Pukul 11 pagi.
Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.
Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?"
"Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.
Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya.
"Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.
Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!
Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."
Nur menggaruk pipinya, apa yang haris dibawa jika dia saja kabur tanpa membawa apapun?
Bik Anih tampak sibuk mengerjakan cucian. Memori sejak semalam dengan Bik Anih membuatnya sedih. Padahal Bik Anih teman pertamanya di sini, masa iya mereka sudah harus terpisah.
"Bik Anih?"
"Kamu mau Bik Anih dikasih hukuman?" Bryan menyesap kopi hitam demi membuat matanya tetap terjaga.
Nur menggeleng. "Enggak, bukan begitu Pak. Maksudnya kalau saya pergi, Bik Anih gimana? Apa... Hm, apa Bik Anih boleh ikut ke kota?" Semalam Bik Anih cerita kalau dirinya sudah tinggal sendiri di desa ini. Anak-anaknya telah menikah dan menetap di kota, mereka mengunjunginya hanya ketika hari raya.
Alis Bryan mengerenyit. Ide Nur agak lain memang. Bisa-bisanya dia meminta Bryan membawa pulang seseorang yang kemarin sudah teledor pada tanggung jawabnya. "Kamu masih bisa maafin Bik Anih?"
"Iya Pak," Nur menjawab dengan keyakinan 100%. Feelingnya tentang seseorang cukup baik.
"Kalau begitu Bik Anih bereskan barang bawaan. Nanti sore Bik Anih ikut mobil yang satunya karena mobil saya mau mampir dulu ke rumah sakit.
Sepasang mata Anih berkaca. Dia bahagia karena Nur dan Bryan tidak marah. Ditambah Nur mau membawanya ikut serta ke kota. Kelak Anih harus mengabdi dengan sepenuh jiwa raga kepada Nur.
Sore hari waktu yang padat bagi jalanan kota. Sesekali Nur dan Arya mengobrol dan mengomentari fenomena di pinggir jalan yang mereka lalui, walau masih dengan kalimat yang sopan. Biasanya, Nur dan Arya selalu mengomentari sesuatu secara brutal.
"Yah marahan mereka, xixixi..." Nur tertawa melihat sepasang kekasih yang saling ngambek dan si perempuan meminta turun dari motor.
"Yang mana Nur?" sahut Arya.
"Itu Pak, yang naik motor warna kuning."
"Iya lagi, hahahaha "
Sepenggal obrolan Nur dan Arya membuat Bryan membuka mata dan ikut memperhatikan bahan gibahan mereka. Si perempuan kini sudah turun dan berjalan cepat, sedangkan si lelaki mengejar di belakangnya. Tidak ada yang lucu bagi Bryan. Bukankah itu membahayakan diri sendiri dan orang lain di jalan raya?
Ah, dasar Bryan si paling kaku!
Mobil Bryan masuk ke dalam garasi rumah bernuansa minimalis tropis yang agak mirip dengan villa. Rencana untuk membawa Nur medical check up di Rumah Sakit tidak bisa dilakukan sore hari. Ternyata ada beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan dalam kondisi puasa 12 jam, jadi sebaiknya pagi hari.
"Kak Nur," Anih melambaikan tangan dengan wajah ceria. Anih menumpang di mobil box yang membawa barang-barang Nur, dan dia sudah sampai di sana sejak 1 jam lalu.
"Bik Anih sudah sampai," Nur hanya menyahut dengan senyum lebar.
Bryan turun langsung mengecek seluruh isi rumah dari pintu depan hingga ke taman di belakang rumah, serta memastikan kembali layar CCTV standby pada tv di dalam pos security. Seolah dia takut kejadian tempo hari terulang lagi.
"Tambahin 2 personil lagi Ar, buat jadwal jadi 3 shift." Titah Bryan pada Arya.
"Siap, Pak!" Arya memberi hormat. Meski dalam hati bingung karena rumah seminimalis ini sudah memiliki 4 security untuk 2 shift, ada perasaan lega pada diri Arya. Setidaknya Bryan tampak peduli pada Nur, tidak seperti penilaian buruk Arya sebelumnya.
Bryan berjalan mendekati Nur, ditatapnya Nur dengan wajah galak. "Di laci kamar ada ponsel, kalau ada yang urgent bisa hubungi Arya," ujar Bryan sambil menunjuk kamar yang berada di bagian dalam lorong dengan dagunya.
Nur menoleh ke kamar yang dituju. Dari ruang tamu ini hanya tampak lorong dengan tembok di kanan kirinya dan sebuah karpet panjang, sedangkan di bagian atap lorong itu terbuat dari kaca dan bertema skylight. Entah kamar seperti apa yang nanti akan Nur tempati.
"Siap, Pak!" sahut Nur mengikuti Arya.
Bibir Bryan mendekat ke telinga Nur. "Saya kasih kepercayaan buat kamu untuk pakai ponsel sesuka hati, kecuali untuk menghubungi Surya."
