"Anak ibu menderita penyakit Thalasemia."
Bagai disambar petir aku mendengar ucapan dokter yang terasa asing di telingaku. Aku yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas ini tentunya sedikit bingung dengan penyakit yang namanya Thalasemia."Ba..bagaimana itu bisa terjadi dok, dan itu penyakit apa?" tanyaku dengan bingung.Aku melarikan anakku Tisa yang kini berusia lima tahun ke rumah sakit, karena dia tiba-tiba sesak nafas saat bermain dengan teman seusianya di halaman rumahku."Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetik yang memengaruhi produksi sel darah merah."Penjelasan Dr. Rian malah semakin membuatku kebingungan, penyakit genetik artinya penyakit keturunan. Apakah ada keluargaku yang menderita penyakit ini ? ataukah menurun dari mantan suamiku?"Lalu apa solusinya dok, aku harus bagaimana?" rasanya aku tak tega melihat anakku terbujur pucat di ruang perawatan kelas dua berbaur dengan dua pasien lain, dan tangan mungilnya terpasang selang infus."Penyakit ini memerlukan perawatan seumur hidup, dia perlu menjalani transfusi darah berulang untuk menambah sel darah yang kurang," masih dengan sabar Dr. Rian memberi penjelasan pada wanita cantik di depannya ini.Seumur hidup ? oh Tuhan, apa yang harus kulakukan ? aku yang hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah taman kanak-kanak di desaku, penghasilanku hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari hari, itupun aku harus berhutang kiri kanan pada tetangga, untuk mengurangi beban hidupku jika gaji bulananku terlambat."Baiklah dok, tolong selamatkan anakku, aku akan mengupayakan semua biayanya."Rian menatapku seakan tak percaya, mungkin melihat penampilanku bagaikan gembel membuatnya ragu. Aku bahkan tak punya ponsel, pakaian yang kukenakan terlihat sangat lusuh."Tolong tanda tangani formulir ini, kami akan melakukan sebisanya untuk menolong Tisa, kalau boleh tahu dimana ayahnya?"Dr. Rian menyodorkan sebuah formulir yang harus kuisi dan pertanyaannya membuatku dadaku semakin terasa sesak."Aku adalah ibu sekaligus ayahnya dok," jawabku seadanya. Toh memang seperti itu kenyataannya. Aku ditinggal pergi suamiku ketika usia kandunganku tujuh bulan. Dan kami resmi bercerai ketika Tisa berusia lima bulan.Kutatap dokter Rian yang cukup tampan ini memandangku dengan seksama, entah dia sedang mencerna kebenaran dari perkataannku atau tidak. Aku lalu menandatangani formulir dan tidak mencantumkan nama Azhar ayah Tisa.Lalu seorang perawat datang menghampiriku dengan membawa selembar kertas yang bertuliskan angka-angka, membuat seluruh ruangan terasa berputar. Aku meraih lebaran itu dan mengangguk."Beri aku waktu beberapa hari untuk melunasi biaya rumah sakit ini, aku janji akan melunasinya"Kulihat perawat akan melakukan protesnya, namun dokter segera menyuruhnya pergi."Beri waktu pada ibu Mita Ariendy, aku nanti yang akan memberikan jaminannya."Aku seakan tak percaya mendengar ucapan Dr. Rian, ternyata di dunia ini masih ada orang baik yang bersedia menolongku. Aku melirik perawat yang segera melangkahkan kakinya pergi dan kemudian aku menatap Dr. Rian."Terima kasih dok, aku janji akan membayarnya. Boleh aku pinjam ponselnya dok ? aku mau menelpon ibuku."Dr. Rian menyodorkan ponselnya, matanya tajam menatapku. Mungkin dia berpikir, hari gini masih ada orang yang tak punya ponsel, atau dia berpikir aku adalah pembohong. Perawat yang sedang bersamanya mencatat rekam medis terlihat mencibirku. Namun aku tak perduli.Aku lalu menelpon kepala sekolah yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tuaku. Aku di desa hanya tinggal berdua dengan ibuku, ayahku sudah lama meninggal dunia sebelum aku menikah dengan Azhar ayah Tisa."Halo pak, ini Mita. Aku boleh minta tolong titip pesan untuk ibuku