Hiruk pikuk warga desa Tawun menjadi selalu daya tarik tersendiri di mata Wendy saat diajak oleh istri Sunardi--nelayan merangkap sebagai tour guide--melihat barang dagangan yang dijual di sepanjang jalan desa. Mulai dari alat-alat masak, alat mandi, kebutuhan pangan seperti; beras, daging, sayur-mayur, buah-buahan, hingga pakaian tersedia di sini. Tak luput pula ada yang menyuguhkan kebutuhan papan juga kosmetik dengan berbagai macam harga. Terik matahari mulai merangkak naik ke ubun-ubun tak menyurutkan pedagang untuk menjajakan barang-barang yang agak susah didapat di desa.Perempuan berkulit eksotis dengan cepol rambut di samping kiri Wendy ini bercerita kalau pasar kaget seperti ini selalu ditunggu-tunggu sebagian besar warga daripada harus ke kota. Wendy mengangguk-angguk paham menyadari jarak tempuh dari desa ke pusat kota Mataram saja butuh waktu hampir dua jam dengan mobil. Belum lagi harus merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos perjalanan yang bisa saja dua kali lipat dari h
Mengenakan hoodie biru gelap seraya merangkul lutut memandangi riak laut yang tak kenal lelah mendekati hamparan pasir putih di sepanjang pinggir pantai Sekotong. Duduk di atas dipan kayu dialasi tikar anyaman pandan berwarna merah, Wendy mengamati Ketut tengah berbincang dengan Ali di depan warungnya seraya mengipasi ikan tenggiri yang sudah dibalur perasan jeruk nipis dan garam. Asap mengepul yang mengitari dua lelaki itu tak mengganggu obrolan seputar makanan. Sesekali Ketut memuji jajanan yang sempat Ali hidangkan berupa dodol rumput laut aneka warna yang manis juga kenyal dan minuman tuak manis yang menyegarkan.Setelah ikan terlihat matang, Ketut menaruhnya di atas piring kemudian menghiasnya dengan irisan bawang merah, cabai, daun selada, tomat dan potongan jeruk nipis. Selain itu, bukan sambal kecap yang bakal menemani ikan bakar ini melainkan sambal kacang yang baru dihangatkan. Ali terpukau kala Ketut mampu menyulap makanan sederhana tersebut terlihat mewah dan berkelas samp
Selagi hafal daerah yang sudah dijelajahi seorang diri, Wendy mengajak Ketut untuk mengintip nirwana yang ada di Sekotong barat daya. Sebuah gili yang masih sangat sepi yang menyajikan aneka terumbu karang tanpa harus menyewa kapal lagi. Mengenakan celana olahraga biru dongker, kaus senada yang sangat longgar, dan sandal gunung penampilan Wendy mirip gadis yang ada di siaran petualang. Manalagi slayer merah bermotif retro menutup kepala agar terhindar dari sengatan matahari, tak lupa kacamata hitam menggantung di batang hidung mancung Wendy. Dia duduk di bagian depan perahu motor merasakan angin berhembus cukup kencang menerpa wajah juga mengacak-acak rambutnya yang diikat ekor kuda. Jujur saja, Ketut sempat terpesona akan penampilan gadis itu yang sangat jauh berbeda dari keseharian. Kulit kuning langsat yang mulai eksotis menambah daya pikat seorang Wendy Aurelia. Diam-diam Ketut mengabadikan setiap ekspresi Wendy tengah mengagumi pulau seribu masjid ini melalui kamera SLR. Gadis i
Kepulan asap keluar dari mulut juga lubang hidung Bimo ketika lelaki itu menyesap batang tembakau yang ke sekian kali sebagai pelipur lara. Membumbung tinggi hingga lenyap ditelan udara. Abu rokok berceceran di balkon apartemen itu tertiup angin malam di bawah sendu rembulan yang menemani Bimo. Puntung-puntung lain juga terserak di lantai dan menjadi saksi bisu betapa gundah gulana hati pria yang ditinggal istrinya itu. Efek nikotin terlanjur membaur di dalam darah, namun tak selalu berhasil menenangkan pikiran dan ledakan emosi sempat menghilangkan kewarasan Bimo."Di mana istriku!" pekiknya pada Ketut usai menerima sepucuk surat dengan tulisan tangan Wendy. Dicengkeram kerah baju koki lelaki berlesung pipi itu dan melayangkan pandangan tajam menusuk sanubari. Buku-bukunya memutih menahan keinginan untuk tidak melayangkan bogeman ke arah wajah yang membalas tatapannya tanpa gentar.Raut muka Bimo memerah bukan main sampai-sampai karotisnya terlihat jelas dengan hidung kembang kempis.
