"Semoga kamu betah ya, Sa, di sini." Kholid berbicara pada menantunya. "Ya, Pak." Salsa sedang menikmati makan bersama keluarga Imam. Hanya berempat. Dia, suaminya dan mertua. Robby tidak ada. "Kalo butuh sesuatu ke Ibu aja." "Ya, Bu." Salsa menunduk lagi setelah melihat sekilas Rasidah. Dia terus-terusan tersenyum, Salsa merasa ibu mertua terus ingat kejadian yang sudah memergokinya berada di atas Imam. Gadis itu malu sepanjang acara makan. Sementara Imam cuek saja. Fokus menikmati makan. Dia bahkan selesai duluan. Beranjak bangun setelah meneguk minum. Salsa melihat kepergiannya. Apa Imam tidak tahu dia malu setengah mati di sini? Ingin menyusul tapi tidak mungkin, makanannya belum habis dan lagi rasanya tidak pantas. Salsa merasa nanti harus bantu beres-beres. Menyebalkan Imam sudah meninggalkannya. Meski hal itu wajar, tapi bagi Salsa lain. Kholid sama sudah menyelesaikan makan. Dia pergi begitu saja sama seperti Imam. Bedanya bapak mertua mengucap hamdalah terlebih dulu.
"Ish, Aa apaan?" Salsa buru-buru duduk. "Katanya mau dikerokin, ya, dibuka bajunya.""Tapi, gak mau sama Aa." Salsa malu jika yang melakukan itu Imam. Dia belum mau mempertunjukkan tubuh tersembunyi padanya. Juga ... takut sentuhannya merambat. "Terus, sama siapa?" Salsa diam bingung. "Kamu itu sebenarnya sakit apa?""Aku ... datang bulan A." Imam menarik napas dalam. Dia kira istrinya sakit perut biasa atau masuk angin. Wajahnya lesu mendengar itu. Entah kapan dia bisa menunda menstruasi Salsa lalu membuahinya?Salsa kembali meringis memegangi perut. Pandangan Imam teralih lagi padanya dan kasihan. Rasa kecewanya ditepis dulu. "Emang setiap datang bulan kamu begini, Sa?" Imam menyentuh lengan Salsa. Dia tahu saat-saat istrinya halangan sejak beberapa bulan menikah, tapi baik-baik saja selama ini. "Biasanya gak sakit banget kaya gini ...." "Jadi mau dikerokin apa beli obat?""Dua-duanya." "Yaudah A kerokin dulu kalo gitu.""Gak mau sama Aa." Kini Imam yang terdiam bingung. S
Hadiah jam tangan pemberian Albyan dikembalikan Salsa melalui Liana di kelas. Temannya itu mengeryit saat Salsa meletakkan di mejanya."Aku gak bisa nerima hadiah itu, Li. Tolong balikin ke Kak Al, ya." "Loh, kenapa, Sa?""Aku gak pantes nerima itu."Liana terdiam sejenak kemudian terpikir sesuatu. "Dimarahin suami kamu, ya?" Salsa diam. Dia memilih duduk dari pada menjawab. "Aku udah peringatin ini ke Kak Al, tapi dia kukuh mau ngasih. Katanya cuma mau ngasih aja sebagai teman.""Balikin aja, Li. Aku mau berteman dengan Kak Al, tanpa harus ngasih hadiah seperti itu." "Yaudah, nanti aku balikin." Liana memasukkan kotak jam ke dalam tasnya. "Barang itu terlalu bagus." "Kak Al memang seroyal itu, Sa. Dia gak segan-segan ngasih ke orang yang bener-bener pengen dia kasih. Apalagi sama kamu." "Begitu, ya." Salsa mengeluarkan buku dalam tas, bersiap-siap karna sebentar lagi dosen datang. "Iya. Dia kan suka sama kamu. Andai kamu belum menikah ...."Dua gadis itu saling melirik. Ucapan
Imam sampai di kampus untuk menjemput Salsa. Lelaki itu membuka helem setelah menepikan motor. Mengeluarkan ponsel dari saku jaket mencoba menghubungi istrinya. Salsa ke luar gerbang universitas diikuti Albyan di sampingnya. Imam melihat dan merasa kejadian itu dejavu. Lelaki yang bersama istrinya kukuh mau mengantar pulang. "Aku cuma mau anterin kamu aja, Sa." Albyan menyentuh tangan Salsa dari atas motor besarnya. Menahan langkah gadis itu. "Gak usah, Kak." Salsa menjauhkan tangan Albyan."Yang jemput kamu juga belum datang, kan? Dari pada lama nunggu, pulang sama aku aja."Imam turun dari motor. Salsa melihatnya sudah datang melebarkan mata. Suaminya itu mendekat. Salsa menjauh dari Albyan berpindah ke sisinya. "Bisa tidak, jangan ganggu, Salsa?" Imam berbicara tegas pada Albyan. Pemuda yang memberi Salsa hadiah tempo hari. "Jauhi, Salsa." Dia menekankan ucapannya seraya menatap tajam sosoknya. "Suaminya?" "Ya." "Kenapa waktu itu lo ngaku abangnya? Malu karna istrinya jauh