pak?""Oh ibu Mita ada apa ? bagaimana dengan kondisi anakmu?" tanya Pak Sasmita kepala sekolah Taman Kanak-Kanak dari seberang telepon."Alhamdulillah sudah ditangani dokter pak, aku titip pesan untuk ibuku agar secepatnya ke rumah sakit, soalnya aku harus pergi kerja pak.""Syukurlah, jangan mengajar dulu, temanilah anakmu, nanti aku akan sampaikan pesan pada ibumu.""Baiklah pak, terima kasih."Aku menutup telepon dan menyerahkannya kembali pada pemiliknya."Terima kasih banyak dok, aku menunggu ibuku setelah itu aku akan pergi mengupayakan biaya rumah sakit."Dr. Rian mengangguk, dan tanpa banyak bicara dia lalu keluar dari ruang perawatan dengan sebelumnya melakukan pemeriksaan pada pasien di sebelah ranjang anakku.Beberapa saat kemudian ibuku datang dengan tergopoh-gopoh, membawa makanan dan pakaian Tisa. Kutatap wajah ibuku yang semakin tua, aku tak sanggup membebaninya dengan vonis dokter tentang penyakit anakku. Biarlah aku sendiri yang akan menanggungnya. Syukurlah almarhum ayahku seorang pensiunan guru sehingga gajinya masih bisa mencukupi kebutuhan ibuku.Setelah makan ala kadarnya, aku menitipkan anakku untuk dijaga ibuku."Aku pergi kerja dulu ya bu, titip Tisa, aku takkan lama."Ibuku tak bertanya, dipikirnya aku akan pergi mengajar, padahal dia tak tahu jika aku berusaha mencari kerja sampingan untuk biaya rumah sakit. Kubuka dompetku, masih ada sekitar lima ratusan. Lalu terpikir olehku untuk membeli ponsel bekas yang harganya dua ratusan. Aku yakin pasti ada, kondisi sekarang ini harus punya alat komunikasi, jika tidak bagaimana aku bisa tahu kondisi anakku?Walau ponselnya sedikit kusam tapi masih bisa dipakai untuk menelpon. Aku memasukkan nomor ponsel orang tua pasien yang ada di sebelah ranjang anakku. Aku bisa sewaktu-waktu mengetahui kondisi anakku melalui mereka. Saat petugas konter sedang membantu memasukkan kartu sim ke dalam ponsel bekas yang kubeli, kuluangkan waktu membaca koran yang ada di konter itu.Tak sengaja kulihat sebuah iklan lowongan pekerjaan sebagai cleaning service di sebuah perusahaan di kota. Aku segera mencatat alamatnya, jika gajinya lumayan besar dibanding honor mengajarku, maka aku akan memilih menjadi cleaning service saja.Setelah petugas konter menyerahkan ponsel itu padaku, aku segera bergegas ke tempat foto copy di sebelah konter. Disana aku mengetik sebuah surat lamaran ke PT. Citra Karya, dan tak lupa aku melampirkan foto copy Ijazah yang setiap saat selalu kubawa di dalam tasku.Untunglah foto copy ijazah belum aku keluarkan dalam tasku sehingga aku bisa dengan cepat mengajukan lamaran pada perusahaan itu.Aku dipersilahkan masuk menemui bagian Personalia dan tanpa banyak tanya, aku langsung diterima bekerja sebagai celaning service dengan gaji percobaan tiga juta perbulan. Aku senang mendengarnya, gaji honorku hanya sejuta perbulan, jadi aku harus memilih pekerjaan ini. Mungkin perusahaan ini memang sedang membutuhkan karyawan atau mungkin ini faktor keberuntungan bagiku. Hari itu mereka memberikan tiga pasang baju seragam padaku.Gedung perusahaan ini berada di tengah kota, bangunannya sangat besar tujuh lantai. Ruang Personalia yang berada di lantai bawah saja sangat luas apalagi ruang direktur yang katanya masih muda dan tampan.Aku naik ke lantai dua menemui petugas yang nantinya akan mengarahkan apa saja pekerjaanku. Setelah bertemu aku diperkenalkan dengan beberapa cleaning service. Sebut saja karyawan, terlalu rendah jika harus menyebutkan profesinya.Aku ditugaskan membersihkan lantai satu bersama dua karyawan lain, dua wanita dan satu laki-laki. Aku dan Faijah dan seorang lagi bernama Reza. Dua orang temanku ini rupanya baru diterima dihari yang sama denganku. Mungkin karena karyawan baru jadi kami langsung akrab.Aku mulai berpikir untuk