PoV Ayu
“Kamu bilang apa, Nak? Ratih Herlina kabur dari penjara?” tanya Bunda menyentuh bahuku. Memang sewaktu Abang menelepon, aku tak sempat menjauh dari Bunda hingga wanita yang telah melahirkan suamiku mendengar apa yang aku sampaikan pada Abang.
“Iya, Bunda.”
Bunda mengubah posisi duduk, lebih menghadapku.
“Terus, tadi apa kata Ayu. Rumah Ibu Eva diteror sama Ratih?” Cecar Bunda menatapku lekat. Sebenarnya risih dipandang seperti itu.
“Iya, Bun. Makanya Ayu nyuruh Ibu dan Silvi tinggal di sini untuk sementara waktu.” Raut wajah Bunda berubah tak suka.
“Kamu ini ceroboh amat, Nak. Kalau Eva dan anaknya tinggal di sini, keselamatan kamu dan Dendi jadi ikut terancam,” ujar Bunda.
“Bunda jadi aneh, semenjak kenal sama Eva, kalian selalu saja kena masalah. Heran.” Gumaman Bunda kud
PoV Herlina‘Hahahahaha ... puas sekali menteror si Eva. Dapat kulihat ekspresi wajah ketakutannya. Ah, andai saja aku punya senjata pistol seperti dahulu, sudah aku tembak dari kejauhan. Aku harus segera menemukan si anak dungu, supaya uang yang aku miliki dapat digunakan untuk membeli alat-alat senjata. Rasanya sudah tak sabar, kedua tanganku menghabisi nyawa mereka.Motor yang aku sewa melesat cepat memasuki gang rumah kontrakan. Sudah telat dua puluh menit dari janji sewa. Tak apalah, toh pemilik motor ini orang yang baik.Di depan pintu kontrakanku, sudah berdiri Mang Supri, yang tiada lain pemilik motor yang baru saja aku pakai.Dengan tergesa-gesa Mang Supri mendekati, ia kelihatan marah.“Kau telat dua puluh menit! Aku sudah nungguin dari tadi. Cepat turun!!”Kenapa dia? Aku kira Cuma telat segitu ia tak marah.“Maaf, tadi jalanan mac
PoV PutriSampai kapan Mas Firman bertingkah seperti anak kecil? Sudah hampir satu jam ia masih saja bermain di arena permainan anak-anak. Walaupun yang ia permainkan balapan mobil, tapi tetap saja menjadi pusat perhatian orang-orang.Padahal sebentar lagi dia mau jadi seorang Ayah. Usia kandunganku sudah sembilan bulan, tubuhku pun jadi mudah lelah. Untung Bi Tumi bersedia menemaniku di rumah, membantu masak, beres-beres rumah sejak kami pindah rumah. Kalau saja, Mas Firman tidak menangis meraung-raung ingin ke sini, tentu saja aku malas mengantarnya.Tak lama handphone berdering. Kak Silvi?“Hallo, Kak?”“Kamu lagi di mana, Put?”“Mall. Ini Mas Firman pengen maen di Time Zone. Kenapa Kak?”“Pulang sekarang! Ratih Herlina kabur dari penjara!” Mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja aku
PoV AbangDion pergi ke tempat pengepungan kontrakan Herlina. Sementara aku dan Pak Supri berjaga-jaga di rumah. Khawatir kalau Herlina mengetahui lokasinya sudah dikepung oleh polisi, dan lagi – lagi ia melarikan diri.Ibu sudah beristirahat di kamar tamu. Mama Dahlia, Syifa dan Silvi duduk di ruang televisi. Sedari tadi, Silvi menelepon Putri, adiknya yang menikah dengan Firman. Firman tiada lain anak tunggal Herlina. Kemungkinan Herlina menemui Firman sangatlah besar. Mending kalau kedatangan Herlina menemui Firman hanya melepas rindu, bagaimana kalau kedatangan Herlina ke rumah Firman justru ingin membunuh anak dan menantunya? Apalagi menurut cerita Putri, Herlina pernah memberi racun pada segelas air susu yang ingin diteguk oleh Firman. Untung saja ketika itu diketahui oleh Putri, hingga Firman tak lantas meminumnya.Kini, aku dan Ayu masih duduk di sofa ruang tamu. Ayu memijat pundakku.&
PoV AbangTubuhku kembali melorot, duduk memeluk kedua lutut. Pengakuan Herlina soal kematian Ayah kembali terngiang. Sedari dulu, aku dan Bunda tidak pernah menduga, kalau Ayah meninggal karena dibunuh bukan karena kecelakaan semata.Air mataku kembali mengalir, Teringat sosok Ayah. Ayah yang selalu menjadi kebanggaanku, Ayah yang kujadikan contoh, Ayah yang menasehatiku agar selalu menjadi lelaki yang bertanggung jawab dan berkomitmen.‘Ayah ... Dendi kangeeen ....’ Aku terus membathin. Hati ini terasa diiris sembilu mendengar pengakuan Herlina tentang pembunuhan terhadap Ayahku. Ia sungguh licik, membunuh seseorang dengan kedok kecelakaan.“Mas Dendi ... saya mengerti apa yang Mas alami sekarang. Tapi, Mas Dendi harus ingat, yang sudah terjadi tidak bisa kembali terulang. Apalagi orang yang sudah meninggal. Kasihan almarhum, kalau ada orang yang belum mengikhlaskannya. Maaf
