"Katakan, Mas. Kenapa dengan Bagas?" Kinanti mengguncang tubuh suaminya."Sabar, sayang. Bagas baik-baik saja. Dia hanya sedikit terguncang dengan kepergian dua kakaknya dan melihat kamu yang nggak sadar-sadar. Bagas ada di rumah sakit bersama Ummi. Kamu tenang, ya?" Gunadi terpaksa berbohong dan belum mengatakan kondisi Bagas yang sebenarnya. Khawatir Rumana syok."Besok pagi, tolong antarkan aku ke sana ya, Mas." Pinta Rumana masih khawatir."Maaf, Pak Gunadi. Saya lupa kalau Ibu Rumana baru siuman dan belum tahu tentang Bagas." Kyai Hambali menyesalkan ucapannya yang keceplosan."Ah, iya. Tidak apa-apa, Pak Kyai. Lagian cepat atau lambat, Rumana juga harus tahu. Karena dia Ibunya." Gunadi memaklumi."Baiklah, kami permisi, Ya Pak. Bu. Assalamualaikum." Pamit Kyai sebelum meninggalkan kamar Rumana."Walaikumsalam. Trimakasih banyak sekali lagi, Pak Kyai." Gunadi turut mengantarkan Kyai Hambali keluar. Dan meninggalkan Rumana serta bayinya sendiri. Di luar, ada Gus Zaki, Rasmadi, da
"Ada apa dengan Bagas ya, Mas. Aku khawatir anak kita yang masih selamat itu kenapa-napa," ujar Rumana khawatir setelah Abah dan Bapak mertuanya pergi untuk memastikan keadaan Bagas."Mas juga nggak tahu, Rum. Besok pagi kita langsung ke sana,ya. Kalau sekarang, kasihan Rayhan. Apalagi dia baru sembuh, sama sepertimu. Kalian istirahat dulu, ya.""Iya, Rum. Kamu berdo'a aja. Semoga anakmu baik-baik aja di sana. Tenangkan fikiranmu, Rum." Tuminah menasihati menantunya.Mentari masih malu-malu menampakan dirinya, namun para warga sudah berbondong-bondong keluar rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Ada yang mencuci baju di sungai, karena belum memiliki kamar mandi sendiri, ada yang sudah berangkat ke sawah untuk bertani, dan ada yang sudah pergi ke pasar, yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah Rasmadi.Akan tetapi, ada sesuatu yang mencuri perhatian Tuminah pagi itu. Bunyi suara ambulans yang sangat jelas, seperti masuk ke desa ini. "Gun! Gun! Cepat keluar." Triak Tumina
"Parjo...!!!!" Tarno terlambat menarik tubuh Parjo.Kini dia bingung harus bagaimana. Mau menyelamatkan Parjo, tetapi takut malah ikut tenggelam. Karena dia sendiri juga kurang pandai berenang. Tarno hanya bisa menangis meratapi tenggelamnya Parjo. Dia coba bangunan Kinanti yang masih tertidur atau bahkan dia pingsan. Tetapi, di luar dugaan.Kinanti berubah jadi sangat menakutkan. Wajahnya yang pucat dengan tatapan kosong, serta mengarahkan tangannya yang bekuku tajam ke leher Tarno seperti ingin mencekik. Muncul taring dari pinggir gigi rapi Kinanti."Mbak. Jangan becanda, Mbak. Aku udah tolong kamu, aku gendong kamu, sekarang begini balasanmu, Mbak. Tolong jangan main-main. Temanku sedang tenggelam di sana, dan aku ga bisa nolongin dia. Tolong jangan buat aku semakin takut, Mbak." Tarno terus mundur menghindari sasaran Kinanti.Tak ada jawaban dan respon berarti dari wajah Kinanti, Tarno langsung lari. Dia sembunyi di semak-semak. Berharap Kinanti tidak menemukannya. Namun sayang,
"Aku harus menelfon tetangga kampungku, menanyakan kabar keluargaku," gumam Nandhini. Dia tekan nomor Astuti, tetangga kampung Rasmadi."Hallo, Tut. Gimana kabarmu," sapa Nandhini berbasa basi."Alhamdulillah, baik. Kamu gimana, Ndin. Kok kamu nggak pernah pulang kampung, sih," tanya Astuti dari seberang telfon."Aku baik juga. Iya, kontraku belum habis di sini, Tut. Jadi ya, nggak boleh pulang deh," ujar Nandhini berbohong. Yang orang lain tahu, dia sedang bekerja di luar pulau jawa dengan sistem kontrak. "Kirain udah ke enakan tinggal di sana, makanya nggak mau pulang," canda Astuti."Ya nggak lah. Se nyaman-nyamannya tempat tinggal itu, ya di rumah sendiri, toh. Aku juga sebenarnya kangen banget sama Ibu, Bapak, dan mas Gunadi," ungkap Nandhini. Kali ini dia tidak berbohong. Dia memang sangat merindukan keluarganya di kampung."Mbok aku di ajak ke Kalimantan, to, Ndin. Aku kan juga pengin ngrasain hidup di sana itu gimana. Terus kayaknya, gajinya juga gede, ya, Ndin. Aku lihat kamu
