"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam.
"Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.
Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."
Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat."
"Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjalanan jauh, wajahnya pun sudah kucel.
Sadar dengan teguran dari Anih, Nur mengendus pakaiannya. Hemn, dia merasa seperti kambing kurban. Aroma prengus menyeruak karena tadi pagi Arya tidak memberi deodorant dan minyak wangi ketika memberikan pakaian ganti untuk Nur. "Hehehe, aku mandi dulu ya Bik. Aku bisa pakai kamar yang mana?"
Anih menunjukkan kamar yang berukuran paling besar di sebelah kanan. "Ini Kak. Di dalam lemari juga ada baju dan perlengkapan yang sudah disiapin sama orangnya Pak Bryan tadi pagi."
Disiapin tadi pagi? Apa Bryan seyakin itu kalau Nur akan menerima tawarannya?
Kamarnya tidak terlalu besar. Berisi tempat tidur ukuran queen dengan selimut tebal dan nakas yang menempel dengan tempat tidur. Di sebelah tempat tidur ada undakan tangga menuju pintu kamar mandi dan area untuk lemari pakaian serta cermin besar yang estetik.
Ruangan mungil yang nyaman.
Di dalam kamar mandi ada bath up kecil serta shower. Nur sudah membayangkan akan bersantai di kamar mandi. Dan jangan lupakan peralatan mandi serta sabun yang lengkap dan harum. Tidak pernah Nur mencium aroma sewangi ini saat di desa.
Wajah Nur terlihat memerah dan tubuhnya beraroma harum, kucelnya sejak semalam berganti kesegaran. Nur memakai setelan piyama panjang dengan rambut lurus sebawah pundaknya tergerai lembut, membuat Nur seperti anak SMP.
"Makan dulu Kak," Anih sudah sedang merapikan makanan di atas meja makan, pakaiannya pun sudah berganti. Anih mengerjakan semuanya dengan cepat ketika Nur di dalam kamar.
"Makan bareng aja ya Bik," tawar Nur. Toh beberapa waktu lagi dia akan menjadi pegawai seperti Anih.
"Kak Nur saja, saya sudah makan tadi."
"Iya." Nur tidak pandai berbasa-basi, jadi hanya menjawab sekenanya. Nur sempat menoleh dan Anih sesekali menatapnya sambil cengengesan.
Anih membersihkan meja makan, sementara Nur duduk di sofa dan menonton acara kartun di tv. Mereka saling diam diiringi suara jangkrik dan pemandangan barisan siluet pohon.
Anih duduk di undakan tangga sebelah sofa. "Ternyata Kak Nur itu beneran cantik," puji Anih saat melihat Nur keluar kamar tadi. Walau tubuhnya agak kurus, wajah Nur yang bulat oval tidak membuat kerempeng.
Malam pertama di villa, Nur berbincang pada Anih. Tentang suasana desa mereka masing-masing, bagaimana kehidupan mereka. Tanpa terasa jam menunjukkan pukul 10 malam. Anih meminta Nur untuk tidur, besok pagi Anih mau memberitahu bagaimana cantiknya sunrise di villa ini.
Tidak ada ponsel, tidak ada tv, di dalam kamar hanya ada satu buku catatan, majalah dan alat tulis di dalam laci. Nur menuliskan beberapa kalimat di dalamnya sebelum pergi ke alam mimpi. Mulai sekarang, buku ini akan jadi teman terbaiknya.
"Kak, Kak Nur."
Suara ketukan dan panggilan pelan di pintu membuat Nur terbangun. Merasa sudah tidur cukup lama, Nur yakin kalau saat ini sudah pagi. Saatnya dia mengikuti apa kata Bik Anih, bengong dengan pemandangan matahari terbit.
"Wahhh..." Nur begitu takjub dengan pemandangan di sebelah kiri. Matahari yang perlahan naik menembus sang gelap. Ditemani kopi susu panas dan pisang kepok goreng yang masih mengeluarkan uap, baru matang.
Sunrise di sini jadi terbaik kedua setelah balkon rumah Surya. Saat dimana pagi itu wajah Nur tertimpa hangat cahaya mentari, dengan Surya yang telah cukur rambut dan tampak lebih muda dari usianya. Hampir saja Nur merasa bahwa dia jatuh cinta pada Surya.
"Cakep kan Kak. Nanti malem juga cantik, gimana kalau kita barbeque-an?" Lagi, Anih duduk di undakan tangga dekat sofa.
Krek, pintu yang menghubungkan halaman belakang terbuka. Menampilkan seorang lelaki yang usianya terlihat tidak jauh dari Nur.
"Misi Mak, mau kuras kolam." Lelaki itu berdiri dengan wajah tertunduk dan menatap Nur takut.
Anih sedikit terkejut melihat Dimas keponakannya muncul. Ya memang hari ini jadwal Dimas bersih-bersih kolam renang, tapi kan ada Nur.
Nur merasa aneh dengan tatapan Dimas yang menyeramkan, padahal Nur curi dengar kalau Anih meminta Dimas menghargai Nur sebagai tamu dari bos mereka.
Tidak mau dipandang Dimas terus menerus, Nur pamit ke dalam kamar dengan membawa pisang yang masih ada di piring. Tidak lupa seluruh gorden dia tutup hingga tidak ada celah yang dapat diintip dari luar.
"Hemn..." Nur terduduk di tempat tidur dengan membawa buku catatan. Dia mau menulis lagi. Tentang perasaan galau ya selama beberapa hari ini. Siapa suruh Nur kabur lupa membawa ponsel!