meminjam uang dikoperasi di desa untuk membayar biaya rumah sakit dan akan mencicilnya setiap bulan. Dan jika anakku sembuh aku akan tinggal di kos bersama Faijah dan akan kembali ke desa setiap hari jum'at. Toh desa dengan kota bisa ditempuh dengan naik angkot selama satu jam perjalanan. Jika memungkinkan aku akan pergi pulang saja.Aku tiba di rumah sakit dan menceritakan kepada ibuku jika aku akan berhenti sebagai pegawai honorer dan menjadi karyawan di perusahaan. Aku sengaja tidak menceritakan profesi yang kujalani takutnya ibu tidak setuju."Jika itu menurutmu lebih baik jalanilah, Tisa biar ibu saja yang jaga.""Terima kasih bu, besok pagi aku sudah harus bekerja, aku ke desa dulu ya bu untuk mengurus beberapa hal penting. Sekalian aku akan bawakan makan malam, mulai besok ibu makan di kantin depan rumah sakit saja.""Jangan pikirkan ibu nak, ibu masih punya cukup uang untuk makan sehari-hari. Pergilah."Tak lupa kucium tangan keriput ibuku. Padahal usia ibuku masih terbilang muda. Lima puluh tahun belum tergolong wanita tua. Mungkin karena beban hidup membuatnya terlihat sangat tua dan keriput.Aku sangat iba padanya, tapi apa boleh buat, aku anak satu-satunya tak bisa membantu meringankan bebannya. Siang ini aku mendapatkan pinjaman dua puluh juta. Lumayanlah untuk biaya rumah sakit. Setelah mendapatkan uang itu aku balik ke rumah memasak untuk makan malam aku dan ibu di rumah sakit.Aku sudah menyiapkan surat pengunduran diriku di sekolah, tekadku sudah bulat untuk beralih tugas. Toh semua pekerjaan itu halal, walau aku akan sedikit bekerja lebih berat di banding mengajar anak-anak.Aku sudah merapikan rumah dan memasukan beberapa pakaian ke dalam tas. Tak lupa pula aku membawa makan malam ke rumah sakit. Setelah mengunci pintu rumah aku kembali ke rumah sakit dengan menaiki mobil angkot.Saat aku tiba di rumah sakit, aku berpapasan dengan Dr. Rian yang hendak pulang."Sore dok" sapaku."Sore, anakmu sudah siuman."Tanpa kutanya, dokter memberikan penjelasan padaku yang membuatku sedikit lega."Terima kasih dok, kapan transfusi darahnya dok ? aku akan melunasi biaya rumah sakit sekarang."Rian menatapku sesaat lalu berkata, "Sekarang sudah terpasang," ujarnya lalu bergegas menuju parkiran.Aku bernafas lega, kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju ruang perawatan. Aku melewati dua ranjang pasien lain dan menyapa mereka lalu menghampiri anakku, terlihat Tisa sedang berbincang dengan ibu, dan tangan kirinya terpasang selang transfusi darah. Hatiku terasa ngilu melihatnya.Pukul empat subuh aku terbangun, ibu dan anakku masih tertidur pulas. Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyelesaikan semua rutinitas mandiku. Aku menggelar sejadah dan menunaikan sholat subuh, lalu aku segera memasukan pakaian seragamku ke dalam tas. Waktu masih menunjukkan pukul 4.30, aku membangunkan ibuku dan berbisik jika aku akan segera pergi bekerja. Dengan restu ibu kulangkahkan kaki ini dengan sebelumnya mencium kening anak semata wayangku.Aku tiba digedung kantor, rupanya satpam lebih dulu membuka pintu gerbang sehingga dengan mudahnya aku masuk ke gedung bertingkat yang megah itu. Tidak terlalu sulit untuk masuk ke dalam gedung karena aku sudah memiliki kartu tanda pengenal. Aku segera menuju ke ruang ganti, ternyata disana sudah ada Faijah dengan pakaian seragam yang rapi. "Dah lama ?" tanyaku pada Faijah."Baru saja, ayo buruan sebelum pimpinan kita tiba," jawabnya. Mendengar itu aku buru-buru mengganti pakaian kerjaku. Kutatap sejenak wajahku di cermin, rupan
