"Oh, pasti Bapak bercanda. Harusnya saya jadi pelayan, atau kacung di rumah Bapak. Begitu kan?" wajah Nur masih datar. Dia tidak se-percaya diri itu diberi pekerjaan untuk jadi istri kedua dari pria yang tinggi, tampan dan terlihat kaya raya.
Bryan menatap Nur seperti ingin menusuk. Apa wajahnya terlihat seperti bercanda?
"Pak?" Nur kembali memperjelas.
Tidak menjawab, Bryan meminta Arya untuk membereskan berkasnya. Kemudian dia berdiri, memberi kode kepada Nur untuk mengikuti. "Kita lanjutkan pembicaraanya di rumah."
Petugas Lapas muncul di sebelah Bryan dan menunduk ketika melihat Bryan keluar ruangan. "Sudah selesai Pak? Jadi sepupu Bapak kapan mau PKL di sini?" lelaki bernama Irawan bertanya dengan hormat kepada Bryan dan Nur.
"PKL?" Nur tidak dapat menahan bibirnya untuk bertanya.
"Iya, Pak Bryan datang ke sini karena menemani Kak Nur untuk survey tempat PKL kan? Beruntung banget punya sepupu seperti Pak Bryan."
Nur menatap Bryan yang masih memasang wajah tenang tak terbaca. Kali ini bolehkah Nur marah pada Bryan?
"Biar asisten saya cek dulu Pak, kalau jadi nanti diinfokan lagi ya. Terima kasih sudah boleh berkunjung, kami pamit dulu."
"Siap, Pak! Dengan senang hati."
Di dalam mobil Hummer yang membelah jalan kota, Nur terdiam di sebelah Arya yang fokus menyetir. Sedangkan Bryan sendiri duduk di kursi belakang, sibuk mengecek tab pekerjaan tanpa peduli pada diamnya Nur.
Untuk kali ini, Nur merasa tertipu oleh buaya. Pantas Nur diminta berganti pakaian terlebih dahulu, agar dia tidak dicurigai ketika diakui sebagai sepupu Bryan. Yang harus digarisbawahi, sejak awal Bryan membawa Nur ke Lapas memang bukan untuk menjebloskan, melainkan untuk mengintimidasi Nur agar menandatangani surat perjanjian yang tidak masuk akal.
"Mau minum Nur?" Arya bertanya pada Nur yang terus diam sejak 2 jam lalu. Perjalanan mereka masih setengah jam lagi sebelum sampai tujuan.
Nur menggeleng. "Enggak, Pak."
Tidak tahu ini dimana, tapi berupa dataran tinggi. Sudah beda kota lagi dengan pelabuhan tempat mereka tiba tadi pagi.
Mobil memasuki portal besar dengan beberapa penjaga, berjalan melewati jalur berkelok-kelok tanpa rumah sama sekali, hanya dikelilingi pohon dan tebing khas dataran tinggi. Barulah di ujung atas ada beberapa rumah mewah dengan jarak agak berjauhan yang ditandai dengan cahaya lampu.
Tanpa bicara, Nur mengikuti Bryan masuk ke dalam sebuah rumah yang dijaga oleh 2 security. Bangunannya berupa villa yang tidak terlalu luas, namun berbentuk minimalis tropis seperti di tepi pantai. Arya memilih duduk di dalam pos, menyesap kopi hitam yang sudah dibuatkan oleh Ibu Penjaga villa ketika mendapat info bahwa Bapak Bryan akan datang.
Masuk ke dalam pintu utama, disambut sofa ruang tamu dan ruang makan mungil dengan empat kursi di area terbuka tanpa tembok, sedangkan dihadapan ruangan itu ada halaman untuk barbeque, kolam renang, dan jurang?
Bryan mengambil posisi duduk di sofa, memperhatikan Nur yang terlihat takjub pada villa miliknya.
Baru kali ini Nur melihat rumah yang begitu nyaman. Apa dia akan tinggal di sini?
"Nursyila Shanum..." Bryan menyebutkan nama lengkap Nur. Gadis ini memiliki nama yang begitu indah dan kekinian, tapi kenapa nama panggilannya malah Nur?
Nur berdiri tepat di hadapan Bryan, menatap tajam tanpa menyahut panggilan Bryan.
"Saya serius tentang pekerjaan kamu."
Berusaha menahan tangis, Nur hanya bisa mempertanyakan keputusan Bryan. "Kenapa Pak?"
"Istri saya nggak bisa hamil karena melakukan operasi angkat rahim. Jadi saya perlu seseorang untuk menggantikan dia, dalam hal memiliki anak." Bryan mulai mengganti kalimatnya menjadi lebih santai.
Perkataan Bryan memang sama dengan yang Nur dengar dari dalam kamar tertutup saat di kapal. Diana sudah operasi angkat rahim, dia tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang keluarga Bryan harapkan. Sebegitu pentingkah seorang anak bagi orang kaya?
Kaki Nur gemetar, membuatnya duduk bersimpuh di hadapan Bryan. "Kalau Bapak begitu cinta sama istri Bapak... Aw!" pekik Nur ketika kedua lengannya tiba-tiba dicengkram oleh Bryan.
"Ini bukan masalah saya cinta atau enggak sama istri saya. Tapi saya mau anak, darah daging saya sendiri, dan itu nggak bisa saya dapatkan dari Diana. Jadi saya akan cari perempuan lain untuk memiliki anak!" Sepasang mata indah Bryan merah menahan amarah.
