Pukul empat subuh aku terbangun, ibu dan anakku masih tertidur pulas. Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyelesaikan semua rutinitas mandiku.
Aku menggelar sejadah dan menunaikan sholat subuh, lalu aku segera memasukan pakaian seragamku ke dalam tas. Waktu masih menunjukkan pukul 4.30, aku membangunkan ibuku dan berbisik jika aku akan segera pergi bekerja. Dengan restu ibu kulangkahkan kaki ini dengan sebelumnya mencium kening anak semata wayangku.Aku tiba digedung kantor, rupanya satpam lebih dulu membuka pintu gerbang sehingga dengan mudahnya aku masuk ke gedung bertingkat yang megah itu. Tidak terlalu sulit untuk masuk ke dalam gedung karena aku sudah memiliki kartu tanda pengenal. Aku segera menuju ke ruang ganti, ternyata disana sudah ada Faijah dengan pakaian seragam yang rapi. "Dah lama ?" tanyaku pada Faijah."Baru saja, ayo buruan sebelum pimpinan kita tiba," jawabnya. Mendengar itu aku buru-buru mengganti pakaian kerjaku. Kutatap sejenak wajahku di cermin, rupanya aku kelihatan sedikit pucat karena tak memakai riasan apapun kecuali bedak bayi. Semua terlihat sangat natural. Saat pakaianku sudah rapi, aku lalu bergegas keluar mengambil beberapa peralatan kebersihan.Ini adalah hari pertama kami bekerja, jadi kami bekerja semaksimal mungkin agar tidak mengecewakan.Sejam kemudian lantai satu bersih dan rapi, lantainya mengkilap bagaikan air yang tak beriak. Satu persatu para karyawan mulai berdatangan, kami bertiga berdiri diujung ruangan, memperhatikan karyawan satu persatu. Mereka datang dengan pakaian yang sangat rapi, wanitanya terlihat cantik dan para pria terlihat tampan. Aku sedikit menelan ludah, membayangkan bagaimana jika saat ini aku berada di posisi mereka. Tentunya sangat bahagia, masa depan terjamin dan penampilan diperhitungkan. Hehe...aku membuang jauh-jauh pikiran ini, mana mungkin tamatan sekolah menengah bisa menyamai mereka yang sarjana. Mimpi kali yeee... Aku tersenyum membayangkan kekonyolanku."Hei, jangan bengong. Hari ini pemilik baru perusahaan akan tiba, ayo kita bersihkan kembali lantainya," Faijah menepuk pundakku. Kami kembali bergegas membersihkan bekas tapak sepatu para karyawan yang tercetak dengan jelas di lantai marmer yang berwarna putih keemasan.Ternyata bertugas membersihkan kantor tidak terlalu memberatkan. Setiap saat hanya memantau lantai jangan sampai ada yang kotor, dan sorenya merapikan meja kerja para karyawan."Mita kau bersihkan ruang personalia, aku di bagian sini saja." Bukan hendak memerintah, Faijah hanya ingin melihat pemimpin perusahaan yang katanya tampan itu, sehingga dia memintaku untuk membersihkan tempat yang lain. Aku hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat ulah Faijah. Dilihat sepintas temanku itu cantik, cuman kulitnya sedikit gelap. Sedangkan aku berkulit putih bersih dan cantik bagaikan seorang puteri raja, kata orang bukan kataku. Tak mungkin bagiku untuk menilai diri sendiri. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun sampai aku tak mendengar jika Faijah masuk dengan setengah berlari sambil berteriak."Aduh Mita, kau tak lihat betapa tampannya bos baru perusahaan ini, wangi tubuhnya masih melekat di hidungku ini" Faijah menghirup dengan dalam menggambarkan seakan-akan dia mendalami peran mencium dari dekat aroma bos baru."Ah kau ini ada-ada saja, orang yang seperti kita palingan hanya bisa mengagumi dari jauh, mana ada bos yang mau sama cleaning service," cibirku."Iya, kau benar. Aku penasaran seperti apa isterinya, apa dia cantik ?" Faijah mengangkat matanya ke atas membayangkan wajah isteri bos."Jika laki-laki tampan, isterinya pasti cantik kecuali jika dijodohin sama yang jelek, eh..tapi kau itu sangat cantik Mita, coba sini lebih dekat kearahku." Faijah mengamatiku dengan seksama, ia lama memperhatikan diriku dari ujung kaki sampai kepala."Dipoles sedikit saja kau bagaikan cinderela."Aku hanya tertawa mendengarkan celotehan teman baruku ini. Tak berapa lama Reza teman kami yang bertugas membersihkan seluruh kaca di lantai satu masuk bergabung dengan kami."Seru sekali kalian, ada apa ?" tanya Reza lalu duduk di sampingku."Gak ada apa-apa," jawabku sambil tertawa."Bos baru kita gagah kan ? aku bilang ke Mita, dia tak percaya," Faijah memonyongkan mulutnya ke arahku."Bukan tak percaya kok Ijah, yang namanya bos sudah pasti tampan, hanya saja tak ada untungnya bagi kita membicarakannya, kita kan bagaikan langit dan bumi, udah ah, kalian sudah pada