Saat aku harus berjuang melahirkan buah hati kami, suamiku tak terlihat. Dan kemudian di saat anakku berusia lima bulan, datanglah seorang pengacara meminta tanda tangan persetujuan cerai dariku. Hati ini terlalu sakit, dia bahkan tak pernah melihat wajah Tisa yang begitu mirip dengan dirinya. Kuhempaskan nafasku dengan kuat, lalu bergegas keluar. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun, kubuang semua kenangan indah tentang suamiku. Bagiku, dia sudah mati. Sekarang aku harus berjuang untuk menghidupi anakku sendiri. Apapun akan aku lakukan untuk kesembuhan dan masa depannya. Dialah hartaku satu-satunya selain ibu.Derap langkah sepatu hels menggema di lantai satu. Kuangkat wajahku, nampak seorang wanita dengan pakaian elegan berkulit sawo matang melangkah di dampingi dua orang pengawal. Aku sudah bisa menduga jika wanita ini pasti isteri bos. Dari gayanya yang terlihat sangat arogan sudah menunjukkan jika dialah wanita yang menjadi obrolan karyawan di kantin pagi tadi. Sebisa mungkin
Azhar POVPerusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter."Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.
Mita POVSetelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang."Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit."Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali."Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus."Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya. Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan. Setelah melewati beberapa
Hari ini Tisa sudah diizinkan menjalani rawat jalan, pagi-pagi aku menyempatkan diri ke kantor walau aku sudah mengetahui jika pemilik perusahaan tempatku bekerja adalah ayah Tisa. Aku tetap berusaha untuk bersikap profesional, kukesampingkan semua kebencian yang terpendam lama di dalam dada ini.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku meminta izin pulang dan tak balik lagi ke kantor, setelah membayar semua biaya perawatan anakku, kami bertiga tak pulang ke desa tetapi memilih ke rumah kakek dan nenek di desa durian. Dengan jarak tempuh empat puluh kilo dari rumah sakit memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.Untunglah ibu tidak bertanya kenapa aku ingin membawa Mita ke rumah nenek, sehingga aku bisa bernafas lega. Aku melakukannya karena ingin menyembunyikan anakku. Aku yakin seratus persen Azhar pasti akan mencari keberadaan kami.Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Semua beban yang menghimpit dipundak seakan terbang seiring dengan bunyi jengkerik yang bersahutan dan udara pada ma
Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya. "Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, a
Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang."Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku."Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus. Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum."Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini
Azhar POVAku menunggu kedatangan Erwin dengan gelisah. Katanya dia pergi mengantar pelayan itu ke rumahnya. Katanya itu bukan Mita. Tapi aku tak percaya, Erwin memang suka mengerjaiku. Persahabatan kami walau terbilang singkat tapi kami sudah saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.Menurut Erwin dia dalam perjalanan pulang dari desa Durian. Aku pernah ingat jika Mita pernah bercerita padaku jika kakek dan neneknya tinggal di desa Durian. Aku semakin yakin yang diantarnya adalah Mita.Melihat lengannya tadi yang melepuh membuat hati ini teriris. Bagaimana mungkin dia berada begitu dekatnya denganku namun aku tidak mengenalinya. Apakah karena dosaku padanya sampai aku tak bisa merasakan kehadirannya ?Aku berdiri di jendela, kulihat mobil Erwin memasuki halaman gedung. Aku segera duduk di kursi kebesaranku. Aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan asistenku itu. Selang beberapa saat, Erwin masuk ke ruanganku dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat