"Bang."
Sayup-sayup terdengar suara Raisa memanggil. "Abang," suaranya mulai meninggi. Aku mencoba membuka kelopak mata yang tertutup rapat. Terasa ada yang mengguncangkan tubuh atletisku dengan kuat. "Abang!" hardiknya. "Apa?" "Bangun! Udah Subuh. Buruan salat!" "Hmm. Entar dulu, deh. Masih ngantuk." Aku berbalik ke kanan dan memeluk guling dengan erat. Segelas air yang diguyur ke wajah membuatku gelagapan. Tangan bergerak cepat mengusap wajahku dengan tangan. "Apaan, sih? Kok, aku disiram?" protesku sambil beranjak duduk. "Dibangunin salat susah, tapi pengen masuk surga. Aneh!" omelnya.. "Iya, iya. Ini udah bangun! Cerewet!" "Abang itu emang kudu dicerewetin!" tukasnya tidak mau kalah. "Jangan galak-galak atuh ke suami, teh. Entar kabur." "Coba aja kalau berani kabur. Siap-siap di prekes-prekes," jawabnya sambil mengacungkan tinju ke arahku. Waduh! Bahaya! Segera aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah gontai ke kamar mandi. Duduk di kloset dan bersemedi dengan damai. Menghindar dari omelan istriku yang galak. Puluhan menit kemudian aku sudah tampil rapi dan memukau. Duduk bersama kedua mertua dan istri di meja makan. Aku makan tanpa bersemangat. Hanya meminum kopi susu buatan Raisa yang rasanya aneh. "Bang, mau ikut Papi lihat rumah kalian?" tanya Papi yang sudah selesai sarapan. "Iya, Pi," sahutku. "Aku ikut, ya, Pi." Suara Raisa terdengar manja. "Iya. Barang-barang yang kalian pilih kemarin sudah bisa diantar hari ini. Minta bantu Mang Idim sama Mang Jaja buat nempatin perabot ke tempatnya. Pagi ini Papi udah nyuruh mereka buat bersih-bersih rumah. Jadi, besok kalian sudah bisa pindah." Aku manggut-manggut sambil menahan diri untuk tidak tersenyum lebar. Pindah rumah berarti nanti aku dan Raisa cuma tinggal berdua. Yihaaaaaa! Selesai sarapan, kami berangkat dengan menggunakan dua mobil. Papi dan Mami berangkat lebih dulu. Raisa memilih menyetir dengan santai, tetapi tetap tidak mengajakku mengobrol. Sepertinya dia masih marah. Terbukti dengan mengacuhkanku saat ini. Bicara sekadarnya saat di depan orang tua. Begitu kami hanya tinggal berdua, dia kembali menjaga jarak. "Sa," tuturku sembari berusaha meraih jemarinya. "Hmm," jawabnya singkat sambil menepis tanganku menjauh. "Jangan marah lagi, dong. Jadi jelek manyun begitu." "Bodo!" "Ihh, nggak boleh ngomong kasar ama suami. Pamali!" "Terus aku kudu gimana? Ngomong lemah lembut sambil senyam-senyum gitu? Preeettt!" Sontak aku tersenyum mendengar ocehannya. Dia pun akhirnya ikut tersenyum. Mungkin merasa geli sendiri. "Walaupun Abang nggak tau salah abang apa, Abang tetap minta maaf. Mau, kan maafin abang?" rayuku dengan suara yang dibuat mendayu. Raisa menoleh dan mengangguk pelan. Aku nekat memajukan tubuh untuk mengecup pipinya yang seketika merona. "Abang, ihhh!" protesnya sembari mengelap pipi dengan punggung tangan. Aku terkekeh sambil meraih jemarinya lagi dan menggenggam dengan kuat. Kali ini tidak lagi ditepisnya. Horeeeee! Sepanjang perjalanan, sesekali kami saling menatap dan melempar senyum. Bertingkah bak sepasang remaja yang baru berkencan untuk pertama kalinya. Desir halus dalam dada terasa makin membesar, seiring dengan kian seringnya aku mendaratkan bibir di pipi, leher, dan punggung tangannya. Tak peduli dia akan menjerit-jerit kegelian dan membuat mobil sedikit oleng. *** Keesokan harinya, kami pindah ke rumah baru diantar mertua dan juga orang tuaku. Bangunan model minimalis ini tidak terlalu besar, tetapi terasa sangat nyaman. Mungkin karena ada pohon-pohon di halaman depan dan