Desy melajukan mobil kencang hingga berhenti di rumah sakit. Dia berlari menuju kamar yang semula ditempati oleh Evan. Namun, saat dia sampai, kamar itu telah kosong. "Di mana Kak Evan?" gumamnya lirih seraya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Desy mengambil ponsel dari dalam tas slempang yang dia kenakan. Mencari sebuah kontak dengan nama "Otak mesum". Berkali-kali dia memanggil nomor yang sama, tetapi tetap tidak ada jawaban dari seberang. Di dalam sebuah mobil, Aldo sedang memegangi tangan Evan yang sedang berusaha melarikan diri. "Lepaskan aku. Aku bisa pulang sendiri," racau Evan seraya menggerak-gerakkan tangannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aldo. Seorang wanita berpakaian serba hitam membantu menahan tubuh Evan agar tidak lepas. Sedangkan, seorang wanita yang lain bertugas menyetir mobil. "Tolong tambah kecepatan mobilnya, Lea," ucap Aldo seraya memegangi tangan Evan. Karena gerak tubuh Evan semakin tidak terkendali, terpaksa Hera memukul leher Evan. D
Melani baru saja sampai depan rumah Namira. Sebuah tangan melayang dan mendarat di pipi Melani. Terkejut dengan sambutan yang diberikan Bonita kepadanya saat baru saja sampai rumah, Melani berteriak seraya melebarkan mata dan mengusap pipinya yang memerah. “Apa yang kamu lakukan, Bonita?” Bonita mengangkat tangannya kembali. Namun, Hera yang sejak tadi berdiri di belakang Melani bergegas menangkap tangan Bonita. Dia memelintir tangan itu hingga pemiliknya meringis kesakitan. “Sekali lagi kamu berani menyentuh dan menyakiti Nona Melani, akan kupatakan tangan ini,” ancamnya. “Hentikan, Hera!” Melani memberikan kode agar Hera melepaskan tangan Bonita. “Tinggalkan aku berdua dengan adikku,” ujarnya tegas. Hera menatap Melani tidak terima. Namun, dia teringat perintah Deon agar selalu menuruti apapun perkataan Melani. Dia melepas tangan Bonita dengan kasar, dan bergegas menjauhi dua kakak beradik itu. “Sekarang, katakan padaku, Bonita! Ada apa denganmu? Kenapa kamu terus-terusan menunju
“Melani! Aku ingin kita bertemu.” Johan berkata sembari tertawa-tawa tidak jelas. “Kamu harus menemuiku sekarang juga, Istriku. Aku sangat membutuhkanmu,” lanjutnya meracau.“Apa maksudmu, Mas? Ini sudah larut malam, dan aku bukan istrimu lagi,” tolak Melani tegas. Dia melebarkan mata tidak percaya. Sepertinya laki-laki yang sedang meneleponnya sedang dalam keadaan tidak waras. Melani hendak menutup telepon, tetapi suara teriakan orang di seberang mengurungkan niatnya.“Berikan aku satu botol lagi! Minumanku sudah habis,” ucap Johan mengangkat gelas. Seorang bartender memberikan botol dan menuangkan isinya di gelas Johan.“Mas? Kamu di mana?” Melani bertanya khawatir. “Apa kamu sedang mabuk? Cepatlah pulang! Kamu harus ingat, sebentar lagi kamu akan menjadi ayah.” Melani memberi peringatan. Dia berjalan mondar-mandir di dalam kamar.Johan berdiri dari kursi di ruangan dengan lampu yang gemerlap. Musik jedag-jedug memekikkan telinga. Dia berbicara dengan suara keras, menandingi suara m
"Apa yang kamu lakukan di tempat ini, Melani? Tempat ini tidak cocok untuk perempuan sepertimu. Ayo! Aku akan mengantarmu pulang," ucap Deon tegas. Dia melirik Melani yang sedang menatap lelaki pemabuk yang terkapar di atas lantai. Johan mulai menggerakkan tangannya. Saat dia membuka mata, Melani adalah yang pertama diliriknya. "Melani?" gumamnya sembari tersenyum lirih. Senyumnya menghilang saat dia melihat Deon berada di sebelah Melani. Melani berjalan maju, semakin mendekat pada Johan. "Apa yang kamu lakukan di sini? Pulanglah! Tidak sepantasnya kamu berada di tempat seperti ini," ujar Melani menatap lekat Johan. Dia ingin membantu Johan dengan menjulurkan tangannya, menawarkan bantuan pada Johan untuk membantunya berdiri, tetapi niatnya urung karena dia teringat bahwa Johan bukan lagi suaminya. Johan tersenyum melihat Melani yang berjalan semakin mendekat. Dia memegangi lantai dan mencoba untuk mengangkat tubuhnya. Menatap lembut Melani seraya berkata, "Akhirnya kamu datang k
