"Dokter wanita itu, sangat dingin dan menyeramkan, gelagatnya aneh dan mencurigakan. Apakah dia benar-benar seorang dokter? Rasanya baru kali ini aku melihat Dokter sedingin dan semengerikan itu. Bagaimana para pasien yang di tanganinya, mungkin bisa tambah parah penyakitnya. Hiiihhh serem," gumam Rumana.Dia pandangi punggung Dokter wanita yang menurutnya sedikit aneh itu. Dia hanya menggunakan scrub suits tanpa membawa peralatan apapun. Pikir Rumana, mungkin baru selesai menangani operasi, atau malah baru akan melakukannya. Tapi terserah lah. Dia percepat langkahnya lagi agar segera sampai di belakang rumah sakit tempat ketiga pria dewasa yang tadi siang dia tinggalkan saat bersitegang.Hari menjelang malam, dimensi alam lain akan segera terbuka. Lamat-lamat Rumana kembali mendengar suara kedua anaknya."Bu..... Sesak, Bu.... Sempit. Huhuhuuu..." Tangisan dan keluh kesah itu sukses mengalihkan perhatian Rumana. Naluri keibuannya bangkit, dan dia mulai mengikuti sumber suara itu.
Saat mendengar kenyataan Ibu dan Ummi meninggal."Dokter pasti salah! Ibu dan Ummi nggak mungkin meninggal, kan, Dok. Coba periksa sekali lagi!" Pinta Rumana pada Dokter Wilson.Dia tak mau percaya begitu saja pernyataan Dokter yang terkesan ngawur bagi Rumana. Bagaimana mungkin mereka meninggal. Sedangkan beberapa menit yang lalu baru saja mereka berbincang dengannya."Sulit di percaya, tetapi itu kenyataannya, Bu, Pak. Kedua Ibu anda sudah tiada. Apa mau di autopsi untuk mengetahui sebab kematiannya?" Dokter Wilson menawari."Tidak! Jangan lakukan itu, Dok," ujar Gunadi yang masih syok.Dia tak percaya dengan semua kenyataan pahit ini. Bagaimana mungkin Ibu dan Ummi meninggal tanpa ada jejak luka atau tanda-tanda pembunuhan. Siapa pelakunya?Tak mungkin Gunadi membiarkan Ibu dan mertuanya di autopsi. Itu sangat menyakitkan baginya."Bagaimana Ibu dan Ummi bisa meninggal secara bersamaan, apa penyebabnya, Dok? Bayi kami juga hilang, aku yakin, pasti seseorang telah membunuh mereka, d
Isak tangis Rumana, Gunadi dan Rasmadi mengiringi kepulangan jenazah Tuminah dan Ratmini di dalam mobil ambulans. Warga yang di gemparkan dengan bunyi nyaring dari sirine berbondong-bondong melihat ke jalan.Mereka memperhatikan kemana mobil dengan sirine itu akan berhenti. Karena memang tak ada yang mengetahui perihal meninggalnya Tuminah dan Ratmini. Baik Rumana, Gunadi apa lagi Rasmadi, tak ada yang mengabari warga sekitar.Salah seorang kerabat Tuminah langsung datang ke kediaman Rasmadi, di mana Ambulan itu berhenti.Rasmadi lebih dulu turun dari mobil, di ikuti Rumana dan Gunadi."Ras, apa Bagas sudah pulang? Kenapa pakai ambulans segala. Mana Tuminah dan Bu Besan?" Ujar Karta, pakde sepupu Tuminah.Bukannya menjawab, Rasmadi malah menangis. Karta bingung sekaligus curiga melihat Rasmadi yang menangis. Tak biasanya dia mengeluarkan air mata, mau se sakit apapun luka di dada."Ibu.... Ibu meninggal, Pakde," jawab Gunadi mewakili.Para warga sudah menunggu di samping mobil dan men
"Tarno sudah ketemu, tapi Parjo belum. Malah katanya sama wanita," bisik-bisik para tetangga yang melayat di rumah Rasmadi."Kok bisa barengan, ya. Bu Tuminah meninggal, terus mereka ketemu hari ini juga. Tapi siapa wanita yang bersama Tarno? Masa pacarnya, kayaknya nggak mungkin deh. Dia bujangan lapuk, mana berani pacaran," bisik yang lainnya."Iya betul, pasti bukan pacarnya. Terus siapa, dong.""Ada yang bilang itu mirip kakaknya Bu Rumana, tapi kan nggak mungkin. Wong Katanya kakaknya Bu Rumana itu ada di Bali, kok. Mungkin cuma mirip saja.""Iya juga, ya. Mungkin hanya mirip. Tapi kabarnya wanita itu belum sadar juga, padahal denyut nadinya masih ada.""Terus gimana kondisinya sekarang?""Dia di bawa ke puskesmas Karang sambung. Semoga masih bisa selamat, ya."Begitulah obrolan para pelayat yang di gemparkan dengan penemuan Tarno dan Kinanti.Beberapa warga yang bertugas menggali kubur sudah pulang ke rumah Rasmadi, guna mengabari bahwa liang lahat telah siap.Sudah jadi tradisi