aneka tanaman hias di belakang rumah. Koleksi milik Papi yang dititipkan di sini. Kendatipun aku tidak terlalu yakin bisa merawat bunga dengan baik, tetapi aku tidak bisa menolak. Iyain ajalah daripada disuruh tidur di teras. Mama dan Mami sibuk memasak di dapur sembari bergosip ria. Papi dan papaku sedang mengobrol dengan tetangga depan rumah yang merupakan pelanggan toko milik Papi. Raisa tampak sibuk memindahkan pakaian dan koleksi tasnya yang tidak terhitung jumlahnya, ke dalam lemari yang seluruh permukaannya ditutupi cermin. Aku hanya bisa diam dan mengusap dada saat pakaian milikku cuma kebagian satu pintu lemari. Tiga pintu lainnya milik Raisa. Oke, fix! Nanti aku beli lemari sendiri. "Abang, Raisa. Ayo, kita makan dulu," panggil Mama yang tiba-tiba berjalan masuk ke kamar. "Iya, Ma." Aku berdiri sembari menutup pintu lemari. Aku menarik lengan Raisa dan menuntunnya ke ruang makan. Ralat. Ruang tengah sekaligus ruang makan. Menu makanan hari ini membuatku kalap. Nasi liwet pakai ikan teri, ayam goreng, sambal, tahu dan tempe goreng, lalapan dan tumis kucai favoritku. Aku menambah berkali-kali hingga akhirnya berhenti dan terduduk kekenyangan di pojok ruangan. Mirip pinguin, kata Raisa. Rasa kantuk yang mulai menyergap membuatku memutuskan untuk kembali ke kamar. Berbaring miring ke kiri di kasur sambil memeluk guling. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Yang pasti saat bangun itu hari sudah beranjak sore. Aku menajamkan pendengaran. Namun, tidak terdengar suara orang ataupun suara tokek dari luar. Sangat sepi dan hening. Ke mana, ya, orang-orang? Perlahan aku beringsut ke pinggir kasur. Kemudian berdiri dan jalan menuju pintu yang ternyata masih terbuka lebar. Mungkin tadi aku lupa menutup pintu, atau Raisa yang sengaja membukanya seperti itu. Di luar kamar benar-benar sudah tidak ada kedua orang tua dan pasangan mertua. Mungkin mereka sudah pulang saat aku tertidur tadi. Sayup-sayup aku mendengar suara orang yang sedang mengobrol. Aku menoleh ke sana dan ke sini untuk mencari asal suara, yang ternyata berasal dari kamar tamu di bagian depan rumah. Bisa kupastikan bahwa itu adalah suara Raisa. Sedang mengobrol dengan siapakah dia? Penasaran, aku berjinjit mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka. Lalu, mengintip ke dalam dan melihat Raisa sedang tengkurap di kasur sambil memegang ponsel. Tampak dia sedang melakukan video call dengan seseorang yang merupakan seorang pria. Pasti itu si Andra tanpa tulang belakang! Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa panas. Ada rasa tidak rela istriku melakukan video call dengan pria lain. Apalagi dengan mantan pacar. Aku membalikkan badan dan menyandar ke tembok. Memejamkan mata seraya menghela napas panjang. Mencoba menenangkan hati yang mendadak jumpalitan. Cemburu! Apa ini yang namanya cemburu? Lalu, kenapa aku harus cemburu? *** Keesokan harinya, aku terbangun karena suara Mamang sayur yang berteriak-teriak memanggil pelanggannya untuk datang berbelanja. Suaranya yang cempreng terdengar sangat kencang. Apalagi dia teriaknya memakai microfon. Bertambah kencang dan sangat berisik. Aku memutar tubuh ke kanan dan kiri. Lalu, aku mengangkat kaki ke atas dan melakukan senam gaya ulat memanjat pohon. Akan tetapi, gerakanku tertahan perut yang mulai membuncit. Aku menyentil perut supaya dia malu dan masuk ke dalam, tetapi ternyata dia tetap ngeyel dan malah makin menonjol. Setelah melakukan senam singkat, padat dan mungkin sebetulnya tidak berguna, aku bergegas mandi dan bersemedi