Share

6. MAHAR PERTAMA

Pukul 11 pagi.

Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.

Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?"

"Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.

Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya.

"Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.

Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!

Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."

Nur menggaruk pipinya, apa yang haris dibawa jika dia saja kabur tanpa membawa apapun?

Bik Anih tampak sibuk mengerjakan cucian. Memori sejak semalam dengan Bik Anih membuatnya sedih. Padahal Bik Anih teman pertamanya di sini, masa iya mereka sudah harus terpisah.

"Bik Anih?"

"Kamu mau Bik Anih dikasih hukuman?" Bryan menyesap kopi hitam demi membuat matanya tetap terjaga.

Nur menggeleng. "Enggak, bukan begitu Pak. Maksudnya kalau saya pergi, Bik Anih gimana? Apa... Hm, apa Bik Anih boleh ikut ke kota?" Semalam Bik Anih cerita kalau dirinya sudah tinggal sendiri di desa ini. Anak-anaknya telah menikah dan menetap di kota, mereka mengunjunginya hanya ketika hari raya.

Alis Bryan mengerenyit. Ide Nur agak lain memang. Bisa-bisanya dia meminta Bryan membawa pulang seseorang yang kemarin sudah teledor pada tanggung jawabnya. "Kamu masih bisa maafin Bik Anih?"

"Iya Pak," Nur menjawab dengan keyakinan 100%. Feelingnya tentang seseorang cukup baik.

"Kalau begitu Bik Anih bereskan barang bawaan. Nanti sore Bik Anih ikut mobil yang satunya karena mobil saya mau mampir dulu ke rumah sakit.

Sepasang mata Anih berkaca. Dia bahagia karena Nur dan Bryan tidak marah. Ditambah Nur mau membawanya ikut serta ke kota. Kelak Anih harus mengabdi dengan sepenuh jiwa raga kepada Nur.

Sore hari waktu yang padat bagi jalanan kota. Sesekali Nur dan Arya mengobrol dan mengomentari fenomena di pinggir jalan yang mereka lalui, walau masih dengan kalimat yang sopan. Biasanya, Nur dan Arya selalu mengomentari sesuatu secara brutal.

"Yah marahan mereka, xixixi..." Nur tertawa melihat sepasang kekasih yang saling ngambek dan si perempuan meminta turun dari motor.

"Yang mana Nur?" sahut Arya.

"Itu Pak, yang naik motor warna kuning."

"Iya lagi, hahahaha "

Sepenggal obrolan Nur dan Arya membuat Bryan membuka mata dan ikut memperhatikan bahan gibahan mereka. Si perempuan kini sudah turun dan berjalan cepat, sedangkan si lelaki mengejar di belakangnya. Tidak ada yang lucu bagi Bryan. Bukankah itu membahayakan diri sendiri dan orang lain di jalan raya?

Ah, dasar Bryan si paling kaku!

Mobil Bryan masuk ke dalam garasi rumah bernuansa minimalis tropis yang agak mirip dengan villa. Rencana untuk membawa Nur medical check up di Rumah Sakit tidak bisa dilakukan sore hari. Ternyata ada beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan dalam kondisi puasa 12 jam, jadi sebaiknya pagi hari.

"Kak Nur," Anih melambaikan tangan dengan wajah ceria. Anih menumpang di mobil box yang membawa barang-barang Nur, dan dia sudah sampai di sana sejak 1 jam lalu.

"Bik Anih sudah sampai," Nur hanya menyahut dengan senyum lebar.

Bryan turun langsung mengecek seluruh isi rumah dari pintu depan hingga ke taman di belakang rumah, serta memastikan kembali layar CCTV standby pada tv di dalam pos security. Seolah dia takut kejadian tempo hari terulang lagi.

"Tambahin 2 personil lagi Ar, buat jadwal jadi 3 shift." Titah Bryan pada Arya.

"Siap, Pak!" Arya memberi hormat. Meski dalam hati bingung karena rumah seminimalis ini sudah memiliki 4 security untuk 2 shift, ada perasaan lega pada diri Arya. Setidaknya Bryan tampak peduli pada Nur, tidak seperti penilaian buruk Arya sebelumnya.

Bryan berjalan mendekati Nur, ditatapnya Nur dengan wajah galak. "Di laci kamar ada ponsel, kalau ada yang urgent bisa hubungi Arya," ujar Bryan sambil menunjuk kamar yang berada di bagian dalam lorong dengan dagunya.

Nur menoleh ke kamar yang dituju. Dari ruang tamu ini hanya tampak lorong dengan tembok di kanan kirinya dan sebuah karpet panjang, sedangkan di bagian atap lorong itu terbuat dari kaca dan bertema skylight. Entah kamar seperti apa yang nanti akan Nur tempati.

"Siap, Pak!" sahut Nur mengikuti Arya.

Bibir Bryan mendekat ke telinga Nur. "Saya kasih kepercayaan buat kamu untuk pakai ponsel sesuka hati, kecuali untuk menghubungi Surya."

"Iya, Pak." Nada bicara Nur jadi pelan. Baginya pesona Bryan dari dekat tetap mengintimidasi, membuat Nur tidak mampu bergerak sedetikpun.

"Ar, catat rumah ini sebagai mahar pertama."

Nur hanya bisa melongo mendengar kalimat yang Bryan ucapkan sambil berbalik badan menuju pintu keluar. Kalimat yang terdengar agak samar namun lantang.

Selepas Bryan dan Arya pergi, baru Nur bisa bernafas dengan tenang dan berkeliling rumah bersama Anih.

Rumah ini begitu teduh, syahdu, membuat Nur ingin menitikan air mata tanpa sebab. Mahar pertama dia bilang, memang Nur mau diberi berapa mahar?

Dengan menganggukan wajah, seraut senyum terukir manis. Kalau rumah sebagus ini jadi mahar, berarti jadi milik Nur? Kalau suatu hari Nur bokek, bisa kan Nur jual?

"Mendingan hasil lab-nya bagus aja kali ya biar aku dapat rumah," ujar Nur yang kini memandang kolam ikan di taman samping.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status