Share

Bab 6 - Cemburu?

"Abang."

"Ehm."

"Kok, diam aja dari tadi?"

"Males ngomong."

"Kenapa?"

"Sakit gigi."

Raisa cekikikan. Aku bersedekap tangan di dada sambil mesem-mesem. "Fokus dong nyetirnya. Entar celaka!" protesku.

"Ini juga udah fokus, Abang. Kalau nggak, Abang aja, deh, yang nyetir."

"Aku nggak punya SIM. Entar ditilang."

"Bikin atuh. Besok kuanterin, ya!"

Aku mengangguk, kemudian melemparkan pandangan ke luar kaca. Dalam hati terus bertanya-tanya tentang pria tadi. Namun, aku malas untuk memulai pembicaraan mengenai dirinya.

Setelah lama terdiam akhirnya aku memecah kecanggungan sekaligus interogasi. "Tadi, kenapa pake pelukan segala sama dia?"

"Kenapa? Cemburu?" Raisa balik bertanya.

"Enggak. Cuma kesal!"

Raisa tergelak. Bahunya berguncang menahan tawa. "Andra yang meluk aku, Bang. Kan aku nggak balas meluk," ujarnya di sela-sela tawa.

"Tetap aja bikin kesel. Kamu, kan, istriku. Harusnya dia udah nggak boleh peluk-peluk!"

"Iya, deh, iya. Nanti kubilangin ke dia. Enggak boleh peluk, tapi cium pipi kanan kiri aja, ya?"

Aku memelototi Raisa yang kian mengencangkan tawa. Sepertinya dia senang membuatku tambah kesal.

Sesampainya di mal, Raisa sibuk berkeliling dari satu toko ke toko lainnya. Beberapa paper bag telah digenggamnya. Namun, sepertinya dia belum puas berbelanja.

Dia menyeretku ke toko tas ber-merk mahal. Matanya berbinar melihat berbagai model tas di etalase. Sedangkan mataku langsung kuyu melihat harga benda-benda yang dipajang.

"Tas-mu kan udah banyak, Sa," tukasku.

"Model ini belum punya, Bang," kilahnya sambil memasuki toko.

Aku menghela napas berat dan mengembuskannya sekali waktu. Benar-benar harus bersabar menghadapi hobi mahal istriku.

"Empred!"

Teriakan itu!

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu.

Aku cepat berbalik. Sesosok perempuan berlari dan menghambur memelukku. Wangi parfum khas-nya sangat dikenal dan pernah kucintai, dulu.

Ghea melepaskan pelukan, lalu merangkum wajahku dengan kedua tangan. Dia menyentuh hidungku dengan ujung jemarinya. Hal yang selalu kami lakukan dulu, saat masih bersama hampir 2 tahun silam.

Wajah Ghea masih cantik. Rambut panjangnya dibentuk sanggul kecil ciri khas pramugari. Mata besarnya mengerjap. Mata yang pernah membuatku tenggelam di dalamnya.

"Apa kabar, Kasep?" sapanya lembut.

"Baik. Kamu?"

"Seperti biasa."

"Ke sini ngapain?"

"Lagi mau makan bareng sama teman-teman. Ikut, yuk!"

"Ehm, nggak deh."

"Kenapa? Biasanya kamu nggak pernah nolak diajak makan," tanyanya keheranan.

"Abang lagi sakit gigi!"

Ucapan seseorang dari belakang membuat kami serentak menoleh. Ghea memandangi Raisa yang justru tengah mendelikku tajam. Sedangkan aku sibuk mengamati lantai. Sangat berharap lantai tiba-tiba merekah dan menyedotku ke dalam.

***

"Cantik ya, Bang."

"Siapa?"

"Cewek tadi."

"Ooo, Ghea. Iya, dia cantik."

"Seksi pula."

"He em."

"Kok, tahu body dia seksi?"

"Ehh ...."

Aku mulai salah tingkah. Ditambah lagi Raisa tiba-tiba meminggirkan mobil di bahu jalan dan menatapku dengan tajam. Sekilas aku seperti melihat ada tanduk kecil muncul di atas kepalanya.

"Bang, jujur, deh. Apa Abang pernah lihat dia tanpa busana?" tanyanya.

"Enggak pernah," jawabku.

"Pernah tidur sama dia?"

"Enggak. Kamu ngapain nanya detail begitu?"

"Lah, itu tau bodynya seksi," cakapnya sambil merengut.

"Dia, kan, bajunya ketat terus. Kelihatanlah lekuk tubuhnya, Sa."

Selama beberapa saat suasana hening. Raisa masih merengut sambil terus mendelik dengan tatapan tajam ala Medusa. "Seksi mana, aku atau dia?"

Aku termangu. Lalu memaksa otakku berpikir cepat untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Saat ini aku bagaikan berhadapan dengan situasi yang sangat tidak enak. Maju berhadapan dengan singa atau mundur ke sungai yang penuh buaya.

"Sa, Abang nggak mau menjawab pertanyaanmu. Karena akhirnya semua jawaban Abang pasti akan salah," terangku sambil berusaha bersikap tenang. Padahal sebetulnya jantungku jumpalitan.

Raisa masih diam sambil mengetuk-ngetukkan jari ke setir mobil. Aku mengamatinya sembari berdoa dalam hati, agar kemarahannya bisa cepat reda.

"Sekarang kita lanjut jalan lagi, yuk! Nih, Mama udah nanyain," ajakku seraya memperlihatkan chat di ponselku.