"Iya, Pak." Nada bicara Nur jadi pelan. Baginya pesona Bryan dari dekat tetap mengintimidasi, membuat Nur tidak mampu bergerak sedetikpun.
"Ar, catat rumah ini sebagai mahar pertama."
Nur hanya bisa melongo mendengar kalimat yang Bryan ucapkan sambil berbalik badan menuju pintu keluar. Kalimat yang terdengar agak samar namun lantang.
Selepas Bryan dan Arya pergi, baru Nur bisa bernafas dengan tenang dan berkeliling rumah bersama Anih.
Rumah ini begitu teduh, syahdu, membuat Nur ingin menitikan air mata tanpa sebab. Mahar pertama dia bilang, memang Nur mau diberi berapa mahar?
Dengan menganggukan wajah, seraut senyum terukir manis. Kalau rumah sebagus ini jadi mahar, berarti jadi milik Nur? Kalau suatu hari Nur bokek, bisa kan Nur jual?
"Mendingan hasil lab-nya bagus aja kali ya biar aku dapat rumah," ujar Nur yang kini memandang kolam ikan di taman samping.
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan.Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu."Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini.Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adalah
"Terima kasih untuk juragan Surya, karena sudah berkenan meminang cucu saya yang bernama Nur. Dimana Nur ini cucu saya satu-satunya. Jadi saya berharap Nur dapat jodoh yang terbaik," suara Anis menggema di penjuru ruangan. Wanita berusia 63 tahun itu terlihat percaya diri dan santun."Nur?" panggil lelaki bertubuh tinggi dengan brewok rapi menghiasi wajah. Lelaki itu bernama Surya Pradipta, juragan paling kaya yang sebelumnya pernah menikah sebanyak 2x di desa Nur."Terima kasih Mas Surya," kata Nur singkat tanpa embel-embel seperti Neneknya.Surya menatap Nur dengan penuh kasih, kemudian matanya menatap sekeliling. "Semuanya, silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Maaf karena saya harus menjamu para tamu dari kota."Seluruh warga bersorak riang, berhamburan mengambil segala menu prasmanan yang tersaji. Tanpa mempedulikan lagi apa yang terjadi di atas panggung."Kamu dan Eyang tunggu di dalam kamar saja. Nanti setelah jamuan dengan tamu dari kota selesai, saya akan menemui
Nur menunduk dengan isakan yang masih terdengar dari bibirnya. Setelah melihat adegan paling menakutkan dalam hidup, kini Nur harus berhadapan dengan si suami jahat.Bryan menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya familiar, tapi Bryan lupa pernah lihat dimana."Siapa kamu?" Bryan tidak marah, dia justru berusaha terdengar ramah. Khas psikopat."Sa... Saya... Nur, Pak." Jawaban terbata Nur membuat Arya yang berdiri di sebelah Bryan menjadi keringat dingin.Alis mata Bryan terangkat, berusaha mengingat sesuatu. Dan ya, Bryan ingat! Bukankah Nur adalah nama tunangan dari koleganya kemarin yang bernama Surya?Semalam saat baru datang di kediaman Surya, Bryan sempat salah masuk ruangan. Di dalam sana dia melihat sekelompok warga desa yang menjadi saksi pertunangan Surya dan seorang gadis bernama Nur. Meski Surya bisa dikatakan cukup tampan, Bryan tidak melihat adanya rasa suka pada gadis di sebelahnya.Sekali lagi Bryan memperhatikan penampilan Nur. Tidak buruk. Mungkin, pe
"Oh, pasti Bapak bercanda. Harusnya saya jadi pelayan, atau kacung di rumah Bapak. Begitu kan?" wajah Nur masih datar. Dia tidak se-percaya diri itu diberi pekerjaan untuk jadi istri kedua dari pria yang tinggi, tampan dan terlihat kaya raya.Bryan menatap Nur seperti ingin menusuk. Apa wajahnya terlihat seperti bercanda?"Pak?" Nur kembali memperjelas.Tidak menjawab, Bryan meminta Arya untuk membereskan berkasnya. Kemudian dia berdiri, memberi kode kepada Nur untuk mengikuti. "Kita lanjutkan pembicaraanya di rumah."Petugas Lapas muncul di sebelah Bryan dan menunduk ketika melihat Bryan keluar ruangan. "Sudah selesai Pak? Jadi sepupu Bapak kapan mau PKL di sini?" lelaki bernama Irawan bertanya dengan hormat kepada Bryan dan Nur."PKL?" Nur tidak dapat menahan bibirnya untuk bertanya."Iya, Pak Bryan datang ke sini karena menemani Kak Nur untuk survey tempat PKL kan? Beruntung banget punya sepupu seperti Pak Bryan."Nur menatap Bryan yang masih memasang wajah tenang tak terbaca. Kali
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng