PoV Ayu
Senang rasanya melihat Abang dan Dira berjabat tangan erat. Semoga saja kedepannya Abang gak cemburu sama Dira lagi.
“Makasih ya, Bang.” Ucap Dira.
“Oke!” Dua lelaki itu melepaskan tangan masing-masing.
“Oh iya, Yu. Saya punya kabar tentang Silvi.”
“Silvi? Kabar apa?”
Sudira melirik arloji.
“Hmm ... kalau saya cerita, kemaleman gak?”
Abang ikutan melirik arloji.
“Penting gak?”
“Menurut saya penting, Bang.”
Abang terlihat gusar. Memandangku sejenak.
“Hmm ... Dira, sori. Ceritanya lain kali aja ya? Ini udah malem. Kami gak enak kalau pulang kemaleman. Atau kalau gak, kamu kirim pesan aja,” usulku, sesekali melirik arloji.
Penasaran juga sebenarny
PoV Ayu Kuurungkan kaki melangkah ke kamar, berbelok ke ruang keluarga, menguping pembicaraan Bunda dengan Abang, di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Menempelkan telinga pada dinding, agar lebih jelas terdengar. “Bunda gak boleh larang Ayu ke rumah Ibu. Kasihan Ayu, dia kan baru ketemu ibu kandungnya.” Abang memulai pembicaraan. Suaranya terdengar jelas. Mungkin karena sudah malam, berbicara pelan juga akan menggema. “Kamu gak tahu apa-apa, Nak. Justru Bunda larang dia ke sana, karena khawatir terjadi sesuatu pada Ayu.” Terjadi sesuatu? Sesuatu apa? Aku terus menempelkan telinga pada dinding pembatas. “Terjadi sesuatu? Sesuatu gimana?” Pertanyaan Abang menwakilkan pertanyaanku. Cukup lama Bunda menjawab. “Nak ... Eva itu ... pernah gi-la!” Aku terhenyak mendengar kata terakhir Bunda. Gila? Apa aku salah dengar ya? Masa sih ibu pernah gila? Apa Bunda lagi becanda ya? “Gila? Maksud Bunda?” “Ya ampun, Nak ... gila, gak waras. Eva pernah mengalami gang
PoV SilviSuara yang keluar dari mulut Mama bagai sengatan aliran listrik. Sudah jelas, kehidupanku di dunia ini memang tidak inginkan. Tidak berarti bagi mereka. Sekarang aku mulai mengerti, kenapa Mama dan Papa membedanku dari pada Syifa dan Putri. Kedua adikku.“Sekarang lebih baik kamu pergi!!! Jangan pernah kembali lagi! PERGI!!!”Perih, sakit hati ini ya Allah .... sosok Ibu yang selalu kurindukan, yang selalu kudoakan, kenyataannya dia sangat membenciku. Meski lemas persendian, memaksakan diri untuk berdiri.Menarik napas, menyeka air mata, lalu meraih telapak tangan Mama.“Jangan sentuhhh!!! Anak pembawa sialll!! Pergiiii!!” Mama menepis kasar tanganku.“Ma ....”“Pergii!!”Tak ada lagi kasih sayang dari sorot kedua matanya. Bukan tak ada lagi, memang sedari dulu tidak pernah kuli
PoV AbangPagi-pagi sekali sebelum berangkat kantor, ponselku berdering. Sebuah panggilan dari kepolisian.“Ya, Pak?”“Pak Dendy kami sudah menemukan Ratih Herlina. Sekarang sedang di lokasi. Kami menunggu kedatangan anda.” Aku terkejut mendengar kabar tersebut. Alhamdulillah, akhirnya Psikopat itu tertangkap.“Baik, Pak. Sekarang saya meluncur ke sana.”Berjalan ke meja makan, sarapan sebentar. Di sana sudah ada Bunda dan Ayu. Setelah menyapa mereka, aku makan dengan terburu-buru.“Sarapannya pelan-pelan, Nak.”“Dendy ada urusan penting, Bun.”Setelah meneguk air susu, berpamitan pada Bunda dan Ayu, aku segera keluar rumah dan melajukan mobil ke daerah Bekasi. Di mana rumah Ratih berada.Merogoh ponsel, mengetik nama kontak Dion, menelepon. Dia harus aku beritahu.&
PoV AbangBi Sumi sudah bangun dari sujudnya. Kini ia duduk bersimpuh. Bang Parto mendekati Bi Sumi, menghadapnya. Aku yang masih belum mengerti apa yang terjadi hanya diam.“Sum ... Mas minta maaf.” Suara Bang Parto bergetar.“Selama ini Mas Ato kemana?”Belum sempat Bang Parto menjawab, Ibu menyela.“Duduk di sofa dulu, jangan di sini. Bang Parto silakan duduk kembali, Bibi duduk di sini.” Ibu menuntun Bi Sumi agar duduk di atas sofa.Kutepuk-tepuk pundak Bang Parto, lelaki berkumis tebal itu menoleh, memaksakan untuk tersenyum.Sepertinya, Bang Parto dan Bi Sumi mempunyai masa lalu.“Jadi, Bang Parto ini, suami Bi Sumi?” pertanyaan Ibu membuatku tersentak kaget.Suami? Menoleh pada Bang Parto.“I-iya, Bu. Mas Ato yang sering saya ceritakan pada Ibu,” Jawab Bi Sumi