penuh kedamaian. Tanpa ada gedoran dari istriku. Tiga puluh menit kemudian aku sudah tampil rapi dan kece. Mengenakan kemeja lengan panjang tosca, celana panjang hitam, dan dasi motif ikan paus hitam. Sepatu pantofel hitam mengilat menyempurnakan penampilanku. Aku menarik jas hitam dari gantungan lemari dan menyampirkan di bahu. Aku jalan keluar kamar dan berhenti di depan meja makan. Raisa sedang duduk di kursi ujung kiri sambil mengunyah sarapannya tanpa semangat. Wajahnya yang cantik terlihat sedikit murung. "Kemarin kamu tidur di mana?" tanyaku sambil membuat kopi susu. Kapok minum buatan Raisa yang rasanya tidak karuan. "Di kamar depan," jawabnya pelan. Perlahan aku menyesap kopi dan menatapnya penuh tanya. "Kenapa nggak pindah ke kamar?" "Aku ketiduran, Bang. Kebangun udah tengah malam. Mau keluar kamar, tapi aku takut." "Ketiduran? Capek, ya, habis video call sama mantan?" Matanya terbelalak. Raisa menggeleng pelan sambil menutup mulut. "Nggak, Bang. Habis video call itu aku lanjut ngetik laporan keuangan toko. Minggu depan, kan, udah gajian karyawan. Takut nggak keburu kalau dikerjakan dadakan. Jadi aku cicil ngetiknya. Terus ketiduran," jelasnya. Aku tetap diam. Tidak berniat melanjutkan pembicaraan. Aku menghabiskan kopi, tanpa berniat menyantap brownies yang berada di meja. "Aku berangkat," tuturlu sembari berdiri dan meninggalkan meja makan. Raisa mengejarku dan memeluk pinggang dari belakang. "Abang, maafin aku, ya? Aku janji ngg akan video call ama dia lagi. Please, Bang! Maafin aku," pintanya dengan suara yang bergetar. Mungkin berusaha menahan tangis. Aku menarik lengannya untuk melepaskan pelukan, kemudian aku berbalik dan mendekapnya erat. Entah kenapa aku jadi cepat luluh kalau dipeluk begitu. Kami terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aku teringat petuah Papa. Masalah apa pun harus dibicarakan dengan kepala dingin. Ego sebagai suami harus ditekan. Menghadapi istri yang sudah mengakui kesalahan itu harus sabar. "Abang minta maaf juga, ya, udah curiga sama kamu. Habisnya, mesra banget ngobrolnya. Abang jadi ... cemburu!" Tubuhnya sedikit menegang. Perlahan Raisa melepaskan pelukan dan menatapku dengan mata yang dipicingkan. "Cemburu?" tanyanya seraya mengulum senyum. "Iya, cemburu. Puas?!" Senyumannya melebar. Kemudian dia berjinjit dan mendaratkan bibir di pipi kananku sekilas. Aku membalas dengan melakukan hal yang sama di kedua pipinya. Kemudian kami saling menatap dalam diam. "Nggak jadi berangkat, ahh," imbuhku seraya membelai rambutnya. Raisa terkekeh, tangannya melepaskan pelukan dan mendorong tubuhku ke luar rumah. Dia melambaikan tangan sambil membentuk ciuman jarak jauh dengan sorot mata jahil. Ahh, Rai, aku jadi tambah gemes!Masuk kerja di hari pertama setelah cuti, aku langsung disambut dengan rapat, rapat dan rapat. Bikin kepala bertambah nyut-nyut. Kaki melangkah gontai berjalan kembali ke meja kerja, lalu aku mengempaskan badan ke kursi. Aku menelungkupkan tangan d meja dan menenggelamkan kepala di dalamnya. "Deuh, pengantin baru, baru masuk kerja udah loyo aja," ledek Edwin dari meja sebelah. "Diam!" hardikku. "Pasti kangen istri, tuh!" imbuh Seno dari meja seberang. "Berisik!" bentakku. "Kapan mau indehoy, Ed? Entar gue videoin," sahut Farraz sambil tertawa. "Nu gelo'!" teriakku. "Udah. Jangan digodain terus. Mukanya udah merah, noh," tukas Mbak Sinta, sekretaris kantor yang kebetulan sedang melintas."Makasih, Mbak. Emang vangke mereka," sungutku seraya menatap tajam ke ketiga lelaki sok kece sambil mengacungkan tinju. Ketiga pria yang mengaku sahabat itu malah makin tergelak. Sepertinya mereka puas sudah mengerjaiku. Bikin kekesalanku kian meningkat. Dasar, Vangke!Dering ponsel membuatku