"Apa yang Anda ingikan?" Melani bertanya ragu-ragu pada Deon. Dia menatap Deon yang berdiri dingin di hadapannya. Deon memajukan wajahnya mendekati Melani. "Aku menginginkan dirimu," ucapnya sembari tersenyum lembut dan mengedipkan mata. Melani dibuat merinding saat hembusan napas Deon yang begitu maskulin menghangatkan wajah hingga telinganya. Sesaat ada yang bergetar di dalam hatinya. "Menginginkan saya?" Melani berkata terbata-bata. "Tapi saya tidak memiliki apa-apa untuk diberikan pada Anda," lanjutnya berusaha menenangkan degup jantungnya. "Kamu tidak perlu memberikan apapun. Cukup berada di sampingku saja." Deon menarik lengan Melani dan membawanya keluar dari tempat hiburan malam itu. Lea dan Hera sudah menyambut di depan bar dengan mobil mewahnya. Mereka sigap membuka pintu mobil untuk Deon dan Melani. "Aku menolak penawaranmu. Tapi aku memiliki penawaran lain," ucap Deon tanpa basa-basi. Dia sudah duduk di mobil bagian belakang bersebelahan dengan Melani. "Aku tidak me
Pagi hari, Melani bangun dengan tidak bersemangat. Rambutnya acak-acakan, dan dia kesiangan. Dilihatnya tempat tidur di sebelahnya telah kosong. "Ibu! Di mana Nafisa?" Melani berteriak sambil berlari keluar kamar dan menuju kamar sebelah. Dia melihat tempat tidur di kamar itu juga kosong. Melani kembali berlari menuju ruang makan. Dia melihat Namira sedang menikmati sarapan bersama Bonita di sana. "Di mana Nafisa, Bu?" tanya Melani sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Lea sedang mengantarnya sekolah. Lagian tidak biasanya kamu bangun kesiangan?" Namira menatap Melani menyelidik. "Apa terjadi sesuatu?" tanya Namira. "Ibu, dia memang tidak becus mengurus diri sendiri. Bagaimana dia bisa mengurus Nafisa, jika mengurus diri sendiri saja tidak bisa?" ejek Bonita seraya melirik sinis Melani. "Itu sebabnya Kak Johan ngotot mau mendapatkan hak asuh Nafisa," lanjutnya tersenyum sinis. "Bonita! Jagalah ucapanmu. Kamu juga akan menjadi seorang ibu," ujar Namira tegas. "Duduklah, Mel
Melani menatap punggung Bonita yang berjalan menjauh. Dia masih memikirkan kata-kata Bonita barusan. Gadis itu terlihat sangat marah hingga mengancamnya. Gadis yang nekat, entah apa yang akan dia lakukan pada Melani. Melani melirik Johan dan menatapnya penuh amarah. "Jika sudah tidak ada yang dibicarakan, sebaiknya kamu pergi," ucapnya pada Johan. "Aku tidak akan pergi tanpamu, Sayang. Suami istri harus selalu tinggal bersama," ucap Johan tersenyum genit. "Bukankah kata-kataku benar, Ibu?" lanjutnya menatap Namira. "Jangan dengarkan dia, Bu. Dia sudah gila semenjak mendengar Bonita hamil anaknya," ucap Melani asal. "Kenapa kamu begitu sinis kepadaku, Sayang? Apakah itu karena kamu merindukanku?" goda Johan seraya mencolek dagu lancip Melani. "Jangan kurang ajar!" Melani memalingkan muka, menghindari tangan Johan. Dia berdiri dan berpindah ke tempat duduk Bonita. "Kamu harus ingat, kita sudah bercerai, Mas. Jangan menyentuhku sembarangan!" ketusnya. Namira yang dari tadi diam, su
"Kalian mau membawaku ke mana?" Melani mengulangi pertanyaannya pada Lea dan Hera. Sekarang dia sudah duduk di jok belakang mobil volkswagen beetle. Lea melajukan mobil kencang meninggalkan rumah istana milik Deon.Volkswagen beetle warna kuning itu berhenti di sebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota Jakarta. "Masuklah, Nona! Ini adalah salah satu mall milik Tuan Deon. Kami akan membantu Anda memilih pakaian untuk acara nanti malam," ujar Lea. Dia membuka sabuk pengaman dan segera menuruni mobil."Acara? Memangnya ada acara apa nanti malam?" Melani melirik Lea dan Hera bergantian."Ayo turun dulu, Nona! Ini perintah Tuan Deon." Hera membuka pintu mobil dan mempersilakan Melani untuk turun.Lea dan Hera membawa Melani ke salah satu butik paling mahal di dalam pusat perbelanjaan tersebut. Butik yang menyediakan pakaian limited edition rancangan desainer ternama. Melani sampai tidak bisa berkedip melihat koleksi pakaian yang semuanya tampak begitu elegan."Kurasa aku tidak