Share

Bab 7 - Pinguin

"Bang."

Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi.

Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat.

"Abang!" hardiknya.

"Apa?"

"Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!"

"Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat.

Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan.

"Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk.

"Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya..

"Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!"

"Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah.

"Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur."

"Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku.

Waduh! Bahaya!

Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan damai. Menghindar dari omelan istriku yang galak.

Puluhan menit kemudian aku sudah tampil rapi dan memukau. Duduk bersama kedua mertua dan istri di meja makan. Aku makan tanpa bersemangat. Hanya meminum kopi susu buatan Raisa yang rasanya aneh.

"Bang, mau ikut Papi lihat rumah kalian?" tanya Papi yang sudah selesai sarapan.

"Iya, Pi," sahutku.

"Aku ikut, ya, Pi." Suara Raisa terdengar manja.

"Iya. Barang-barang yang kalian pilih kemarin sudah bisa diantar hari ini. Minta bantu Mang Idim sama Mang Jaja buat nempatin perabot ke tempatnya. Pagi ini Papi udah nyuruh mereka buat bersih-bersih rumah. Jadi, besok kalian sudah bisa pindah."

Aku manggut-manggut sambil menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Pindah rumah berarti nanti aku dan Raisa cuma tinggal berdua.

Yihaaaaaa!

Selesai sarapan, kami berangkat dengan menggunakan dua mobil. Papi dan Mami berangkat lebih dulu. Raisa memilih menyetir dengan santai, tetapi tetap tidak mengajakku mengobrol.

Sepertinya dia masih marah. Terbukti dengan mengacuhkanku saat ini. Bicara sekadarnya saat di depan orang tua. Begitu kami hanya tinggal berdua, dia kembali menjaga jarak.

"Sa," tuturku sembari berusaha meraih jemarinya.

"Hmm," jawabnya singkat sambil menepis tanganku menjauh.

"Jangan marah lagi, dong. Jadi jelek manyun begitu."

"Bodo!"

"Ihh, nggak boleh ngomong kasar ama suami. Pamali!"

"Terus aku kudu gimana? Ngomong lemah lembut sambil senyam-senyum gitu? Preeettt!"

Sontak aku tersenyum mendengar ocehannya. Dia pun akhirnya ikut tersenyum. Mungkin merasa geli sendiri.

"Walaupun Abang nggak tau salah abang apa, Abang tetap minta maaf. Mau, kan maafin abang?" rayuku dengan suara yang dibuat mendayu.

Raisa menoleh dan mengangguk pelan. Aku nekat memajukan tubuh untuk mengecup pipinya yang seketika merona.

"Abang, ihhh!" protesnya sembari mengelap pipi dengan punggung tangan.

Aku terkekeh sambil meraih jemarinya lagi dan menggenggam dengan kuat. Kali ini tidak lagi ditepisnya.

Horeeeee!

Sepanjang perjalanan, sesekali kami saling menatap dan melempar senyum. Bertingkah bak sepasang remaja yang baru berkencan untuk pertama kalinya.

Desir halus dalam dada terasa makin membesar, seiring dengan kian seringnya aku mendaratkan bibir di pipi, leher, dan punggung tangannya. Tak peduli dia akan menjerit-jerit kegelian dan membuat mobil sedikit oleng.

***

Keesokan harinya, kami pindah ke rumah baru diantar mertua dan juga orang tuaku. Bangunan model minimalis ini tidak terlalu besar, tetapi terasa sangat nyaman.

Mungkin karena ada pohon-pohon di halaman depan dan aneka tanaman hias di belakang rumah. Koleksi milik Papi yang dititipkan di sini.

Kendatipun aku tidak terlalu yakin bisa merawat bunga dengan baik, tetapi aku tidak bisa menolak. Iyain ajalah daripada disuruh tidur di teras.

Mama dan Mami sibuk memasak di dapur sembari bergosip ria. Papi dan papaku sedang mengobrol dengan tetangga depan rumah yang merupakan pelanggan toko milik Papi.

Raisa tampak sibuk memindahkan pakaian dan koleksi tasnya yang tidak terhitung jumlahnya, ke dalam lemari yang seluruh permukaannya ditutupi cermin.

Aku hanya bisa diam dan mengusap dada saat pakaian milikku cuma kebagian satu pintu lemari. Tiga pintu lainnya milik Raisa. Oke, fix! Nanti aku beli lemari sendiri.

"Abang, Raisa. Ayo, kita makan dulu," panggil Mama yang tiba-tiba berjalan masuk ke kamar.

"Iya, Ma." Aku berdiri sembari menutup pintu lemari. Aku menarik lengan Raisa dan menuntunnya ke ruang makan.

Ralat. Ruang tengah sekaligus ruang makan.

Menu makanan hari ini membuatku kalap. Nasi liwet pakai ikan teri, ayam goreng, sambal, tahu dan tempe goreng, lalapan dan tumis kucai favoritku.

Aku menambah berkali-kali hingga akhirnya berhenti dan terduduk kekenyangan di pojok ruangan. Mirip pinguin, kata Raisa.

Rasa kantuk yang mulai menyergap membuatku memutuskan untuk kembali ke kamar. Berbaring miring ke kiri di kasur sambil memeluk guling.

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Yang pasti saat bangun itu hari sudah beranjak sore. Aku menajamkan pendengaran. Namun, tidak terdengar suara orang ataupun suara tokek dari luar. Sangat sepi dan hening.

Ke mana, ya, orang-orang?