sarapan belum ? ayo kita ke kantin," ajakku.Kedua rekan kerjaku akhirnya setuju dengan ajakanku. Setelah menaruh peralatan kebersihan pada tempatnya, kami bertiga menuju kantin di sebelah gedung kantor.Bukan hanya kami yang ke kantin pagi ini, terlihat juga beberapa karyawan lain sedang duduk menunggu pesanannya datang.Kami yang tahu diri sengaja mengambil tempat yang paling pojok agar tidak dekat dengan para karyawan yang berpakaian rapi dan anggun.Kami bertiga hanya memesan teh dan sepotong roti sesuai kemampuan. Saat pesanan kami tiba, terdengar pembicaraan beberapa karyawan cantik yang sedang duduk di hapan kami."Bos baru kita itu jarang senyum loh, menurut kabar dia pekerja keras. Dulunya dia bukan siapa-siapa lalu setelah dijodohkan dengan anak seorang konglomerat yang wajahnya tidak terlalu cantik itu, kemudian hidupnya berubah seratus persen," kata karyawan yang berkulit sawo matang rambut lurus sebahu yang berada di sebelah kiri."Istri bos itu namanya Alisha, aku sudah pernah melihatnya. Dia wanita yang sombong yang pernah ku kenal, cemburuan. Karyawan yang cantik dilarang dekat-dekat dengan bos. Tak bisa kubayangkan bagaimana menderitanya bos kita yang tak pernah sedikitpun melirik wanita cantik...hehehe," wanita cantik yang berada di tengah terlihat cengengesan.Aku dan Faijah hanya saling pandang dan mengangkat kedua alis lalu meminum teh pesanan kami.Karyawan wanita yang sedang duduk di hadapan kami berjumlah tiga orang. Yang diujung kanan sangat cantik, dia terlihat tidak begitu perduli dengan ocehan kedua temannya."Rena, kok kau diam saja, atau diam-diam kau membayangkan bos kita yang tampan itu ? ayo ngaku..." celetuk gadis yang berada di tengah.Gadis yang bernama Rena hanya tersenyum tipis, lalu memilih menghabiskan sarapan paginya.Reza berdiri dan membayar semua minuman kami."Tumben kamu yang bayar, " senggol Faijah."Mumpung aku lagi punya uang, besok besok kalian yang bayar makananku...hehehe" jawab Reza.Kemudian kami bertiga segera keluar dari kantin itu dengan tatapan tidak suka tiga wanita cantik yang tadi sedang bergosip."Eh..ngomong-ngomong kita belum saling kenal lebih jauh. Aku single dan belum punya pacar," Reza mulai memperkenalkan dirinya.Kulirik Faijah yang sedang mengunyah permen karet. Aku menyenggolnya."Aku sama, belum punya pacar, dan kau Mita ?" Aku gelagapan dan diam saja sambil terus berjalan menuju ruangan yang tersedia khusus bagi cleaning service.Saat aku mulai meraih peralatan kebersihan Faijah menanyaiku perihal status."Kok kamu tidak memperkenalkan dirimu sih, kau pasti sudah punya pacar kan ? gadis cantik sepertimu pasti sudah punya." "Yah, aku sudah punya seorang anak," jawabku seadanya."Apa ?" Reza dan Faijah terkejut."Kenapa, kalian tidak percaya ? anakku kini berusia lima tahun dan sekarang dia terbaring di rumah sakit." Reza dan Faijah saling memandang seakan tidak percaya. Suasana hening, semua sedang sibuk dengan jalan pikirannya masing-masing."Dimana suamimu ?" tanya Faijah penasaran. "Minggat," Jawabku singkat.Tak terdengar lagi suara Faijah, dia dan Reza mengambil sapu lalu bergegas keluar.Aku menarik nafas dalam, mungkin aku sudah salah menjawab pertanyaan Faijah. Tapi aku menjawab apa adanya. Suamiku meninggalkanku demi mengejar karirnya. Aku bahkan tak pernah mendengar kabarnya sama sekali.Saat aku harus berjuang melahirkan buah hati kami, suamiku tak terlihat. Dan kemudian di saat anakku berusia lima bulan, datanglah seorang pengacara meminta tanda tangan persetujuan cerai dariku. Hati ini terlalu sakit, dia bahkan tak pernah melihat wajah Tisa yang begitu mirip dengan dirinya. Kuhempaskan nafasku dengan kuat, lalu bergegas keluar. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun, kubuang semua kenangan indah tentang suamiku. Bagiku, dia sudah mati. Sekarang aku harus berjuang untuk menghidupi anakku sendiri. Apapun akan aku lakukan untuk kesembuhan dan masa depannya. Dialah hartaku satu-satunya selain ibu.Derap langkah sepatu hels menggema di lantai satu. Kuangkat wajahku, nampak seorang wanita dengan pakaian elegan berkulit sawo matang melangkah di dampingi dua orang pengawal. Aku sudah bisa menduga jika wanita ini pasti isteri bos. Dari gayanya yang terlihat sangat arogan sudah menunjukkan jika dialah wanita yang menjadi obrolan karyawan di kantin pagi tadi. Sebisa mungkin
Azhar POVPerusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter."Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.
