“Heuh?” Damian tampak bingung dengan ucapan Rangga mengenai Indi. “Kenapa bisa begitu?” tanyanya ingin tahu.Rangga menoleh kepada Damian dan menatapnya lekat. ‘Mana mungkin aku beri tahu bagaimana dulu kami menjalin hubungan,’ ucapnya dalam hati.Rangga dan Indi yang memiliki hubungan luar biasa saat masih menjadi sepasang kekasih lantas tidak akan pernah memberi tahu apa yang mereka lakukan meski Damian sudah tahu. Namun, detailnya tidak akan pernah ia beri tahu.“Saat tahu gue nikah sama Zoya pun Albert nggak suka. Memang kayaknya Albert nggak mau punya mama baru. Makanya nggak pernah ada yang dia sukai termasuk Indi,” tutur Rangga akhirnya mendapat alasan logis mengapa Albert tidak menyukai Indi.Damian manggut-manggut dengan pelan seraya menatap Rangga. “Begitu rupanya. Tapi, sekarang kayaknya mereka bersahabat.”Rangga terkekeh pelan. “Mungkin karena dia tahu kalau gue dan Indi udah nggak bersama lagi.”Damian tersenyum tipis mendengar jawaban Rangga. Selalu ada saja jawaban yan
Hari di mana Damian harus pergi ke Bandung telah tiba. Damian harus menyelesaikan pekerjaannya di sana bersama dengan Diego yang kini sudah taubat dan tidak mau lagi mabuk di depan banyak orang. Akan menjadi masalah besar dan Indi akan semakin marah kepadanya.“Elo udah dapat izin dari Indi, bakalan ke Bandung?” tanya Diego yang tengah menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa ke Bandung.“Udah gue kasih tahu dari seminggu yang lalu. Indi udah sehat lagi, udah ke butik juga. Tadi udah pamit juga, nanti Manda bakalan nemenin Indi di rumah. Hanya dua hari, nggak lama.”Diego menganggukkan kepalanya. “Nanti Rangga juga ikut ke Bandung. Anaknya dititip ke neneknya, karena nggak percaya sama mantan bininya.”Damian mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu? Elo tahu, alasan mereka bercerai karena apa?”“Karena Rangga suka sama Indi.” Diego lalu tertawa setelah menjawab pertanyaan Damian.“Gue serius, Diego!” ucap Damian datar.“Eh, tapi beneran. Indi dulu pernah deket sama Rangga. Tapi, waktu
Dua hari berlalu ....“Pulangnya malem? Kok gitu? Kenapa nggak sekarang aja? Nggak tahu apa, kalau aku lagi kangen banget sama kamu.”Indi tengah kesal kepada Damian karena tiba di Jakarta pada tengah malam sebab masih banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.“Sayang. Nanti aku bawakan moci kesukaan kamu. Tapi, janji jangan ngambek. Okey?” Damian membujuk sang istri agar jangan merajuk.Indi kemudian mengembungkan pipinya lalu menganggukkan kepalanya. “Ya udah.”Damian lantas terkekeh di seberang sana. “Sudah makan siang, heum?”“Nggak. Nafsu makan aku lagi berkurang dan nggak tahu penyebabnya apa. Apa karena kelamaan diet?”“Makanya nggak usah diet-diet. Pokoknya nggak mau tahu, kamu harus makan! Jangan sampai nanti sakit lagi, Indi. Bisa nurut nggak, sama suami?”Indi lantas memutar bola matanya pelan. “Tapi, udah makan buah-buahan banyak banget tadi. Makanya nggak mau makan nasi. Entar malam aja deh, makannya.”“Makan buah apa?” tanya Damian ingin tahu.“Banyak. Mangg
Indi lalu menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Damian. "Heuh?" ucapnya dengan pelan.Damian menghentikan sentuhan lembut itu lalu menghampiri Indi. Duduk di samping sang istri seraya menatapnya dengan lekat. "I miss you. Dari atas sampai bawah."Indi terkekeh pelan. "Hanya rindu bercintanya aja, atau memang rindu ke orangnya juga?""Kalau bisa keduanya, kenapa harus memilih satu?"Indi terkekeh pelan. "Aku juga, sih. Kangen."Damian mengulas senyumnya. Ia lalu melanjutkan apa yang ingin dia lakukan sedari tadi—menggerayani tubuh Indi yang sudah sangat ia inginkan.Damian kemudian membuka handuk yang melilit di pinggangnya itu. Setelahnya, ia membuka celana serta kaus yang ia kenakan hingga kini hanya tersisa celana dalam saja."Aku tidak akan melepaskanmu malam ini, Honey!" bisik Damian kemudian membuka bra yang dikenakan oleh istrinya itu.Detik berikutnya, Damian menyesapi kedua pucuk merah muda itu dengan penuh. Satu persatu ia mainkan hingga membuat Indi memekik serta membusun