Rumana memeluk tubuh Kinanti yang begitu lemah. Di pandangi wajah kakak perempuannya yang terlihat kuyu dan kehilangan rona bahagia. Dia tak habis pikir, kenapa kakaknya bisa sampai seperti itu."Mbak, dari mana saja, kenapa bisa sampai seperti ini." Rumana tak kuasa membendung bulir bening yang terus merembes dari kelopak matanya."Mbak juga nggak tau, Rum. Seingat Mbak, waktu lagi jalan ke rumah mertuamu, tiba-tiba ada yang memukul tengkuk Mbak dari belakang. Mbak ga sempat melihat siapa pelakunya, dan langsung ga ingat apa-apa lagi setelahnya." Kinanti mencoba mengingat kembali kejadian yang membuatnya sampai seperti ini."Kenapa Mbak ga ngabarin kami dulu kalau mau datang. Mas Gunadi kan bisa jemput Mbak di terminal atau stasiun.""Tadinya Mbak mau kasih kejutan, dan sengaja ga ngabari kalian. Mbak kangen sama kamu dan ponakan-ponakan Mbak.""Iya, Mbak sukses mengejutkan kami, dengan menghilang tanpa kabar," pungkas Rumana menatap sedih sang kakak."Maaf. Mbak nggak bermaksud memb
"Ummi sudah di makamkan, tapi Rum ga bisa nunggu sampai tiga harinya Ummi di sini, Bah. Bagas sendiri di rumah sakit, dan Rayhan belum juga di temukan," ujar Rumana pada Abah yang terus saja melamun. Luka-luka kemarin telah berangsur sembuh, tetapi luka hatinya di tinggal istri tercinta, akan selalu menganga.Tersirat jelas di wajah tua Sudikerta, bahwa lelaki berusia 70tahun itu, begitu memendam duka mendalam. Dia juga menyimpan dendam pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan pada Nyi Galuh. Wanita mengerikan yang telah melenyapkan nyawa istri dan besannya sekaligus. Wanita dengan anutan ilmu hitam yang tinggi dan sulit di tandingi.Wanita itu juga yang sempat menculik cucunya. Untunglah Sudikerta berhasil merebut Rayhan dan membawanya pergi ke suatu tempat yang aman."Rum. Abah mau menyampaikan sesuatu," ucap Sudikerta dengan serius pada putrinya."Iya, Bah. Ada apa, katakan saja." Rumana menatap Sudikerta, intens. Siap mendengarkan apapun yang akan Abah nya sampaikan."Sebenarnya Aba
"Ummi sudah di makamkan, tapi Rum ga bisa nunggu sampai tiga harinya Ummi di sini, Bah. Bagas sendiri di rumah sakit, dan Rayhan belum juga di temukan," ujar Rumana pada Abah yang terus saja melamun. Luka-luka kemarin telah berangsur sembuh, tetapi luka hatinya di tinggal istri tercinta, akan selalu menganga.Tersirat jelas di wajah tua Sudikerta, bahwa lelaki berusia 70tahun itu, begitu memendam duka mendalam. Dia juga menyimpan dendam pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan pada Nyi Galuh. Wanita mengerikan yang telah melenyapkan nyawa istri dan besannya sekaligus. Wanita dengan anutan ilmu hitam yang tinggi dan sulit di tandingi.Wanita itu juga yang sempat menculik cucunya. Untunglah Sudikerta berhasil merebut Rayhan dan membawanya pergi ke suatu tempat yang aman."Rum. Abah mau menyampaikan sesuatu," ucap Sudikerta dengan serius pada putrinya."Iya, Bah. Ada apa, katakan saja." Rumana menatap Sudikerta, intens. Siap mendengarkan apapun yang akan Abah nya sampaikan."Sebenarnya Aba
Mendengar penuturan Gunadi, Nyai Jaemah seperti tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sedikit berlari menuju dapur, dan lagi-lagi membuat sambetan. Nyai Jaemah berfikir, tak salah lagi kalau Rumana memang kesambet. Mungkin dia melihat yang tidak bisa di lihat oleh orang lain, atau hanya ilusi yang menguasai fikirannya. Begitulah pemikiran Nyai Jaemah.Dia tumbuk bahan-bahan sambetan dengan cekatan, dan membawanya ke kamar. Melihat Rumana yang terpejam lemah, Nyai Jaemah langsung menjejalkan sambetan itu ke mulut Rumana dengan antusias. Berharap Rumana cepat sadar dan makhluk yang memasuki raganya cepat keluar.Rumana merasakan mulutnya di jejali sesuatu yang sangat bau, hingga membuat perutnya serasa di aduk-aduk. Tak tahan, akhirnya Rumana berusaha mengeluarkan seisi lambungnya."Hooeekk! Hoeeekk!" Rumana muntah seketika. Tak tahan lagi dengan bau dan rasanya."Nah, benar kan, Bu Rumana pasti kesambet. Lihat saja, dia langsung sadar begitu aku jejali sambetan ini. Modyar koe belis!(ma