Perlahan aku beringsut ke pinggir kasur. Kemudian berdiri dan jalan menuju pintu yang ternyata masih terbuka lebar. Mungkin tadi aku lupa menutup pintu, atau Raisa yang sengaja membukanya seperti itu.

Di luar kamar benar-benar sudah tidak ada kedua orang tua dan pasangan mertua. Mungkin mereka sudah pulang saat aku tertidur tadi.

Sayup-sayup aku mendengar suara orang yang sedang mengobrol. Aku menoleh ke sana dan ke sini untuk mencari asal suara, yang ternyata berasal dari kamar tamu di bagian depan rumah. Bisa kupastikan bahwa itu adalah suara Raisa. Sedang mengobrol dengan siapakah dia?

Penasaran, aku berjinjit mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka. Lalu, mengintip ke dalam dan melihat Raisa sedang tengkurap di kasur sambil memegang ponsel.

Tampak dia sedang melakukan video call dengan seseorang yang merupakan seorang pria. Pasti itu si Andra tanpa tulang belakang!

Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa panas. Ada rasa tidak rela istriku melakukan video call dengan pria lain. Apalagi dengan mantan pacar.

Aku membalikkan badan dan menyandar ke tembok. Memejamkan mata seraya menghela napas panjang. Mencoba menenangkan hati yang mendadak jumpalitan.

Cemburu!

Apa ini yang namanya cemburu?

Lalu, kenapa aku harus cemburu?

***

Keesokan harinya, aku terbangun karena suara Mamang sayur yang berteriak-teriak memanggil pelanggannya untuk datang berbelanja.

Suaranya yang cempreng terdengar sangat kencang. Apalagi dia teriaknya memakai microfon. Bertambah kencang dan sangat berisik.

Aku memutar tubuh ke kanan dan kiri. Lalu, aku mengangkat kaki ke atas dan melakukan senam gaya ulat memanjat pohon.

Akan tetapi, gerakanku tertahan perut yang mulai membuncit. Aku menyentil perut supaya dia malu dan masuk ke dalam, tetapi ternyata dia tetap ngeyel dan malah makin menonjol.

Setelah melakukan senam singkat, padat dan mungkin sebetulnya tidak berguna, aku bergegas mandi dan bersemedi penuh kedamaian. Tanpa ada gedoran dari istriku.

Tiga puluh menit kemudian aku sudah tampil rapi dan kece. Mengenakan kemeja lengan panjang tosca, celana panjang hitam, dan dasi motif ikan paus hitam. Sepatu pantofel hitam mengilat menyempurnakan penampilanku.

Aku menarik jas hitam dari gantungan lemari dan menyampirkan di bahu. Aku jalan keluar kamar dan berhenti di depan meja makan.

Raisa sedang duduk di kursi ujung kiri sambil mengunyah sarapannya tanpa semangat. Wajahnya yang cantik terlihat sedikit murung.

"Kemarin kamu tidur di mana?" tanyaku sambil membuat kopi susu. Kapok minum buatan Raisa yang rasanya tidak karuan.

"Di kamar depan," jawabnya pelan.

Perlahan aku menyesap kopi dan menatapnya penuh tanya. "Kenapa nggak pindah ke kamar?"

"Aku ketiduran, Bang. Kebangun udah tengah malam. Mau keluar kamar, tapi aku takut."

"Ketiduran? Capek, ya, habis video call sama mantan?"

Matanya terbelalak. Raisa menggeleng pelan sambil menutup mulut. "Nggak, Bang. Habis video call itu aku lanjut ngetik laporan keuangan toko. Minggu depan, kan, udah gajian karyawan. Takut nggak keburu kalau dikerjakan dadakan. Jadi aku cicil ngetiknya. Terus ketiduran," jelasnya.

Aku tetap diam. Tidak berniat melanjutkan pembicaraan. Aku menghabiskan kopi, tanpa berniat menyantap brownies yang berada di meja.

"Aku berangkat," tuturlu sembari berdiri dan meninggalkan meja makan.

Raisa mengejarku dan memeluk pinggang dari belakang. "Abang, maafin aku, ya? Aku janji ngg akan video call ama dia lagi. Please, Bang! Maafin aku," pintanya dengan suara yang bergetar. Mungkin berusaha menahan tangis.

Aku menarik lengannya untuk melepaskan pelukan, kemudian aku berbalik dan mendekapnya erat. Entah kenapa aku jadi cepat luluh kalau dipeluk begitu.

Kami terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Aku teringat petuah Papa. Masalah apa pun harus dibicarakan dengan kepala dingin. Ego sebagai suami harus ditekan. Menghadapi istri yang sudah mengakui kesalahan itu harus sabar.

"Abang minta maaf juga, ya, udah curiga sama kamu. Habisnya, mesra banget ngobrolnya. Abang jadi ... cemburu!"

Tubuhnya sedikit menegang. Perlahan Raisa melepaskan pelukan dan menatapku dengan mata yang dipicingkan.

"Cemburu?" tanyanya seraya mengulum senyum.

"Iya, cemburu. Puas?!"

Senyumannya melebar. Kemudian dia berjinjit dan mendaratkan bibir di pipi kananku sekilas. Aku membalas dengan melakukan hal yang sama di kedua pipinya. Kemudian kami saling menatap dalam diam.

"Nggak jadi berangkat, ahh," imbuhku seraya membelai rambutnya.

Raisa terkekeh, tangannya melepaskan pelukan dan mendorong tubuhku ke luar rumah. Dia melambaikan tangan sambil membentuk ciuman jarak jauh dengan sorot mata jahil.

Ahh, Rai, aku jadi tambah gemes!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status