Senyum yang tadi mengembang lantas pudar. Yara memintanya pergi bahkan kini tidak ingin melihat wajahnya. Terus berpaling ke lain arah.“Yara. Yang bawa lo ke sini itu Reiner. Jang—”“Lo kan, yang udah kasih tahu dia alamat rumah gue? Kenapa sih? Lo ini sahabat gue atau dia?” Yara memarahi Vita.Perempuan itu lantas memainkan jari jemarinya seraya menatap Yara yang emosinya tengah meluap-luap.“Yara. Kamu mau ngapain?” Reiner mencegah Yara yang hendak melepas suntikan infusannya.“Nggak usah sentuh aku, bisa?! Aku nggak apa-apa. Nggak usah sok perhatian!” sengalnya sembari melepas cairan infusan itu.“YARA!! Kamu lagi sakit. Aku lebih tahu kondisi kamu!” pekik Reiner sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya.Yara terdiam. Hanya menundukan kepalanya setelah dibentak keras oleh lelaki itu.“Sabar!” ucap Vita dengan pelan. Hanya menggerakan bibirnya hingga tak terdengar oleh Yara.Reiner menarik napasnya dalam-dalam kemudian menatap Yara seraya duduk di atas bangsal menatap Yara dengan
Di kediaman Rhea.Indi, Gladis dan juga Manda sudah berada di sana. Tengah duduk di atas tempat tidur sembari menatap Rhea yang tengah memberi ASI bayinya itu.“Rhe. Lahir normal apa caesar?” tanya Indi dengan sangat pelan.Rhea menoleh kepada Indi. “Normal, Ndi. Gue bener-bener nggak tahu kalau dia udah pengen keluar. Karena Regina bilang, masih dua mingguan. Ternyata dia udah nggak sabar pengen keluar,” jawab Rhea lalu mengulas senyumnya.Indi tersenyum tipis. “Tega bener lo, sama kita-kita.”Rhea mengusapi lengan Indi. “Gimana, udah berhasil … programnya?”Indi menggeleng pelan sembari tersenyum lirih. “Damian harus menjeda pengobatannya dulu karena fokus ke kepala atas dulu. Minggu depan, baru mau periksa lagi. Doain, semoga berhasil.”“Aamiin!” Ketiga sahabat Indi meng-aminkan dengan kompak.Indi lalu menghela napasnya dengan panjang. “Meski harus nunggu sampai tahunan, gue sih nggak masalah. Yang bermasalah tuh si Damian-nya. Nggak percaya diri, takut gue berpaling. Capek gue, d
Sepulang dari mall, Damian tampak diam bahkan tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut lelaki itu. Seperti terkunci dan tidak tahu apakah ia tengah marah, atau sedang malas bicara saja.Sementara Indi memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur sebab waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam.Di dalam kamar mandi, Indi tampak menatap dirinya di pantulan cermin. Lalu menggosok giginya. Pikirannya terarah kepada Rangga yang tiba-tiba ada di sebuah restoran Jepang. Yang mana dulu pernah ia datangi bersama Indi. Namun, lelaki itu hanya menemani Indi saja. Tidak makan apa pun.“Wajar aja kalau Damian larang gue deket sama Rangga lagi. Damian lagi sensitive, kayak pantat bayi. Udah pasti tahu apa yang Rangga rasakan,” gumamnya lalu berkumur-kumur.Masuk kembali ke dalam kamar dan mengenakan baju tidurnya. Ia lalu melirik Damian yang tengah sibuk dengan laptopnya.“Kayaknya malam ini nggak akan ada pertempuran. Kamu lagi sibuk, ya?” kata Indi memastikan.Damian menoleh
Hari pernikahan Gladis telah tiba. Indi dan juga Damian tengah bersiap-siap hendak pergi ke acara resepsi yang digelar di sebuah hotel bintang lima yang tak jauh dari rumah mereka.“Sayang. Kenapa cantik sekali? Nggak bisa, kalau biasa aja?” protes Damian pada Indi yang terlihat begitu cantik.Gaun yang ia kenakan begitu elegan. Long dress berwarna hitam mengkilap dengan belahan dada yang sedikit terbuka. Menampilkan pancaran aura cantik pada perempuan itu.Indi kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Nggak usah lebay. Aku emang udah cantik dari dulu. Kalau nggak cantik, mana mungkin kamu mau sama aku.”Damian lantas menatap datar wajah istrinya itu. “Kecantikan kamu boleh diperlihatkan hanya di depan aku saja. Di depan orang lain, dilarang keras!” ucap Damian penuh sensi.Indi lalu menyunggingkan bibirnya. “Nggak usah aneh-aneh, Damian. Ayo! Yang lain udah pada datang soalnya.” Indi menarik tangan Damian keluar dari rumahnya.Sebab acara resepsi Gladis sudah dimulai. Ia tidak mau