Ehem. Apa yang kira-kira akan Fayola lakukan, ya? ≧ω≦
“Aww, Lang. Apa yang kamu lakukan?” Dia tiba-tiba saja memekik genit, membuat aku terkejut. “Hmm. Kita tidak bisa melakukan ini di sini. Orang tuaku bisa mendengar. Aw!”Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, tidak jauh dariku, sambil bicara sendiri. Untuk menyempurnakan aktingnya, dia bahkan berekspresi sebaik mungkin. Padahal yang mencuri dengar itu tidak bisa melihat wajahnya.“Ooh, iya, sayang. Aku suka setiap kali kamu menyentuh aku di sana. Iya. Terus turun, sayang. Turun.” Aku menyilangkan kedua tangan di depan dadaku mendengarnya. Dia terus saja menggumam, mendesah, dan mengeluarkan suara yang tepat ketika seorang wanita sedang bercinta.“Kamu sudah gila,” kataku ketika dia berhenti dan menutup mulut untuk menyembunyikan suara tawanya. Orang yang tadi ada di depan pintu sudah pergi, tidak menyadari kami bisa mendengar langkah kakinya.“Kita lihat saja besok. Mereka tidak akan curiga lagi dengan hubungan kita.” Dia mengangkat selimut
~Fayola~ Dasar Galang bodoh! Dia kerasukan apa, sih? Apa ada roh halus di kamar penginapan kami sampai dia mencoba untuk mencium aku? Roh apa yang tertarik kepadaku yang jelek dan pendek ini? Aku memang salah sudah mencium dia dan melanggar perjanjian kami, tetapi aku sudah meminta maaf. Dia juga sudah melupakannya. Eh, mendadak ingin mencium aku sesukanya. Enak saja. Perjanjian adalah perjanjian. Kami bisa melewati cobaan ini. Godaan bayangan saat kami berciuman di rumah Nenek akan segera berlalu. Kami sepakat untuk tetap bersahabat, maka aku tidak mau mengubah kesepakatan tersebut. “Kepala kamu terbuat dari apa, sih?” Dia mengusap-usap keningnya yang memerah karena antukan kepalaku. “Mengapa sekarang kamu lebih suka menggunakan kekerasan?” “Karena hanya itu yang bisa membuat kamu sadar,” ucapku sengit. “Jangan lupakan kesepakatan kita. Tidak ada teman yang ciuman. Kamu sendiri yang bilang begitu. Yang aku lakukan di rumah Nenek itu keterpaksaan. Apa kamu mengerti?” Perasaan kesa
“Gila? Aku?” Sonya tertawa mengejek. “Kalian yang sudah gila berpikir bisa mengikuti gaya hidup kami! Aku justru menyelamatkan butik langgananku ini dari penipu seperti kalian. Pura-pura mau menjahit baju, pasti nanti kalian tidak mau bayar dan mengerjai para karyawan malang ini.” “Aku tidak peduli dengan gaya hidup hedonismu itu. Kamu hampir melukai istriku! Minta maaf atau aku akan meminta CCTV mereka dan menyebarkan perbuatanmu tadi!” seru Galang, mengancam. Aku terkejut mendengar kalimatnya itu. Dia marah bukan karena benda yang Sonya lempar, tetapi karena aku yang bisa saja terluka. Sesuatu yang asing menghangatkan dadaku. Aku melingkarkan tanganku di badannya dan menempelkan pipiku ke dadanya. “Minta maaf? Enak saja. Aku tidak akan—” protes Sonya dengan sengit. “Sayang, kamu yang bersalah. Minta maaflah. Terlalu banyak saksi untuk lari dari kesalahanmu ini,” kata Doddy dengan suara penuh otoritas. “Te-tetapi, sayang,” kata Sonya dengan berat hati. Aku tidak bisa melihat apa
Kami menikmati kudapan sore di kafe hotel. Fasilitas gratis yang tidak akan kami lewatkan. Kami sepakat untuk tidak pergi ke mana pun pada hari pertama dan ketiga. Hanya pada hari Sabtu, kami pergi sejenak ke pasar untuk membeli oleh-oleh. Aku tidak melupakan janjiku kepada dua rekanku. Setelah mengisi cangkir dengan kopi dan meletakkan beberapa kue di atas piring, kami mencari meja yang dekat dengan jendela. Pemandangan laut yang indah bisa kami nikmati dengan leluasa. Pantai tidak ramai dengan pengunjung, karena masih sore. Aku yakin suasananya akan berbeda pada malam hari nanti. Walaupun aku dan Doddy berpacaran selama lima tahun, dia tidak pernah sempat mengajak aku ke hotel milik keluarganya ini. Jika bukan aku yang sedang ada pekerjaan, maka dia yang harus ikut ayahnya melakukan perjalanan bisnis. “Aku akan menambah kopi dan mengambil kue lagi. Kamu mau sesuatu?” tanya Galang. “Kopi dan kue juga. Terima kasih,” kataku sambil memotong kue dengan garpu dan memasukkannya ke mulu
