“Pasti hantunya sudah pergi dari rumah, makanya wajah kamu kembali sesegar biasanya.” Nidya merangkul lenganku saat kami memasuki lobi bersama.“Bukan hantu. Tangan Galang terluka pagi ini. Sepertinya ada penjahat yang masuk ke apartemen, lalu dia memukulnya dengan tinjunya.” Mati aku. Mengapa aku keceplosan memberi tahu Nidya tentang masalah kami?“Oh, ya? Itu berbahaya sekali! Apa tidak ada sekuriti di gedung itu? Mengapa mereka tidak bekerja dengan baik mengawasi setiap apartemen pada waktu penghuninya tidur?” tanyanya khawatir.Benar juga. Sudah berhari-hari ada masalah di apartemen kami. Jika benar ada orang yang masuk tanpa izin, mengapa para petugas yang mengawasi CCTV tidak melakukan tindakan apa pun? Galang sampai harus menangani masalah itu sendiri.“Galang pasti sudah bicara dengan mereka. Yang penting, keadaan sudah damai lagi.” Aku sengaja menutup pembicaraan agar tidak semakin keceplosan.“Bagus. Jangan lupa, besok anakku ultah. Tante kesayangannya harus memberikan kado
Setelah berbincang dengan serius mengenai perusahaan, mereka kembali kepada suami mereka. Para pria itu membutuhkan bantuan, karena anak-anak mereka meminta sesuatu yang tidak bisa mereka berikan. Aku tersenyum melihatnya.Aku duduk di sisi Galang. Dia memberikan sebotol minuman kepadaku. Percakapan tadi mampu mengalihkan pikiranku dari banyaknya anak-anak di tempat ini. Tidak seperti saat di Bali, di mana aku tidak bisa mengendalikan emosiku lagi.“Tante!” sapa Ezio. “Mama memanggil. Ayo!” Dia menarik tanganku, maka aku mengikutinya. Aku menoleh ke Galang. Dia mengangguk pelan.Nidya meminta aku untuk membawakan baki berisi pisau dan beberapa piring kecil, sedangkan dia mendorong troli berisi kue ulang tahun yang sangat besar bergambar tokoh kartun kesukaan Ezio. Semua orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun.Dia meniup lilin dan memotong kue dengan bantuan mamanya. Orang pertama yang mendapatkan potongannya adalah sahabatku itu, lalu papanya. Dia memberikan kue ketika kepada adi
Aku menggeleng pelan melihat Mama begitu antusias menyambut tamu undangannya. Padahal itu adalah bel dari lobi. Butuh izin penghuni untuk menerima tamu dari luar. Galang sengaja membuat peraturan sekalipun keluarga kami yang datang, sekuriti harus meminta izinnya. Siapa tahu ada yang berpura-pura menjadi keluarga kami.Mama mendekati konter dan menyiapkan teh dalam teko. Dia membawanya pada baki ke meja depan sofa. Kemudian dia kembali dan mengambil keranjang berisi beberapa bungkus roti. Siapa tamu yang dia undang untuk datang ke sini?Ketika Galang kembali bersama dua orang yang dinanti itu, aku tertawa kecil. Apalagi Mama segera menarik tangan Bunda ke balkon, membawa cangkir dan roti masing-masing, lalu menutup pintunya kembali. Kami tidak akan bisa mendengar apa pun yang mereka bicarakan di sana.“Sikap Mama sangat aneh.” Galang duduk di sisiku. Dia tidak melepaskan pandangannya dari kedua ibu kami. “Sejak pagi tadi, senyum itu tidak hilang dari wajahnya.”“Kalau dari percakapan
Galang menjemput aku sedikit lebih lama, tetapi aku tidak mengeluhkannya. Mungkin dia mendadak punya pekerjaan dan tidak sempat mengirim pesan kepadaku. Dia sudah sampai dengan selamat itu sudah cukup. Aku menerima helm darinya, memakainya, lalu duduk di jok belakang. Hari ini benar-benar hari yang panjang dan aneh bagiku. Tidak biasanya ada begitu banyak drama dan masalah di tempat kerja dalam satu hari. Semuanya terjadi sejak manajer baru itu diangkat. Aku jadi rindu dengan manajer lama kami yang baik hati. “Fay, pegangan yang erat!” seru Galang membuyarkan lamunanku. “Apa maksudmu?” tanyaku bingung. “Jangan banyak tanya! Pegangan!” Aku segera menurutinya dan dia menancap gas sehingga sepeda motornya melaju dengan kencang. “Galang! Apa yang kamu lakukan!?” teriakku panik. Peganganku pada tubuhnya semakin kencang. “Tutup matamu! Kita akan segera sampai!” katanya. Tanpa menunggu dia mengatakan itu, aku sudah menutup mataku. Kecepatan kendaraan itu tidak lagi membuat aku takut. D