Nur tidak paham, kenapa ketika mereka berdua saling berhadapan, Bryan terlihat begitu emosional. Seakan mereka adalah musuh bebuyutan di masa lalu. Padahal mereka hanyalah dua orang yang sebelumnya tidak saling kenal.
Melihat mata Bryan yang membius, sempat-sempatnya Nur berpikir alangkah betapa tampan jika dia memiliki anak dari lelaki ini.
"Tapi..." Bryan melanjutkan kembali kalimatnya.
Segera Nur memalingkan wajah, jantungnya yang tadi berdetak kencang kini sudah kembali normal.
"Itu semua tergantung hasil medical check up kamu. Kalau hasilnya ada yang nggak bagus, mungkin saya akan mempekerjakan kamu di hutan ini sebagai penjaga villa gantiin Bik Anih." Bryan tidak ingin membeli kucing dalam karung.
Ah iya, Nur pernah belajar jika seseorang mau mempersiapkan kehamilan, ada banyak tes yang harus dijalani. Nur cukup tenang. Mungkin kalau dia jadi penjaga villa, dia bisa mengajak Eyang untuk tinggal di sini.
"Oke, kalau aku jadi penjaga villa apa boleh ajak Eyang kerja di sini juga Pak?"
Bryan yang tadinya sudah melonggarkan pegangannya, kini kembali mencengkeram. Orang gila mana yang lebih memilih jadi penjaga villa daripada istri kedua seorang Bryan Al Ghifari?
"Sakit Pak..." Rintih Nur. Dia hanya bicara apa adanya dan mendapatkan rasa sakit lagi dari Bryan.
Pantas Diana lebih memilih kabur, batin Nur.
Setelah memastikan Nur tidak merintih lagi, Bryan melepaskan cengkramannya. Bryan berdiri dan memanggil Anih, kemudian memberikan banyak perintah yang berkaitan dengan Nur.
"Baik, siap Pak!" Anih begitu semangat mendapatkan mandat baru dari bos. Selama ini Anih hanya diberi tugas membersihkan villa yang dikunjungi setahun sekali. Meski dia sendiri agak bingung dengan identitas perempuan muda ini. Tak apalah, biar itu menjadi privacy Pak Bosnya. Yang penting Anih menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, yaitu menjaga Nur 24 jam nonstop sampai bos memberikan mandat selanjutnya.
Nur berdiri di sudut dekat pintu keluar, melihat Anih dengan gesit mengerjakan tugas dari Bryan. Dimulai dengan membersihkan kamar untuk Nur.
"Kamu di sini sampai saya beri tugas selanjutnya," ujar Bryan sambil berjalan mendekati Nur. Kemudian dia menundukkan tubuh dan berbicara tepat di telinga Nur. "Dan... Diana kabur bukan karena sifat saya, melainkan karena dia sendiri yang terlalu pengecut."
Setelah itu Bryan melenggang keluar ruangan. Meninggalkan Nur yang terkejut, tidak menyangka Bryan dapat membaca pikirannya.
"Gawat! Gawat!" Nur menepok jidatnya.
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan.Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu."Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini.Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adalah
"Terima kasih untuk juragan Surya, karena sudah berkenan meminang cucu saya yang bernama Nur. Dimana Nur ini cucu saya satu-satunya. Jadi saya berharap Nur dapat jodoh yang terbaik," suara Anis menggema di penjuru ruangan. Wanita berusia 63 tahun itu terlihat percaya diri dan santun."Nur?" panggil lelaki bertubuh tinggi dengan brewok rapi menghiasi wajah. Lelaki itu bernama Surya Pradipta, juragan paling kaya yang sebelumnya pernah menikah sebanyak 2x di desa Nur."Terima kasih Mas Surya," kata Nur singkat tanpa embel-embel seperti Neneknya.Surya menatap Nur dengan penuh kasih, kemudian matanya menatap sekeliling. "Semuanya, silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Maaf karena saya harus menjamu para tamu dari kota."Seluruh warga bersorak riang, berhamburan mengambil segala menu prasmanan yang tersaji. Tanpa mempedulikan lagi apa yang terjadi di atas panggung."Kamu dan Eyang tunggu di dalam kamar saja. Nanti setelah jamuan dengan tamu dari kota selesai, saya akan menemui
Nur menunduk dengan isakan yang masih terdengar dari bibirnya. Setelah melihat adegan paling menakutkan dalam hidup, kini Nur harus berhadapan dengan si suami jahat.Bryan menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya familiar, tapi Bryan lupa pernah lihat dimana."Siapa kamu?" Bryan tidak marah, dia justru berusaha terdengar ramah. Khas psikopat."Sa... Saya... Nur, Pak." Jawaban terbata Nur membuat Arya yang berdiri di sebelah Bryan menjadi keringat dingin.Alis mata Bryan terangkat, berusaha mengingat sesuatu. Dan ya, Bryan ingat! Bukankah Nur adalah nama tunangan dari koleganya kemarin yang bernama Surya?Semalam saat baru datang di kediaman Surya, Bryan sempat salah masuk ruangan. Di dalam sana dia melihat sekelompok warga desa yang menjadi saksi pertunangan Surya dan seorang gadis bernama Nur. Meski Surya bisa dikatakan cukup tampan, Bryan tidak melihat adanya rasa suka pada gadis di sebelahnya.Sekali lagi Bryan memperhatikan penampilan Nur. Tidak buruk. Mungkin, pe