"Maksudnya gimana, Bah? Kenapa semua gara-gara Bapak," tanya Rumana mengulangi."Semalam, Bagas kerasukan Iblis perewang manusia biad ab itu. Sesosok genderuwo hampir membawa anakmu, Rum!" adu Abah pada putrinya."Astaghfirullah! Kenapa Abah sama Ummi nggak ngabarin Rum?" tanya Rumana heran. "Sudah hampir pagi, kami tidak mungkin tega menganggu istirahatmu, Rum. Apalagi kamu kan baru sadar," pungkas Ratmini."Jadi itu sebabnya muka kalian memar-memar, Bah, Pak?" tebak Gunadi. Dan kedua orang tua itu langsung diam seribu bahasa. Mungkin mereka malu.Ummi pun menceritakan semua kronologi menjelang pagi tadi. Dan membuat yang mendengarnya geleng-geleng kepala. "Katakan, Pak. Apa benar Bapak yang mengirim Iblis itu untuk membawa anakku! cucu Bapak sendiri," sergah Rumana mulai emosi."Apa kamu percaya mentah-mentah semua yang di katakan Abahmu, Rum. Bapak nggak mungkin melakukan semua itu," bantah Rasmadi. "Bohong! Bapak saja tega menamparku, saat aku minta untuk memisahkan jenazah ked
Bab 24 oriMengantar Nyawa 24Selamat membaca, semoga selalu suka."Sadarlah, le. Ini eyang uti. Tenanglah, sayang. Siapa yang mau kamu bawa?" tanya Ratmini terisak."Minggir, Mi. Dia bukan Bagas lagi!" I Ketut Sudikerta menatap lekat cucunya yang kondisinya sangat memprihatinkan.Ratmini yang sadar dengan maksud suaminya, langsung menjauh dari tubuh Bagas. Namun dua perawat laki-laki yang memegangi Bagas tetap berada di posisinya.I Ketut Sudikerta mendekati tubuh Bagas. Mulutnya komat-kamit seperti merapal do'a atau sebuah mantra. Yang jelas, setelah itu, Bagas tidak lagi meronta-ronta seperti sebelumnya."Hrmm... Hrmm... Jangan halangi aku. Aku akan membawa raga anak ini. Minggir...!" Suara Bagas berubah. Bukan lagi sura anak-anak seperti biasanya. Suara yang keluar dari mulut Bagas saat ini terdengar begitu berat, layaknya suara pria dewasa."Siapa, Kau! Beraninya masuk ke tubuh cucuku!" I Ketut Sudikerta mulai mengintrogasi makhluk yang berada dalam raga Bagas. Seraya memegang k
"Dokter wanita itu, sangat dingin dan menyeramkan, gelagatnya aneh dan mencurigakan. Apakah dia benar-benar seorang dokter? Rasanya baru kali ini aku melihat Dokter sedingin dan semengerikan itu. Bagaimana para pasien yang di tanganinya, mungkin bisa tambah parah penyakitnya. Hiiihhh serem," gumam Rumana.Dia pandangi punggung Dokter wanita yang menurutnya sedikit aneh itu. Dia hanya menggunakan scrub suits tanpa membawa peralatan apapun. Pikir Rumana, mungkin baru selesai menangani operasi, atau malah baru akan melakukannya. Tapi terserah lah. Dia percepat langkahnya lagi agar segera sampai di belakang rumah sakit tempat ketiga pria dewasa yang tadi siang dia tinggalkan saat bersitegang.Hari menjelang malam, dimensi alam lain akan segera terbuka. Lamat-lamat Rumana kembali mendengar suara kedua anaknya."Bu..... Sesak, Bu.... Sempit. Huhuhuuu..." Tangisan dan keluh kesah itu sukses mengalihkan perhatian Rumana. Naluri keibuannya bangkit, dan dia mulai mengikuti sumber suara itu.
Saat mendengar kenyataan Ibu dan Ummi meninggal."Dokter pasti salah! Ibu dan Ummi nggak mungkin meninggal, kan, Dok. Coba periksa sekali lagi!" Pinta Rumana pada Dokter Wilson.Dia tak mau percaya begitu saja pernyataan Dokter yang terkesan ngawur bagi Rumana. Bagaimana mungkin mereka meninggal. Sedangkan beberapa menit yang lalu baru saja mereka berbincang dengannya."Sulit di percaya, tetapi itu kenyataannya, Bu, Pak. Kedua Ibu anda sudah tiada. Apa mau di autopsi untuk mengetahui sebab kematiannya?" Dokter Wilson menawari."Tidak! Jangan lakukan itu, Dok," ujar Gunadi yang masih syok.Dia tak percaya dengan semua kenyataan pahit ini. Bagaimana mungkin Ibu dan Ummi meninggal tanpa ada jejak luka atau tanda-tanda pembunuhan. Siapa pelakunya?Tak mungkin Gunadi membiarkan Ibu dan mertuanya di autopsi. Itu sangat menyakitkan baginya."Bagaimana Ibu dan Ummi bisa meninggal secara bersamaan, apa penyebabnya, Dok? Bayi kami juga hilang, aku yakin, pasti seseorang telah membunuh mereka, d