PoV AbangAlhamdulillah Putri dan Firman sudah sadarkan diri. Mereka sudah dipindahkan di ruang rawat inap. Aku, Dion, dan Pak Supri menemui Firman. Sementara yang lainnya ke ruangan Putri. Kasihan Firman, sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Herlina yang dijadikan tempatnya berlindung justru ingin melenyapkan nyawanya. Sekarang Cuma Putri dan keluarga yang dapat menemani lelaki yang kadang bersikap selayak anak kecil, kadang bersikap dewasa.Membuka pintu ruangan, Firman menoleh. Perban melilit kepalanya, juga selang infus masih terpasang. Kondisi Firman lebih baik ketimbang keadaan Putri.“Sukurlah lo udah sadar. Masih ada yang sakit?” Dion memulai pembicaraan. Aku dan Pak Supri berdiri tak jauh darinya.“Sedikit. Cuma kepala aja masih pusing.”Kalau dilihat cara dia berbicara, Firman sekarang sedang berada di sikap dewasa.“Gak apa-apa, nant
PoV PutriHari ini, aku dan Mas Firman sudah diperbolehkan pulang. Mama dan Pak Supri membantu kami berkemas.Karena ruanganku dan Mas Firman bersebelahan, mudah bagi Mama atau Pak Supri membantu.Kami sudah berada di dalam mobilAku dan Mas Firman duduk di bangku belakang kemudi, sementara yang menyetir Pak Supri, di sebelahnya duduk Mama.“Ma, kalau Mama mau, Mama sama Syifa tinggal di rumah kami aja. Gak perlu ngontrak lagi.” Usulan Mas Firman membuatku terhenyak. Tak menyangka ia punya pemikiran seperti itu. Memang, semenjak kepalanya dipukul Vas Bunga oleh tante Ratih, aku merasa sikapnya berbeda. Sudah lima hari di rumah sakit, dia tidak pernah lagi bersikap seperti anak kecil.Mama dan Pak Supri saling adu tatap. Barang kali Mama meminta persetujuan Pak Supri.“Hm ... gimana ya, Nak. Mama ... takut merepotkan.”“Gaklah, Ma ... jus
PoV Sabrina“Rina! Ngapain pegang-pegang hape gue?? Siniin!!” Keluar dari toilet, Cindy tergesa-gesa menghampiriku.Sedikit pun tidak terkejut dengan ekspresi Cindy. Sikapnya yang seperti ini sudah kuduga sebelumnya. Ia merampas paksa handphone dari tanganku.Aku berdiri, bersidekap di depannya. Cindy memasukkan handphone ke dalam tas.“Napa lo?” Cindy bertanya sinis. Tanpa basa-basi aku balik tanya.“Kenapa kontak bokap gue lo kasih nama ‘Om Sayang???” kedua bola mata Cindy membulat. Jelas sekali dia terkejut. Aku curiga, kalau Cindy dan Papa punya hubungan khusus.“Lo ngomong apaan sih? Gak ngerti gue. Dahlah gue mau balik ke kantor!” Kutarik lengannya, mencegah langkah kaki Cindy.“Jangan pura-pura b*go!! Lo tinggal jawab, kenapa kontak Papa gue, dikasih nama Om Sayang???!!” Sudah pus
PoV CindySahabat tidak tahu terima kasih! Sudah ditemenin, malah kayak gini balasannya. Cuma karena aku menjalin hubungan dengan Papanya, dia sampe marah besar! Harusnya Rina berterima kasih padaku, sudah membuat Om Rahmat bahagia. Bahagia lahir bathin. Ini malah mencak-mencak.Duh perih sekali pipiku gara-gara ditampar Sabrina. Dia bilang aku j*lang? Cih sok suci! Padahal dulu dia juga gak lebih dari J*lang. Free sex, narkoba, bunting dua kali. Sekarang tingkahnya sok kayak bidadari yang suci. Yang tidak pernah melakukan dosa. Aiihh amit-amit jabang bayi, jangan sampe ya Nak kamu kayak Kakak Tiri kamu itu. Kuusap perut berulang kali.Masuk ke dalam mobil, meninggalkan kontrakan kecil Sabrina.Sepanjang jalan, pikiranku tak bisa fokus. Kejadian beberapa menit lalu masih saja terbayang. Seumur hidup, baru kali ini ada yang berani menamparku. Orang tuaku saja tidak pernah menampar, lah ini! Calon anak tiri!! Lihat