"Akan kujadikan kamu istri yang sesungguhnya. Istri sah di mata hukum dan negara. Bukan wanita simpanan seperti ini."
"Cukuuup!" Suara Saga menggelegar. Dia bergerak mendekat dan langsung mencengkeram baju Azriel. "Bisa-bisanya kamu melamar istriku di hadapanku? Hah!" gertaknya naik pitam. Matanya mendelik marah pada Azriel.
Azriel balas menatap Saga dengan tenang. "Lepaskan!" suruhnya dengan sedikit mendepak dada Saga.
"Gak akan aku lepasin sebelum kamu meminta maaf," tantang Saga masih dikuasai emosi.
"Minta maaf untuk apa?" Azriel tersenyum. Lebih tepatnya mengejek. "Tunjukkan di mana letak kesalahanku?" Anak itu benar-benar mendepak tubuh Saga. Sehingga cengkeraman pria itu terlepas dari bajunya.
Mata Saga kian menghunjam. "Ada banyak gadis di luar sana, tapi kenapa kamu selalu mendekati istriku? Apa memang kamu sudah gak laku lagi? Sehingga mesti merendahkan diri dengan merayu istri o
"Dela.""Nayra.""Dela.""Nayra.""Ada Bina yang sangat membutuhkan kehadiranku. Sementara Dela, ada banyak orang yang mengelilinginya." Saga terus saja berpikir. Dia menimbang semuanya dengan masak-masak, "kali ini aku harus memprioritaskan Abrina dulu," tekadnya bulat.Saga mengangguk yakin. Ponselnya terus menjerit. Keraguan di hati Saga sudah lenyap. Dengan pasti dia mematikan gadget. Tangannya memasukan benda tipis tersebut ke dasbor mobil."Dengan begini, Dela gak bisa ngerecokin aku lagi." Saga bicara sendiri.Pria itu mulai menjalankan mobilnya menuju rumah Nayra. Berkejaran dengan waktu, dia sengaja tancap gas hingga melewati batas kecepatan maksimal. Ketika ia tiba di tujuan, Nayra tengah menggendong Abrina. Bayi itu tampak lemas."Alhamdulillah ... kamu datang beneran, Mas," sambut Nayra
"Sagaaa!"Saga dan Nayra berpaling ke arah pintu. Tampak Adela berdiri dengan tatapan nanar. Bahu perempuan dengan perut buncit itu tampak turun naik menahan amarah.Saga memperhatikan istri tuanya.Dela masih mengenakan baju hamil untuk pesta. Sisa-sisa make-up masih menempel pada paras yang kini sudah tidak tirus lagi.Saga bangkit. Perlahan ia mengayun langkah untuk menyambut istri pertamanya. Namun, Adela menepis ketika ia meraih tangannya."Jangan sentuh aku!" titah Dela lirih, tetapi cukup dingin berbalut dendam."Aku tahu kamu marah, tapi jangan berdiri di depan pintu seperti ini," ujar Saga mencoba tenang. "Kita bicara di dalam!" Saga kembali meraih tangan Dela. Kembali pula sang istri menolak."Mau kamu apa?" tanya Saga pasrah.Dela tidak membalas. Dia lekas menutup pintu kamar tersebut. Dalam keadaan marah seperti ini, dirinya masih menjaga
Saga tidak pernah menyangka akan mengalami hal semengerikan ini. Dia yang sibuk menangkis serangan Dela. Semua terjadi dengan begitu cepat dan di bawah kendalinya. Perlahan Saga membuka mata. Pria itu merasakan pusing. Sakit kepala yang menghebat di kepala membuatnya mengerang tertahan. Hidungnya mulai mencium bau anyir. Cukup menyengat. Dia merasa darah mengalir membasahi mata dan bibirnya. Darah tadi mengaburkan pandangan Saga. Lelaki itu merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Dia ingin bergerak, tetapi semua tubuhnya tidak bisa digerakkan. Suami Dela itu merasakan sakit yang teramat. Lamat-lamat telinga Saga menangkap suara riuh di sampingnya. Menyampingkan rasa sakit, pria itu mencoba kembali untuk membuka mata.
