Share

7. AWAL PROSES

"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan.

Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu.

"Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini.

Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adalah calonnya Pak Bryan, calon istri kedua. Entah bagaimana kisah mereka, yang pasti Anih hanya "cukup tahu" dan tidak ada hak ikut campur kehidupan pribadi orang lain.

Meski begitu, semua orang yang memperhatikan akan tahu jika Nur tampak terpaksa ketika bersama Bryan. Apakah hubungan mereka dikarenakan terlilit hutang seperti di film-film?

"Sudah Kak. Kamarnya bagus banget, ada kolam renangnya di luar kamar juga. Pokoknya aksesnya aman banget. Pak Bryan bahkan pesan nggak ada yang boleh lewatin lorong itu kecuali Kak Nur, Pak Bryan dan Bik Anih."

Pundak Nur mencelos, itu dia yang Nur takutkan. Untuk apa Bryan menempatkan Nur pada kamar yang paling pojok.

"Mau saya antar Kak?" tawar Anih.

"Iya nanti kalau sudah selesai minum susu aku ke sana, nggak perlu diantar." Bukannya dipercepat, Nur malah melambatkan adegan minum susunya hingga jam menunjukkan pukul 10 malam.

Anih masih setia berdiri di sebelah kursi Nur, kehabisan ide untuk merayu Nur agar mau masuk ke dalam kamarnya. Hingga telepon di sudut ruangan berdering, kalau bukan Pak Bryan ya Pak Arya.

"Halo selamat malam dengan Anih," Anih mengangkat telepon rumah dengan suara lembut, takut yang menelepon adalah Bryan.

"Bik, kenapa sudah jam segini Nur masih di ruang makan? Bukannya sudah jadwal dia tidur?" Bryan bertanya tanpa babibu terlebih dahulu. Bryan baru selesai mandi dan duduk di sofa apartemennya ketika mendapati Nur yang masih duduk manis di ruang makan melalui CCTV.

Jangankan Bryan, Anih saja bingung bagaimana menghadapi Nur. Anak muda itu cukup keras kepala namun begitu polos. "Tadi saya sudah minta ke kamar Pak, tapi Kak Nur coba buat mengulur waktu," kali ini Anih bicara sambil berbisik, tidak mau dibilang berkhianat pada Nur.

Bryan yang memiliki otak cerdas segera paham ketika mendengar kata "mengulur waktu". Anak itu, memangnya apa yang dia takutkan dari sebuah kamar? Toh Bryan tidak akan menyeretnya ke sana sebelum mereka siap. "Hemn, mana saya mau bicara sama Nur."

"Baik, Pak." Anih memberikan telepon wireless kepada Nur yang masih duduk manis di ruang makan. "Dari Pak Bryan," bisik Anih.

Nur enggan menjawab, namun tatapan mata Anih begitu memelas. Apa tadi Bryan memaksa Anih agar menyerahkan telepon itu?

"Malam, Pak." Terbiasa PKL di keluarahan desa, nada bicara Nur begitu lembut ketika mengangkat telepon.

Bryan pikir anak ini hanya bisa bicara dengan nada galak, ternyata tidak. Nur yang menjawab teleponnya begitu lembut dan sopan.

"Halo, Pak?"

"Ehem," Bryan menstabilkan suaranya terlebih dahulu. "Kenapa kamu belum tidur? Besok kamu harus diambil darah, Nur. Kalau kamu bergandang kondisi badan kamu bisa nggak fit."

"Iya Pak, sebentar lagi."

"Sekarang! Atau saya akan datang ke sana dan geret kamu ke dalam kamar!"

Jleb, sialan sekali ancaman Bryan. Nur menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Iya ini aku langsung masuk kamar. Selamat malam Pak Bryan."

Nur mematikan telepon dan menyerahkannya kepada Anih. Dengan secepat kilat Nur berlari melewati lorong dan sampai pada pintu kamar yang berwarna cokelat gelap.

Klik, dibukanya pintu kamar perlahan.

"Wahhhh," Nur bersorak senang.

Kamar ini begitu luas dan sangat estetik bertema industrial, membuat suasana santai. Bagaimana bisa seorang yang berkelas seperti Bryan membuat dekorasi kamar seperti ini?

Entah Nur harus berterima kasih atau kesal pada Bryan. Meski orang itu memiliki niat tidak baik padanya, namun berkat Bryan Nur bisa merasakan tinggal di rumah-rumah yang indah dan selama ini hanya bisa dia lihat di p*******t.

Nur menggulung tubuhnya pada selimut berwarna biru langit yang tidak terlalu tebal. Nyaman, terasa seperti dipeluk Eyang. Malam itu Nur tidur dengan pulas dan lupa mandi sehingga membuat aroma asam menguar di hidungnya sendiri ketika pagi harinya.

"Hoekkk," Ditengah pulasnya tidur, Nur tersedak liurnya sendiri. Refleks matanya terbuka dan dia hampir lompat dari ranjang.

Nafas Nur naik turun, dipandanganya susana kamar yang mulai terang disirami cahaya matahari pagi dari balik gorden serta suara ketukan pintu yang terdengar tidak terlalu kencang namun intens. "Cepat banget udah pagi aja."

Anih sedang merapikan rambutnya ketika Nur membuka pintu, sedikit terkejut karena pagi ini Nur tampak segar meski masih mengantuk.

"Pagi Kak Nur, sudah waktunya bersiap. Nanti Bik Anih tunggu di ruang tamu ya," sapa Anih yang terlihat memakai pakaian lebih rapi dibanding sebelumnya.

"Pagi Bik, emn... rapi banget hari ini. Emang kita mau ambil darahnya dimana Bik?" alih-alih menggoda, Nur juga penasaran mereka akan dibawa kemana pagi ini. Sepertinya sebuah tempat yang wah kalau melihat penampilan Anih.

"Kemarin  Pak Arya bilang, Kak Nur akan ambil darah di salah satu klinik lab punya temannya Pak Bryan, bukan di rumah sakit kemarin. Jadi hari ini Bik Anih dan Kak Nur diminta pakai baju yang rapih."

Nur mengangguk paham. Kalau Arya sudah mengingatkan, berarti tempatnya memang bagus. "Ya sudah aku mandi dulu ya Bik, baju gantinya ada di lemari situ kan ya?" Nur menunjuk barisan lemari besar yang berada dibalik tembok pemisah dengan ranjang.

"Iya Kak."

20 menit kemudian Nur muncul dari lorong dalam dan berhasil membuat Anih terkesima. Setelan blazer dan celana pendek diatas lutut berwarna sage berpadu dengan sepatu kulit serta tas selempang kecil berwarna hitam membuat Nur tampak sangat "kota".

"Jangan dipandang terus Mas, nanti Pak Bryan marah," bisik Anih pada Ijon sang driver yang ditugaskan mengantar hari ini. Sejak mereka berdua keluar rumah, Ijon tidak berkedip bagai lihat durian runtuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status