Aku mengangguk dan balas menatapnya saksama. Dipandangi seperti itu membuatku deg-degan. Seolah-olah tengah kembali ke masa-masa saat kami masih bersama. "Kenapa kamu menikah dengan Raisa?" desak Ghea Aku menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat. "Dijodohin alias dipaksa Mama dan Papa," sahutku. Sudut bibir Ghea terlihat melebar. Kemudian dia terbahak hingga bahunya berguncang. Tawa hangat yang pernah sangat kusuka dan tak ayal membuatku ikut tersenyum."Bukannya dulu kamu nolak buat dijodohin?" tanyanya setelah berhenti tergelak. "Iya, tapi kemarin udah nggak bisa nolak lagi. Mana lagi jomlo. Ya, udah, deh, bablas nikah." "Jomlo?" Matanya dipicingkan menatapku seakan-akan tidak percaya. "Ho oh." "Kok, bisa? Bukannya kamu banyak yang naksir?" "Sejak kita putus, aku udah males buat nyari pacar lagi." "Kenapa?" "Ngarep kamu balik lagi," selorohku seraya tersenyum. Raut wajah Ghea mendadak berubah seiring dengan tatapannya yang melembut. Tangannya terulur menyentuh le
Malam ini aku dan Raisa bersantap dalam diam. Dia sibuk dengan ponselnya. Sedangkan aku mengarahkan tatapan pada televisi yang tengah menayangkan drama ikan terbang.Entah kenapa ada rasa tidak nyaman diam-diaman begini. Aku seakan-akan hanya makan sendirian dan Raisa hanya jadi patung. Kami juga tidak saling menatap. Bahkan, saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan ketika hendak menambah lauk, Raisa cepat-cepat memindahkan tangannya untuk mengambil nasi terakhir tanpa menyisakannya buatku. Raisa bangkit berdiri dan membawa piring bekas makannya ke dapur dan mencucinya. Kemudian, dia langsung masuk ke kamar. Tak lama berselang dia keluar dengan membawa koper dan berpindah ke kamar depan. Dia menutup pintu sambil menatapku sinis. Bunyi kunci pintu yang diputar menandakan bahwa genderang perang memang sudah ditabuh.Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Aku meminum air di gelas dalam beberapa tegukan singkat. Lalu meletakkan gelas ke meja. Aku bangkit berd
Aku bersiul sambil mengetik di laptop di meja kerja. Aku membalas tatapan penuh tanya dari teman-teman di sekitar, dengan tersenyum tipis agar terkesan misterius."Fred, kamu kesambet?" tanya Seno sambil memandangiku saksama. "Enggak. Aku lagi happy," terangku. "Happy kunaon?" desak Farraz sembari memajukan kursinya ke dekat mejaku. "Ada, deh!" sahutku. "Happy-nya Freddy, mah, nggak jauh dari urusan cewek!" celetuk Erwin dari kursinya.Aku melemparkan spidol ke arahnya yang bergerak cepat berkelit sambil tertawa. Aku mengambil spidol lain dan bersiap-siap melemparkannya pada siapa pun yang mengejekku. "Gaya-gayanya, Freddy lagi falling in love, nih!" sela Seno sembari menatapku lekat-lekat. Dia memang lebih dekat denganku dibanding yang lainnya. Aku tertawa mendengar ucapannya. Dalam hati mengakui, bahwa aku mulai jatuh cinta pada Raisa. Namun, aku akan merahasiakan hal ini dari mereka. Ketiga bujangan sok kece.Waktu berjalan dengan sangat lambat. Sekali-sekali aku melirik arlo