Memulai hidup baru berarti siap dengan tantangan baru. Setidaknya itu yang sedang dicamkan Wendy dalam kepala manakala kendaraan roda empat membawanya ke Tanjung. Sebuah kota cantik di Lombok Utara yang menawarkan keindahan lain seperti Sekotong. Dia melipat tangan usai membuka kaca mobil, menopang dagu seraya merasakan semilir angin subuh masuk ke dalam pori-pori kulit. Rambut yang diikat ekor kuda itu bergoyang tak beraturan mengikuti udara yang membelainya. Sementara bias mentari sudah mengintip di balik bukit-bukit yang mengelilingi Sekotong bagai membuka gerbang perpisahan tuk melepas kepergian Wendy. Dia menaungi mata lentiknya dengan sebelah tangan, menarik lebar garis bibirnya sampai muncul semburat merah di pipi. Pantai-pantai yang terlihat sejauh mata memandang yang memantulkan cahaya matahari bagai kumpulan berlian raksasa berkilauan, membuat Wendy kembali ditarik ke masa-masa dirinya dilanda dilema. Laut menemani Wendy dalam suka-duka, menyajikan keagungan Tuhan bahwa mas
Dia merasa nyawanya melayang ketika tumbang ke lantai dapur. Banyak suara saling sahut-menyahut memanggilnya segera bangun tapi suara mereka makin lama makin terasa jauh. Ditambah tenaga Bimo seperti terisap habis tak tersisa sampai membuka mata saja tak mampu. Dalam sisa-sisa kesadaran di antara kegelapan, Bimo harus meraba-raba sekitar untuk mencari jalan keluar. Hingga muncul seberkas cahaya putih menyilaukan pupil. Dia memejamkan mata manakala dirinya terlempar ke suatu tempat asing. Lantas mengedarkan pandangan mendapati dirinya berada di pinggir pantai dengan senja di ujung cakrawala. Hamparan pasir putih bersinar di bawah pendar mentari yang akan pergi, namun pantulan sinarnya membias ke lautan menciptakan warna keemasan di sana. Bimo berpaling, tercengang melihat Wendy tengah duduk memandang senja."Wendy?" gumam Bimo tercengang bukan main.Gadis itu tak menimpali panggilan Bimo, masih sibuk tenggelam dalam pesona akan keindahan semburat oranye di langit. Kemudian, jemari lent
"Nah, ini kan adonannya kalian bagi jadi empat bagian terus kasih aja pewarna makanan hitam, merah muda, ungu, dan sisanya putih. Baru kalian tata di wadah lain terus susun mungkin bisa dari warna hitam dulu. Taruh di sudut-sudut wadah, terus timpa di sebelahnya dengan warna ungu lanjut pink sampai putih begitu seterusnya," jelas Wendy saat mendemonstrasikan pembuatan es krim galaksi di working table. "Setelah selesai bisa kalian taburi sprinkle bintang emas ini. Nah, waktu es krimnya sudah jadi tuh untuk finishing bisa kalian taburin sedikit bubuk silver biar makin cantik.""Penyajiannya tetep pakai mangkuk atau yang lain Mbak Wen?" tanya salah satu cook helper. "Pakai mangkuk bisa atau charcoal cone," jawab Wendy. "Bahan-bahan yang kemarin saya minta sudah ada kan, Chef?" sambungnya pada chef Indra. "Iya, mau datang hari ini kok. Nah, Wendy juga punya ide bikin truffle galaksi, tapi untuk lapisannya kita akan buat seperti sembilan planet ya, Wen," ujar lelaki berambut ikal itu.
Sakit fisik dan tekanan batin dalam waktu bersamaan memang tidak menyenangkan Walau diizinkan rehat selama beberapa waktu, nyatanya tidak bisa mengusir kegundahan yang masih setia membelenggu Bimo. Dia duduk seorang diri di depan layar televisi yang menampilkan film Armageddon di mana tokoh perempuan tengah berseteru dengan ayahnya karena tidak mendapat restu untuk menjalin hubungan dengan tokoh utama pria. Melihatnya, Bimo serasa ditarik ke masa-masa saat Wendy mengajukan ide untuk menonton film yang bersama dan berakhir dengan cumbuan panas.Tapi sekarang, adegan-adegan di depannya bagai angin lalu yang tidak dapat dicerna kepala Bimo. Dia seperti manusia yang tidak memiliki semangat untuk hidup walau sudah diberi penyemangat bahwa suatu saat pujaan hatinya akan kembali. Bimo menepis harapan itu dan menganggap kalau dirinya memang pantas dihukum oleh semesta atas keserakahannya dalam mempermainkan cinta. Sinar mata Bimo kian redup hari demi hari pun bobot tubuhnya turun drastis mem