Raisa menghela napas dan mengembuskan dengan cepat. Dia mulai menyetir lagi, tetapi dengan wajah yang tetap ditekuk. Perjalanan ke rumah orang tuaku terasa sangat panjang dan melelahkan. Terutama karena sopirnya tengah merajuk.

***

Sampai malam pun Raisa masih merajuk. Dia hanya menegur saat di rumah orang tuaku saja. Selebihnya dia akan diam dan membisu. Ditanya pun dia cuma mendelik. Atau membalas dengan satu kalimat pendek. Yakni, ehm.

Aku berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangan, padahal mataku curi-curi pandang melihatnya yang sedang duduk di kursi dekat jendela sambil bertopang dagu.

"Sa," panggilku.

"Ehm."

"Ke luar, yuk?"

"Ehm."

"Beli martabak mau?"

"Nggak."

"Gorengan?"

"Nggak sehat!"

"Kebab?"

"Jauh."

"Hmm ... buryam?"

Raisa menoleh. "Oke."

Syukurlah, di detik-detik terakhir aku ingat makanan favoritnya. Tempat Mamang buryamnya juga masih sangat hapal. Dulu, kami sering disuruh Mami beli itu kalau aku dipaksa ngapel sama Mama. Anak SMU ngapel anak SMP. Jiahhhhh!

"Abang yang nyetir. Aku capek dari pagi jadi sopir," tuturnya, masih mempertahanksn wajah cemberut yang terlihat kecut.

Tanpa penolakan aku mengambil kunci mobil dari tangannya. Kulit kami yang sedikit bersentuhan membuat dadaku berdesir.

Tenang ganteng, habis makan buryam entar makan Raisa! (Upps)

Puluhan menit berikutnya, kami sudah berdempetan di meja sempit Mamang buryam. Kami menikmati hidangan masing-masing nyaris tanpa berbicara sedikit pun.

Raisa dengan semangat mengaduk buryamnya hingga tak berbentuk. Menyuap sesendok dan memejamkan mata sambil mengecap. No table manner!

Aku akhirnya mengajak Raisa berlomba makan sate usus dan ati ampela ayam. Aku menambah satu porsi bubur lagi untuk dibagi dua.

Ralat. Dibagi seperempat buatku. Selebihnya buat dia. Aku mengalah dengan hati yang gondok. Ditambah lagi, Raisa menyabet semua sate usus tanpa menyisakan satu pun buatku.

Seusai bersantap, kami berpamitan pada Mamang pedagang yang telah memberikan bonus banyak kerupuk. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kami tetap tidak mengobrol apa pun. Aku fokus menyetir sedangkan Raisa serius tidur.

Iya, dia tidur. Sambil mangap pula.

Sampai di rumah, aku merasa tidak tega untuk membangunnya yang tertidur pulas. Akhirnya aku berinisiatif untuk menggendongnya.

"Lho, Raisa kenapa? Pingsan?" tanya Mami mertua yang keheranan.

"Tidur, Mi. Mau dibangunin kasihan. Pulas banget," jelasku.

Aku bergegas jalan menuju kamar kami yang terletak di sebelah ruang keluarga. Mami membantu membukakan pintu kamar.

"Kebiasaan, deh. Suka ketiduran di jalan kalau kekenyangan," tutur Mami, sambil mengelus rambut Raisa dengan penuh rasa sayang.

Mami menutupi tubuh Raisa dengan selimut, lalu mengecup pipinya dengan lembut. Mami menegakkan badan, lalu memandangiku. "Kamu udah mau tidur, Bang?" tanyanya.

"Belum, Mi."

"Ikut Mami, ya. Ada yang mau Mami omongin sama kamu."

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti langkah beliau ke ruang tamu. Kemudian kami duduk berseberangan sambil saling menatap.

"Mami tahu kalian tidak saling mencintai, Bang. Namun, Mami sangat berharap kamu bisa menjaga Raisa dengan baik. Sayangi dia. Puji dia walaupun masakannya masih kacau rasanya. Sambil dikoreksi tentunya."

"Tegur dia bila salah, karena itu sudah menjadi tugasmu sekarang. Kami hanya memantau dari jauh," tambah Mami. Mata sipitnya tiba-tiba berembun.

Aku bergerak cepat mengulurkan tisu. Mami menyeka air matanya yang mulai menetes dan membasahi wajahnya yang nyaris serupa dengan sang putri tidur. Mungkin kalau beranjak tua nantinya wajah Raisa akan seperti Mami.

"Iya, Mi. InsyaAllah, Abang akan berusaha menjaga Raisa dengan baik. Mendidiknya agar lebih mandiri. Jangan sungkan untuk menegur kami, ya, Mi. Enggak apa-apa. Abang ikhlas," jawabku.

"Syukurlah, Mami doakan kalian selalu rukun dan bahagia."

"Aamin, hatur nuhun. Doa yang sama juga buat Mami dan Papi."

Mami tersenyum. Sorot matanya tiba-tiba berubah sedikit jahil. "Udah sukses belum buka segelnya?"

Aku tertunduk malu. Ingin tertawa, tetapi ditahan. Akhirnya, aku cuma mengangguk sambil cengengesan, lalu menggaruk-garuk belakang kepala.

"Asik! Semoga Raisa bisa segera hamil. Mami udah nggak sabar pengen nimang cucu." Mami mengikik pelan. Mengingatkanku dengan sifat putrinya yang periang, dan juga sama cerewetnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status