~Galang~ Dibandingkan dengan anak-anak Mala, Fay memang lebih akrab dengan kedua anak Nidya. Mungkin karena dia dekat dengan ibu mereka, jadi Ezio dan Athena juga suka berada di sisinya. Bahkan kue yang secara simbolis diberikan kepada keluarga terlebih dahulu, diberikan untuk istriku. Sebelum kami menikah, aku sering menemani dia datang ke acara di rumah Nidya. Mulai dari acara ulang tahun, syukuran, atau kunjungan duka karena ada yang sakit atau meninggal. Namun kedua anak itu tetap lebih suka bersama Fay daripada aku. “Om adalah suami Tante Yola, ya?” tanya Athena yang berdiri di dekatku. Dia mengamati tubuhku baik-baik. “Apa Om baik kepada Tante Yola?” “Tante Yola mau menikah dengan Om, tentu saja karena Om baik,” jawabku. Dia mengangguk pelan. “Benar juga. Kalau Om baik, aku juga mau berteman dengan Om.” Dia pun mengulurkan tangan kecilnya kepadaku. Aku menerimanya. “Kita teman.” “Memangnya kamu masih ingat nama Om?” tanyaku, menguji memorinya. “Ingat, dong. Om Galang. Yang
Aku tidak siap dengan benturan itu sehingga terpukul mundur, tersandung kakiku sendiri, dan terduduk di lantai. Bokongku jatuh pada posisi yang salah sehingga terasa sakit. Aku sengaja tidak menggunakan tangan untuk menahan tubuhku agar tidak patah. Sial. Kalau aku tidak terkejut, aku akan jatuh tanpa melukai diri sendiri. Seseorang memekik melihat darah, barulah aku merasakannya. Cairan merah pekat itu menetes dari lubang hidungku. Seorang pelayan datang dan memberikan sebuah handuk bersih kepadaku. “Pak, tolong, jangan buat keributan di sini.” Aku mengangkat kepala dan melihat seorang petugas keamanan berdiri di depanku, melindungi aku. Aku melihat ke sekitarku. Beberapa penghuni yang berniat untuk olahraga, berenang, atau pergi ke sekolah dan tempat kerja mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Sial. Aku hanya mau kembali ke kamarku, lagi-lagi ada drama tidak penting. “Minggir! Pria berengsek itu sudah menggoda istriku! Minggir atau mukamu akan aku hajar juga!” ancam Doddy dengan
Aku harus memegang tangannya agar dia tidak segera berlari ke kamar tidurnya. Dia memberontak ingin lepas, tetapi tidak aku izinkan. Sudah malam, waktunya bersantai. Bukan melelahkan badan yang sudah penat dengan urusan rumah. “Galang! Kamu ini ada apa? Merusak suasana saja!” Dia memukul dadaku, tetapi aku hanya tertawa. “Kita bisa melakukannya besok atau akhir pekan. Sudah, kamu duduk tenang saja. Kita selesaikan filmnya lalu beristirahat.” Aku tidak melepaskan pelukanku sampai aku yakin dia menuruti aku. “Baiklah. Baik.” Dia akhirnya mengalah. Aku tersenyum penuh kemenangan, lalu melepaskan pelukanku. “Bagaimana keadaan di tempat kerja hari ini? Aku lihat sudah dua hari tidak ada demonstran lagi.” “Semuanya lancar dan baik-baik saja,” jawabnya dengan nada senang. Aku mengerutkan kening mendengarnya. Dia tidak menyukai manajer barunya. Bagaimana dia bisa berkata bahwa segalanya lancar di tempat kerjanya? Namun wajah bahagianya itu tidak dibuat-buat, jadi aku tidak bertanya atau
~Fayola~ Aku semula tidak mau peduli dengan pengaduan Doddy mengenai Galang menggoda istri tidak bergunanya itu. Namun melihat dia benar-benar marah sampai memukul sahabat baikku, maka ini bukan tuduhan main-main. Doddy selalu menjaga sikap demi reputasi keluarganya. Setelah Galang pergi ke kantornya, aku bergegas menuju halte. Ojek daring yang aku pesan pun datang, dan mengantar aku kembali ke gedung apartemen. Para petugas keamanan tidak akan usil memberi tahu Galang mengenai kepulanganku. Jadi, aku tidak takut ketahuan. Tempat yang aku tuju cukup mudah ditemukan. Pria yang bertugas juga sangat ramah kepadaku. Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk menyampaikan maksudku, karena merasa segan. Namun aku harus melakukan ini atau penasaran selamanya. “Oh. Ibu meminta hal yang sama seperti permintaan Pak Galang, suami Anda,” katanya dengan ramah. Dia berjalan mendekati sebuah meja dengan komputer di atasnya. “Silakan, Bu.” Aku mendekat dan melihat layar besar di depan kami. Melihat p