Untuk urusan memasak aku lebih jago dari Raisa. Ini juga pernah dipuji Mami mertua yang pernah datang berkunjung, dan mencoba sambal goreng kentang pete buatanku. Mantap, katanya.Di lantai dapur Raisa sedang duduk sambil menyiangi sayur kangkung dan mengobrol dengan Mbok Sum. Aku tidak memahami pokok bahasan mereka yang di luar jangkauan otakku. Tidak sampai 30 menit, ikan tuna balado ala koki Freddy Hanafi sudah siap di atas meja makan. Nasi juga sudah matang. Sambil menunggu Raisa selesai menumis kangkung, aku memutuskan untuk mencuci wajah dan berganti pakaian, agar aroma masakan tidak menempel ke badan. Selanjutnya, aku duduk di sofa sambil berselancar di aplikasi biru dan merah muda campur ungu sedikit membuatku relaks. Aku menyandarkan tubuh dengan santai. Perlahan aku mulai mengantuk. Maakin lama kelopak mataku makin terasa berat. Hingga akhirnya aku tidak kuat untuk memejam dan hilang kesadaran. Tepukan lembut di pipi membuatku terbangun. Aku mengerjapkan mata sebentar s
13"Maaf, kamu siapa?" tanyaku, setelah menyerah karena tidak bisa mengingatnya. "Aku Marlina. Masa lupa? Kita, kan, teman sekelas waktu SMU dulu!" jawab perempuan tersebut seraya tersenyum lebar. "Ahh, iya. Marlina, sang juara kelas."Akhirnya aku bisa mengingatnya. Aku beranjak naik dan duduk di pinggir kolam sambil merapikan rambut. Sementara Marlina tetap berjongkok di tempat semula. "Apa kabar?" tanyaku basa basi. "Alhamdulillah. Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?" Marlina bertanya balik. "Seperti yang kamu lihat. Aku tetap keren dan ganteng." "Hmm, ternyata narsismu juga masih melekat.""Aku pangling lihat kamu sekarang berjilbab.""Iya. Baru dua tahun ini aku memutuskan berhijab.""Masih sering ketemu teman-teman SMU?" "Jarang banget. Paling kalau aku pulang ke sini baru bisa ketemuan. Kalau kamu gimana?" "Aku selalu ketemu sama Seno. Kami rekan sekantor." "Seno yang rambutnya berjambul itu?" Aku mengangguk. Obrolan kami pun berlanjut dengan santai hingga waktu meram
14Kalian tahu enggak, rasanya pengen marah, tetapi enggak bisa? Nyesek banget! Sumpah!Andai tadi kami bertemu di tempat dan kesempatan yang lain, mungkin akan kuhajar wajah klimis Andra itu. Seenaknya saja dia bilang aku mencuri Raisanya. Damn!"Bentar, Dy, jadi maksudnya bos kecil itu adalah mantan pacarnya Raisa?"tanya Seno sambil membulatkan matanya. Aku mengangguk mengiakan. "Buset! Terus gimana, dong?" desaknya."Kagak gimana-gimana. Ya, aku tetap lanjut kerja aja. Walaupun ada rasa was-was dia bakal ngerjain," sahutku sembari bertopang dagu di meja. "Nyantai, Bro, jangan suuzon dulu. Kali aja dia baik sama kamu." "I hope so!" Sejenak kami terdiam sambil sama-sama memandangi kursi Farraz yang sedang ditinggalkan pemiliknya dinas ke luar kota. Seno menepuk bahuku, kemudian mendorong kursinya menjauh dan melanjutkan aktivitas. Aku berhenti melamun, lalu kembali memfokuskan pandangan pada laporan di layar laptop. Meskipun sulit berkonsentrasi, aku tetap berusaha menunta
15Sayup-sayup terdengar suara azan Subuh telah berkumandang. Perlahan aku membuka mata yang terasa sangat berat. Kamar masih gelap, bias sinar lampu di ujung ruangan menjadi satu-satunya cahaya. Aku mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan dengan sinar yang cukup terang. Setelah benar-benar sadar, aku menggeser tangan Raisa yang melingkari perut. Mengusap lengannya sambil berbisik, "Sayang, bangun, sudah pagi."Raisa menggeliat pelan sambil memicingkan mata, sebelum memejam kembali, lalu mengangkat selimut hingga menutupi kepalanya. Aku beringsut ke pinggir tempat tidur, duduk sejenak mengumpulkan nyawa yang masih terbang di awang-awang. Kemudian aku bangkit dan berdiri, lalu melangkah pelan menuju kamar mandi. 15 menit kemudian aku sudah siap untuk menunaikan salat Subuh. Raisa bangkit perlahan dan memandangiku sebentar, kemudian dia bergerak menuju toilet. Selanjutnya, kami menunaikan salat