PoV Ayu Tak terasa esok adalah hari pernikahanku dan Abang. Tenda dan pelaminan sudah tertata di depan halaman rumah Bunda dengan cantik. Beraneka macam kue sudah siap untuk dihidangkan. Aku sedang menatap diri dalam pantulan cermin. Mengingat kisah cinta aku dan Abang yang terbilang singkat. Banyak kejadian yang kami alami selama menjalani hubungan. Tentang restu Bunda, dan juga kasus Herlina. Sekarang tante Ratih sudah mendekam di penjara. Hukum yang ia terima adalah dibui seumur hidup. Sudah dua hari ini aku dan Abang dilarang bertemu. Bunda yang melarang, katanya dipingit. Ponsel aku pun disita oleh Bunda. Supaya Abang tidak dapat menghubungi. Abang sekarang tinggal di apartemen, ditemani Bang Dion. Pintu kamar diketuk. “Yu? Ayu!” Suara Bunda dari luar. Aku beranjak membuka pintu. “Iya, Bun?” Wajah Bunda sangat cerah. Sumringah.
Alhamdulillah, Abang hanya satu kali mengucapkan ijab qabul. Oleh penghulu dan para saksi langsung di sah-kan.Terharu bercampur bahagia, Saat Abang menyematkan cincin di jemari manis, menyalami punggung tangannya, kemudian ia mengecup keningku. Untuk pertama kalinya merasakan kecupan dari seorang laki-laki. Bulir air mata jatuh perlahan. Abang menatap seraya menyeka air mataku dengan lembut.Setelah menyalami orang-orang terdekat, aku dan Abang berdiri di atas pelaminan. Para tamu undangan menyalami. Berbagai ucapan selamat, bingkisan kado, dan untaian doa kami dapatkan. Tak henti hatiku mengucap rasa syukur tak terhingga karena dapat berkumpul dengan orang-orang yang amat menyayangiku dan aku sayangi.Acara selesai jam tiga sore. Sesuai kesepakatan Bunda, dalam seminggu ke depan aku dan Abang tinggal di rumah Ibu. Pakaian kami sudah dibawa terlebih dahulu oleh Bang Dion dan Silvi dua hari lalu. 
PoV Abang“Aaww!!”“Kenapa, Sayang?” tanyaku khawatir, melihat dia duduk meringis kesakitan. Bangun dari tiduran, lalu duduk sambil merengkuh pinggangnya“Perih ....”“Masih perih?” wanita yang telah resmi menjadi istriku mengangguk.“Kok masih perih, padahal udah tiga kali y?”“Gak tau ....” Wajahnya bersemu merah. Aku terkekeh. Suka banget kalau lihat Ayu malu-malu gitu. Jadi pengen nerkam lagi. Apalagi lihat dia pake kaos oblong aku yang kebesaran tanpa memakai daleman. Tambah seksi.“Mau kemana emang?”“Ke toilet.” Aku melirik jam dinding.“Baru jam tiga pagi, Sayang. Masih jauh ke Subuh,” ucapku mengelus rambut panjangnya.“Pada lengket, Aban
POV AyuAku menggeliat, menguap, membuka mata perlahan, sekujur badan rasanya pegal semua. Mengumpulkan segenap kesadaran, mengingat yang terjadi semalam sampai dini hari. Aku tersenyum sambil memejamkan mata. Tak menyangka, lelaki yang pertama menyentuhku tiada lain adalah Abang angkatku sendiri. Membalikkan badan, Abang sedang memainkan gadgetnya dengan tubuh bersandar pada kepala ranjang. “Bang ....” Lirih aku memanggil, sembari merangkul pinggangnya. “Udah bangun, Sayang?” Handphone disimpan, tangannya membelai rambutku. “Huum. Sekarang jam berapa?” Kepala Abang mendongak, melihat jam dinding. “Jam delapan lewat sepuluh menit.” Memaksakan tubuh untuk duduk. Namun lagi-lagi, masih terasa perih di area sensitif. Meringis. “Masih perih?” “Oh, enggak-gak, udah gak kok.” Bisa gawat kalau bilang perih. Nanti malah ‘diajakin’ lagi. Duh malah berbohong jadinya. Ya habis gimana, keadaanku lagi lemas banget. Kulihat ada sepiring roti tawar panggang dan dua gelas susu. “Abang udah s