Share

BAB 6

Mendengar ucapan Erna, Rentenir itu langsung mengomeli wanita tersebut.

"Sialan! Kenapa gak bilang kalau dia punya Tuan Devano, ha! Mau ngebunuh saya, kamu!" sentak lelaki itu.

Erna mengeryitkan kening mendengar omelan lelaki tua itu. Begitupun Dania, wanita yang usia tidak jauh dari Kania dia menatap sang Ibu.

"Maksud Tuan, gimana? Saya gak paham. Tuan Devano? Siapa. Kania punya dia? Maksudnya gimana sih," lontar Erna.

Mendapati ucapan Erna, lelaki lawan bicara wanita itu mendengkus.

"Gak perlu banyak omong! Kamu tanyakan aja sama anakmu itu, dia dibawa Tuan Devano sekarang. Dan hutangmu udah dilunasi sama dia," sungut pria tua itu.

Dia langsung mematikan sambungan telepon, membuat Erna yang memanggil berdecak. Ia memilih mendaratkan bokong di kursi, diikuti Dania ikut duduk si samping wanita ini.

"Sini, Bu! Aku dengerin perkataan pria tua itu," pinta Dania.

Wanita itu langsung menyerahkan benda pipih tersebut. Memang ia saat menelepon segera merekam pembicaraan, untuk bukti agar untuk meminta mahar.

"Apa? Devano? Devano Arthur Rafandra bukan? Kalau iya, gila! Serius dia kenal sama Kania," pekik anak Erna.

Erna langsung memandang putrinya, ia mengerutkan kening lalu membulatkan mata.

"Maksud kamu, Devano yang kaya raya itu? Yang bahkan punya puluhan turunan gak bakal habis-habis?" tanya Erna.

Perempuan itu langsung menganggukan kepala, Erna segera melemparkan tatapan tak percaya.

"Jangan-jangan dia kerja jadi pembantu di rumah Tuan Devano lagi," ujar Dania.

"Gak mungkin kan kalau dia itu pacarnya Tuan Devano, gak pantes banget. Pantesnya jadi upik abu," lanjut wanita itu.

"Atau enggak dia jadi lacurnya Tuan Devano, tapi kabar simpang siur kalau Tuan Devano gak pernah deket sama cewek. Bahkan dia kaya punya alergi kalau deket cewek suka langsung muntah," cerocos Dania.

Wanita muda tersebut mengacak-acak rambutnya, ia sangat pusing dengan menerka-nerka hubungan Kania dan Devano. Mendengar ucapan sang putri, seringai Erna muncul perempuan ini segera menatap anaknya.

"Dania!"

Ia segera menatap sang Ibu karena panggilan lumayan kencang, padahal mereka sangat dekat. Tidak perlu bersuara begitu besar bukan?

"Ada apa, Bu. Gak usah teriak-teriak juga kali, kita di rumah bukan di hutang! Lagian Nia gak tuli," gerundel wanita itu.

Erna membalas dengan senyuman lebar, membuat Dania sedikit ngeri melihat hal tersebut.

"Kenapa Ibu senyum sampe segitunya," kata sang anak.

Erna langsung menarik putrinya duduk kembali, lalu tangan wanita itu memegang paha sang putri.

"Gini, Nia. Kita coba ke rumah Tuan Devano itu, kita cari tau apa yang dia lakuin ke Kania. Kalau misalnya dia mau pake Kania kan kita bisa minta tambahan uang ke dia, nanti kita bisa pergi jalan-jalan dan semuanya pokoknya," terang Erna.

Dania terdiam sebentar, melihat sang anak yang sangat lama berpikir membuat Erna mengerutkan kening.

"Kenapa kamu begitu? Biasanya kamu cepat banget kalau soal uang, apalagi yang jadi tumbal itu Kania," ujar Erna.

Helaan napas terdengar dari bibir Dania, wanita itu memandang sang Ibu dan memegang lengan perempuan tersebut.

"Tapi kalau misalnya Kania di jadiin istrinya gimana, Bu," kata Dania.

Erna semakin sumringah memdengar perkataan putrinya.

"Ya bagus dong, kita nanti makin gampang morotin uang cowok itu," balas Erna.