"Dokter, bagaimana kondisi anak saya?" cecar Mama Dela panik.Sang dokter menghela napas panjang. "Kami sudah semaksimal mungkin. Namun, mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan calon cucu kalian," ucapnya sedih."Ohhh ... tidak!" Mama Dela berseru sedih. "Cucuku ... kenapa semalang itu? Dia bahkan belum melihat indahnya dunia. Kenapa sudah diambil duluan?" ratap Mama Dela tersedu-sedu. Air matanya berlinang tanpa bisa dicegah."Tabahkan hatimu, Ma." Samg suami merangkul lembut. Lelaki itu mengelus pelan bahu istrinya."Tapi itu calon pewaris kerajaan bisnis kita, Pa," tukas Mama Dela masih tidak terima, "karena tidak mungkin Dela yang akan meneruskan usaha kita. Tidak mungkin Saga juga," tuturnya dengan sesenggukan."Kalo sudah takdir kita bisa apa, Ma?" Sang suami tampak berusaha bijak. "Yang penting Dela selamat, dia bisa kapan saja kasih cucu buat kita," lanjutnya menenangkan."Dokterrr!" Seorang perawat keluar dari ruangan dengan
"Nayra ... semua ini gara-gara dia. Awas kamu, ya!" ancam Dela penuh dendam."Dela ...." Papa berujar lembut. Lelaki itu duduk di tepi ranjang, lalu tangannya menggegam jemari sang putri. "Kamu salah jika harus mendendam sama Nayra," tuturnya tenang."Memang dia penyebab semua insiden ini, Pa." Dela kembali menyalahkan Nayra."Tidak." Papa menggeleng, "kamu salah, Nak. Nayra adalah perempuan yang baik.""Perempuan baik apanya?" Mata Dela terbelalak mendengar penuturan Papa, "dia itu--""Permisi ... selamat pagi semua."Omongan Dela terjeda ketika seorang dokter didampingi perawat masuk."Selamat pagi Ibu Dela. Bagaimana perasaan Anda?" Dokter menyapa ramah."Tidak cukup baik, Dok." Dela menyahut dengan datar, "badan saya sakit semua. Terutama perut dan kaki," terangnya tanpa ada yang ditutupi."Kami akan memeriksa kondisi Ibu," ujar Dokter.Pria berjas putih itu mulai mengecek detak jantung Dela. Dirinya juga mena
"Saga!" Ibu Ida memanggil sang putra.Nayra yang tengah menyuapkan minuman pada Saga menoleh. Wanita itu tersenyum senang melihat kedatangan sang mertua. Begitu juga Saga.Lebih tepatnya lagi, Saga merasa bahagia masih bisa menatap wajah ibunya. Karena sebelum dia jatuh pingsan, Saga sempat ragu jika dirinya akan selamat. Kini lelaki itu merentangkan kedua tangan.Tidak tahan melihat keadaan anaknya, Ibu Ida mendekati. Nayra yang pengertian lekas bangkit dari tepi ranjang. Wanita itu memberi ruang pada ibu Ida untuk bertemu sang putra.Ibu Ida sendiri langsung menghambur memeluk tubuh Saga. Hati wanita itu begitu nelangsa melihat sang putra hanya mampu tergolek lemah di ranjang."Maafkan Saga, Bu," ucap Saga haru. Tiba-tiba dia tidak bisa menahan diri. Tanpa malu lelaki itu tergugu dalam tangis."Kamu gak punya salah sama ibu. Kenapa mesti minta maaf?" tanya Ibu Ida sedikit heran. Jemarinya mengesat air mata sang putra dengan lembut.
"Terima kasih."Nayra terkesima. Hampir dua tahun menjadi adik madu, baru kali ini dia mendengar Dela berucap terima kasih untuknya. Hati Nayra kian menghangat melihat senyum tulus dari bibir Dela."Sama-sama, Mbak." Nayra membalas dengan seulas senyum. Dirinya menderap langkah keluar.Nayra menyusuri koridor. Banyak perawat ataupun dokter yang lewat, tetapi semua tampak terlihat sibuk. Ada suster yang sedang mendorong pasien dengan kursi rodanya. Ada juga dokter dan perawat yang terburu-buru entah melangkah ke mana. Nayra juga menjumpai suster yang berjalan dengan tergesa dengan mendekap map."Engg ... maaf dulu, ya. Saya sedang ditunggu dokter di ruangannya," tolak seorang perawat yang dicegat oleh Nayra.Nayra menghempaskan napas mendapat penolakan seperti ini. Dirinya benar-benar merasa gondok. Jika keadaannya tidak terlal
Saga termangu melihat kedekatan Abrina dengan Azriel. Kenapa putrinya seolah tidak mengenalinya?Nayra yang menyadari perubahan wajah sang suami, gegas mengambilnya anaknya dari gendongan Azriel. Namun, Abrina justru menangis lagi dipisahkan dengan Azriel."Bina masih ingin digendong aku, Nay," protes Azriel saat Nayra main serobot."Papanya masih kangen sama Bina, El," balas Nayra datar. Dia berjalan untuk mendekati ranjang Saga kembali. Dirinya menyerahkan Abrina pada sang suami. Sayangnya, lagi-lagi Abrina menolak."Apah ... Apah!" seru Abrina sambil menunjuk-nunjuk Azriel."Sayang, Papa Bina ini. Papa Saga." Nayra mencoba menjelaskan pada sang putri. Tangannya menunjuk Saga. Namun, bayi itu menggeleng dan terus minta digendong oleh Azriel. "Bina Sayang, Papa Saga nanti--""Kasih Bina ke Ziel, Nay!" titah Saga pelan. Walau terlihat datar, namun, hati Saga amat nelangsa