Cukup lama menunggu, akhirnya makanan yang kami pesan itu pun diletakkan di hadapan kami. Piring demi piring mulai memenuhi meja, diikuti dengan gelas dan botol kaca yang terlihat indah mengingat harganya yang tidak murah. Pelayan itu mempersilakan kami untuk menikmatinya setelah semuanya mereka sajikan di depan kami. Tentu saja. Kami akan sangat bahagia menyantap seluruh makanan itu. Perutku yang semula penuh kini terasa kosong karena berada di tepi pantai selama beberapa menit, melawan dinginnya angin yang bertiup. “Selamat makan!” seru kami serentak. Aku mengambil lobster terlebih dahulu. Makanan termahal dari antara yang ada di depanku. Galang juga melakukan hal yang sama. Aku menggumam pelan merasakan lezatnya makanan itu di lidahku. Pantas saja orang rela membayar mahal untuk menyantap udang laut raksasa ini. Setelah lobster, udang besar, kepiting, cumi-cumi, ikan, sayur, dan buah-buahan ludes kami makan, kami duduk dengan santai meminum anggur putih. Satu botol minuman itu t
“Aw, aw, aw!” teriaknya kesakitan.“Aku sudah mengingatkan kamu berulang kali. Boleh cium pipi, dahi, rambut, tangan di depan umum, tetapi tidak boleh mengecup area lebih dari itu, kecuali keadaan memaksa. Keadaan yang memaksa artinya ada keluarga atau orang yang sangat dekat dengan kita yang menguji keseriusan kita,” kataku sambil menjaga jarak darinya.“Yang kamu lakukan di pantai dan restoran tadi pagi di luar kedua syarat itu. Aku bisa mengerti yang kamu lakukan semalam, karena aku yang memulainya. Tidak dengan yang tadi pagi. Kamu sengaja, ya, melupakan kesepakatan kita? Ha?” tanyaku dengan geram.“Telingaku bisa putus, Fay! Lepaskan!” Dia berusaha untuk meraih tubuhku, tetapi aku menjauh.Dia tadi lengah karena berlutut memperbaiki tali sepatunya, jadi aku bisa menjewer telinganya dari belakang. Walau tangannya panjang, dia tidak bisa menjangkau aku yang berdiri di belakangnya. Aku tidak bisa membiarkan dia terus melanggar perjanjian kami.“Mengapa kamu boleh memulai, sedangkan
~Galang~ Aku tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepala wanita yang sudah menyakiti sahabatnya sendiri itu. Fay ketinggalan ponselnya di ruang ukur, mengapa harus dia lempar sampai hancur? Apa salah istriku kepadanya sehingga dia memperlakukannya sejahat itu? Benda itu bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga berisi banyak kenangan serta berkas penting yang ada urusannya dengan pekerjaan Fay. Mengapa dia tidak mengembalikannya baik-baik atau biarkan salah satu pelayan yang memberikannya kepada istriku? Aku sudah berusaha menghindari keributan dengan memanggil istriku agar pertengkaran itu tidak memanas. Bukannya mundur dan mengurus urusannya sendiri, dia malah memancing perkelahian lagi. Untung saja dia sudah meminta maaf, atau aku akan menyebarkan perbuatannya di internet. “Mengapa kamu malah kelihatan senang kehilangan ponselmu?” tanyaku tidak mengerti. “Benda itu sudah lama perlu diganti. Aku sudah memindahkan semua berkas penting, tetapi masih sayang untuk melepasnya. Syuk
Aku maju sampai Sonya mundur, lalu menutup pintu apartemen. Dia sengaja melakukan ini. Kapan dia kembali sampai bisa melihat kedua orang tuaku sedang berada di kafe? Benar-benar pengganggu. Kami belum selesai merapikan kamarku. Ayah dan Bunda bisa tahu kami tidur di kamar terpisah.“Bunda, kita kembali ke bawah, yuk. Aku akan menemani Ayah dan Bunda,” ajakku.“Sudah. Tidak apa-apa. Kami sudah memesan makanan, tetapi biar saja pelayan yang memakannya. Kami bantu membereskan apartemen kalian biar cepat selesai. Ayo.” Bunda memegang kenop pintu dan memutarnya. Tentu saja pintu itu tidak terbuka otomatis. “Oh, iya. Lupa. Kuncinya pakai kode.”“Iya. Sebentar, ya, Bunda.” Aku menoleh ke arah Sonya yang masih berdiri di dekat kami. “Apa lagi yang kamu mau. Pergi dari sini!”“Hus. Mengapa kamu bersikap kasar kepada orang yang sudah menolong kami?” tegur Bunda.“Lo? Bunda tidak mengenal wajahnya?” Aku balik bertanya. “Ini mantan teman Fay yang sudah—” Perempuan itu bergegas pergi sebelum aku s