Dania langsung menghempaskan tangan sang Ibu, membuat Erna semakin mengerutkan kening. Bahkan alis wanita itu sampai menyatu.

"Ibu, mah ... gak ngerti banget, kalau misalnya dia jadi istrinya Tuan Devano, aku gak rela. Aku juga mau jadi istrinya Tuan Devano, Bu ...."

Erna menganggukan kepala, ia juga jadi berpikir jika putri kesayangannya jadi istri Devano. Pasti hidup mereka bakal serba enak, membuat wanita itu memandang Dania.

"Kalau gitu, pas ke rumahnya. Coba kamu goda aja, kamu kan lebih cantik dari Kania, pasti dia kepincut sama putri cantik Ibu, ini," lontar Erna.

Dania langsung tersenyum sumringah, wanita itu segera memeluk sang Ibu. Lalu ia segera menadahkan tangan membuat, perempuan ini menatap bingung.

"Uang, Bu ... aku kan mau tampil maksimal di depan Tuan Devano, aku harus ke salon sama beli baju," ujar Dania.

Wajah Erna langsung masam dengar permintaan putrinya, ia menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Gak ada uang, Nia. Uang ini buat makan kita hari ini."

Dania cemberut mendengar itu, ia menghentakan kaki dan kembali duduk di sofa dengan tangan bersidekap.

"Ibu, mah ... masa aku kaya gini ketemu Tuam Devano, dia kan pria kaya. Pasti selalu ketemu cewek cantik seksi yang perawatannya ratusan juta, aku kalau gini doang malu dong. Ayo dong, Bu ... lagian kalau aku berhasil dapetin Tuan Devano, Ibu juga yang enak nanti."

Ibu wanita itu langsung terdiam, ia menghela napas lalu mengeluarkan dompet. Membuat Dania tersenyum sumringah, perempuan tersebut dengan cepat merampas benda yang dipegang Ibunya.

"Dania! Ih ... kenapa dia ambil semua, nanti kita makan gimana huh ...!"

Dania menyerahkan dompet sang Ibu, ia segera menaruh lima lembar berwarna mereka ini di saku.

"Ini aja kurang Bu buat ke salon, ya Ibu nanti minta transfer dong ke Kania. Kan dia gajian, kan."

Setelah berkata demikian, Dania langsung pergi meninggalkan Ibunya di kediaman. Wanita itu mendengkus mendengar perkataan sang anak, lalu ia memilih lekas menelepon Kania.

"Lah, padahal berdering. Kenapa gak di angkat sih! Sialan," maki wanita itu.

Dia terus menelepon Kania, tetapi masih tidak diangkat. Akhirnya berinisiatif untuk menjual perhiasan miliknya, sambil terus menggerutu kala mencari barang tersebut.

"Ini semua gara-gara, dia! Kenapa coba segala gak diangkat," cerocos Erna.

Wanita ini berada di kamar, sejak tadi memandang perhiasan miliknya. Aksesori ini hasil dari mengumpulkan dari uang yang dikirimkan Kania.

"Pokoknya awas aja nanti kalau ketemu," sungut wanita itu.

Dia segera memasukan satu perhiasan di tas, lalu lekas menaruh ke lemari lagi. Jika saja Dania tau, mungkin wanita itu sudah merampasnya tadi. Beruntung saat membeli ini, tidak diketahui putri kesayangannya itu.

Sedangkan di tempat lain, kini Kania terus melamun memandang sekitar. Kamar lelaki yang mengurung memang sangat luas, hanya kepala pelayan yang boleh membersihkan tempat ini, bawahan yang lain pria tersebut harus segera pergi setelah melakukan tugas.

"Apa yang harus aku lakuin," batin Kania.

Wanita itu kini beralih ke Devano yang begitu fokus menatap berkas lalu laptop. Melihat pemandangan tersebut, bahkan Kania sangat pusing apalagi yang melakukannya.

"Kenapa dia terus di sini! Aku jadi gak bisa gerak buat nyari cara pergi dari kamar ini," keluh Kania dalam hati.

Devano melihat riak wajah Kania yang berubah-ubah membuat lelaki itu hanya tersenyum sinis.

"Jangan berpikir kamu bisa kabur dari kamar ini, kamu gak akan bisa keluar sebelum menuruti perintahku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status