.“Ada apa? Ziana? Kamu tidak apa-apa?” tanya Tomo cemas. Lintang dan Juwita juga muncul di balik pintu dan melihat ke dalam kamar.“Nggak ada apa-apa, ayah. Arjuna rese tuh,” sahut Ziana dengan wajah merona. Ia mendorong pelan tubuh Mahanta agar menjauh darinya.Mahanta segera menegakkan tubuhnya lalu merapikan penampilannya. “Aku pergi dulu ya, sayang.”“Iya, hati-hati di jalan.”Ziana mengekori langkah Mahanta dengan sudut matanya, sebelum kembali bertatapan dengan Arjuna. Wanita itu melotot memperingatkan Arjuna agar tidak berkata macam-macam. Tapi pria itu tidak peduli dan tersenyum jahil.“Maha, bibirmu kenap