Nur tidur selama 2 jam, kemudian terbangun karena perutnya melilit. Keluarlah sebuah gumpalan darah saat dirinya cek di dalam kamar mandi. Ternyata Nur datang bulan. Begitu kacau mood-nya hingga lupa tanggalan.
Di dalam lemari terdapat cukup banyak pakaian, perlengkapan mandi, skincare, make up, namun tidak ada pembalut di sana. Mau tidak mau Nur keluar kamar dan bertanya apakah Bik Anih memiliki benda itu. Hasilnya nihil, Bik Anih sudah menopouse.
"Apa saya boleh ke minimarket sama Dimas Kak? Kebetulan Dimas bawa motor. Kalau pergi 15 menitan boleh kan?" Anih memberi solusi.
Tanpa bertanya Bryan, Nur main asal acc. Setidaknya dia tidak di dalam sini hanya berdua Dimas.
Melihat Anih dan Dimas pergi, serta berpamitan pada security, Nur kembali masuk ke dalam kamar.
5 menit kemudian hujan turun. Nur mengintip dari balik gorden.
Nur sedang asik memandang rintik hujan, hingga satu teriakan menggema diikuti gedoran pada pintu kamar Nur.
"Kak Nur, Kak Nur, buka..." Ujar Dimas.
Begitu kaget Nur membuka pintu, dia kira Bik Anih ada juga, ternyata hanya Dimas. Ditariknya tangan Nur keluar kamar.
"Mak minta saya ambil arang di halaman. Jalurnya lewat sini kan? Lewat kamar Mak kan?!" Tenaga Dimas terlalu kuat dibanding Nur.
Feeling Nur benar tentang lelaki urakan dan bau apek ini. Brengswk!
Nur meronta tidak mau masuk ke dalam kamar Bik Anih yang tidak terjangkau CCTV. "LEPAS!" jerit Nur bersahutan dengan suara petir.
"Halah, sama-sama orang desa! Nggak usah sombong! Kamu pasti ani-ani kan?!" Dimas berusaha menarik tangan Nur dengan terus mengoceh dengan kalimat yang menyakitkan.
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan.Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu."Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini.Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adalah
"Terima kasih untuk juragan Surya, karena sudah berkenan meminang cucu saya yang bernama Nur. Dimana Nur ini cucu saya satu-satunya. Jadi saya berharap Nur dapat jodoh yang terbaik," suara Anis menggema di penjuru ruangan. Wanita berusia 63 tahun itu terlihat percaya diri dan santun."Nur?" panggil lelaki bertubuh tinggi dengan brewok rapi menghiasi wajah. Lelaki itu bernama Surya Pradipta, juragan paling kaya yang sebelumnya pernah menikah sebanyak 2x di desa Nur."Terima kasih Mas Surya," kata Nur singkat tanpa embel-embel seperti Neneknya.Surya menatap Nur dengan penuh kasih, kemudian matanya menatap sekeliling. "Semuanya, silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Maaf karena saya harus menjamu para tamu dari kota."Seluruh warga bersorak riang, berhamburan mengambil segala menu prasmanan yang tersaji. Tanpa mempedulikan lagi apa yang terjadi di atas panggung."Kamu dan Eyang tunggu di dalam kamar saja. Nanti setelah jamuan dengan tamu dari kota selesai, saya akan menemui
Nur menunduk dengan isakan yang masih terdengar dari bibirnya. Setelah melihat adegan paling menakutkan dalam hidup, kini Nur harus berhadapan dengan si suami jahat.Bryan menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya familiar, tapi Bryan lupa pernah lihat dimana."Siapa kamu?" Bryan tidak marah, dia justru berusaha terdengar ramah. Khas psikopat."Sa... Saya... Nur, Pak." Jawaban terbata Nur membuat Arya yang berdiri di sebelah Bryan menjadi keringat dingin.Alis mata Bryan terangkat, berusaha mengingat sesuatu. Dan ya, Bryan ingat! Bukankah Nur adalah nama tunangan dari koleganya kemarin yang bernama Surya?Semalam saat baru datang di kediaman Surya, Bryan sempat salah masuk ruangan. Di dalam sana dia melihat sekelompok warga desa yang menjadi saksi pertunangan Surya dan seorang gadis bernama Nur. Meski Surya bisa dikatakan cukup tampan, Bryan tidak melihat adanya rasa suka pada gadis di sebelahnya.Sekali lagi Bryan memperhatikan penampilan Nur. Tidak buruk. Mungkin, pe
"Oh, pasti Bapak bercanda. Harusnya saya jadi pelayan, atau kacung di rumah Bapak. Begitu kan?" wajah Nur masih datar. Dia tidak se-percaya diri itu diberi pekerjaan untuk jadi istri kedua dari pria yang tinggi, tampan dan terlihat kaya raya.Bryan menatap Nur seperti ingin menusuk. Apa wajahnya terlihat seperti bercanda?"Pak?" Nur kembali memperjelas.Tidak menjawab, Bryan meminta Arya untuk membereskan berkasnya. Kemudian dia berdiri, memberi kode kepada Nur untuk mengikuti. "Kita lanjutkan pembicaraanya di rumah."Petugas Lapas muncul di sebelah Bryan dan menunduk ketika melihat Bryan keluar ruangan. "Sudah selesai Pak? Jadi sepupu Bapak kapan mau PKL di sini?" lelaki bernama Irawan bertanya dengan hormat kepada Bryan dan Nur."PKL?" Nur tidak dapat menahan bibirnya untuk bertanya."Iya, Pak Bryan datang ke sini karena menemani Kak Nur untuk survey tempat PKL kan? Beruntung banget punya sepupu seperti Pak Bryan."Nur menatap Bryan yang masih memasang wajah tenang tak terbaca. Kali