Imam lekas menarik tangannya dari Anita. Melewati perempuan itu menghampiri sang istri yang tiba-tiba datang. "Waalaikumsalam. Loh, Sa, udah pulang? Kok gak minta jemput?" Imam langsung bersikap ramah. Tersenyum menyembunyikan rasa tak enak akibat kepergok dekat dengan Anita. Meski itu bukan salahnya. "Aku dianterin Rahma sama Alifa." Salsa berkata datar. Dia sengaja tidak minta dijemput, tidak ingin mengganggu suaminya. Dia meminta diturunkan sebelum bengkel, berniat memberi Imam kejutan akan kedatangannya. Tidak disangka malah melihat pemandangan tidak mengenakan.Anita bersikap biasa saja. Dia tersenyum saat Salsa memandangnya. "Baru pulang kuliah, Sa?"Salsa mengangguk. Dia melewati Imam membuka lemari pendingin minuman, mengambil satu botol teh pucuk harum. Membuka tutup cepat dan meneguknya. Melepaskan dahaga dan gerah karna suatu hal. "Kamu belum isi, ya, Sa?" Anita tiba-tiba menyentuh perut Salsa. "Belum." "Make KB?""Nggak.""Jangan make KB dulu, nanti bisa lama punya an
Sudah pukul tujuh lewat Imam belum juga menjemput. Salsa sudah bersiap-siap dan menunggu. Gadis itu tengah duduk di sofa ruang tengah. Imam mengabari sore tadi masih ada perlu. Dia akan datang sehabis magrib. Nyatanya sudah mau waktu isya belum juga ada. Salsa menghela napas. Dia mengambil ponsel dalam tas mengirim pesan lagi pada Imam [Aa Mpi udah berangkat belum?] Hanya centang dua abu-abu. Melakukan panggilan pun tidak diangkat. "Ish, di mana sih si Aa tuh?" Gadis itu menggerutu sendiri. "Mungkin lagi di jalan, Sa." Salsa melirik ibunya yang bergabung duduk, kemudian menunda tas yang tersampir di bahunya. "Apa aku bawa motor sendiri aja ke sana?" "Kamu harus tanya Imam dulu. Kalo dia mau jemput ya jangan bawa motor." "Mau nanya gimana? Di telepon juga gak diangkat." "Kalo Imam gak datang nginep aja di sini." "Ibu ... besok aku harus kuliah. Laptop, buku-buku, dan tugas ada di sana." "Yasudah, sabar dulu. Sebentar lagi pasti datang." Azan isya berkumandang dari Masjid. K
Kenapa suaminya bilang hanya teman? Kenapa Anita sering datang ke bengkelnya? Apa mungkin perempuan itu menyukai A Imam? Entah kenapa, Salsa malah memikirkan itu. "Bukannya dia punya suami?" "Sekarang, dia udah janda, Teh.""Hah! Janda?" Kalau bukan dari Wawan, Salsa tidak akan tahu Anita sebenarnya siapa. Dia mantan Imam dan sudah jadi janda. Kenapa suaminya tidak mau terus terang? "Sa, mau makan sekarang atau nanti?" Dari dapur Imam memanggil. Membuyarkan Salsa yang berdiam dari lamunan. Buku yang tengah dipegang ditutup. Dia tidak membacanya. Pandangannya hanya menerawang kosong. Salsa beranjak dari tempat tidur melihat suaminya. Suara gemercik minyak panas terdengar. Imam sedang mengoreng ayam."Emangnya udah selesai?" Lelaki itu menoleh. Tersenyum. "Tinggal yang dipenggorengan doang kok." Lalu berbalik lagi membalikkan ayam goreng.Imam mengerti Salsa yang masih takut-takut saat menggoreng ayam atau ikan. Dia rela mengambil alih tugas itu. Membiarkan istrinya untuk diam saj
Pukul sebelas lewat lima belas menit Salsa sudah pulang. Imam sengaja membawanya ke bengkel tidak langsung ke rumah. Turun dari motor gadis itu langsung ke dalam, disusul Imam. "Aa mau jum'atan dulu sama Wawan, kamu jaga di sini, ya?" "Iya." "Kalo laper atau mau beli sesuatu di sekitar sini, ambil sendiri uangnya di tas Aa." "Uang yang tadi pagi Aa kasih ke aku masih ada kok.""Gak apa-apa kalo masih ada. Kalo kurang ambil di tas Aa di belakang etalase." "Iya, Aa.""Kalo ada yang datang untuk servis atau apapun, suruh tunggu aja."Imam berbalik menghadap Wawan. "Kita jum'atan dulu, Wan." Lelaki itu berdiri menghentikan pekerjaannya. "Jadi gak tutup?""Gak usah." Mereka beres-beres peralatan untuk tidak terlalu berserak. Salsa duduk memperhatikan sambil mengotak-atik ponselnya sendiri. Dia tidak keberatan membantu Imam menunggui bengkel di hari jum'at ini. Dari pada buka-tutup ribet. Toh, hanya sebentar. "Sa, A pulang dulu, ya.""Ya." Imam dan Wawan keluar dari area bengkel. I