Mita POVSetelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang."Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit."Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali."Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus."Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya. Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan. Setelah melewati beberapa
Hari ini Tisa sudah diizinkan menjalani rawat jalan, pagi-pagi aku menyempatkan diri ke kantor walau aku sudah mengetahui jika pemilik perusahaan tempatku bekerja adalah ayah Tisa. Aku tetap berusaha untuk bersikap profesional, kukesampingkan semua kebencian yang terpendam lama di dalam dada ini.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku meminta izin pulang dan tak balik lagi ke kantor, setelah membayar semua biaya perawatan anakku, kami bertiga tak pulang ke desa tetapi memilih ke rumah kakek dan nenek di desa durian. Dengan jarak tempuh empat puluh kilo dari rumah sakit memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.Untunglah ibu tidak bertanya kenapa aku ingin membawa Mita ke rumah nenek, sehingga aku bisa bernafas lega. Aku melakukannya karena ingin menyembunyikan anakku. Aku yakin seratus persen Azhar pasti akan mencari keberadaan kami.Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Semua beban yang menghimpit dipundak seakan terbang seiring dengan bunyi jengkerik yang bersahutan dan udara pada ma
Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya. "Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, a
Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang."Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku."Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus. Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum."Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini
Azhar POVAku menunggu kedatangan Erwin dengan gelisah. Katanya dia pergi mengantar pelayan itu ke rumahnya. Katanya itu bukan Mita. Tapi aku tak percaya, Erwin memang suka mengerjaiku. Persahabatan kami walau terbilang singkat tapi kami sudah saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.Menurut Erwin dia dalam perjalanan pulang dari desa Durian. Aku pernah ingat jika Mita pernah bercerita padaku jika kakek dan neneknya tinggal di desa Durian. Aku semakin yakin yang diantarnya adalah Mita.Melihat lengannya tadi yang melepuh membuat hati ini teriris. Bagaimana mungkin dia berada begitu dekatnya denganku namun aku tidak mengenalinya. Apakah karena dosaku padanya sampai aku tak bisa merasakan kehadirannya ?Aku berdiri di jendela, kulihat mobil Erwin memasuki halaman gedung. Aku segera duduk di kursi kebesaranku. Aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan asistenku itu. Selang beberapa saat, Erwin masuk ke ruanganku dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat
Aku menatap cek kosong di tanganku, menurut Erwin, aku bisa menuliskan angka nominal satu milyar. Aku berpikir untuk membeli hunian di kota yang dekat dengan sekolah, aku ingin menjadi guru honorer, walau tak di gaji tapi setidaknya aku bisa memasukkan Tisa di sekolah itu. Pagi ini aku ke bank hendak mencairkan cek yang diberikan Erwin. Tak mungkin bagiku untuk membawa uang tunai yang cukup banyak, sehingga aku membuka tabungan dan mentransfer uangnya ke buku tabungan milikku. Aku hanya mengambil uang tunai lima puluh juta untuk keperluanku.Terpikir olehku untuk membeli ponsel baru untukku dan ibuku. Aku membeli ponsel android agar bisa menyimpan fotoku dan Tisa di dalam ponsel.Saat aku keluar dari mall, seseorang menyodorkan selebaran."Dilihat-lihat dulu mbak, perumahan yang cukup indah dan nyaman untuk di tinggali."Akhirnya aku berhenti dan menerima selebaran itu, aku lalu di tuntun ke konter tempat menawarkan hunian minimalis.Aku mengamati market hunian di dalam sebuah kaca,