Tinggalkan jejak love dan komen yuk. Biar semangat UP. Kasih VOTE juga ya. makasih sudah baca cerita Senja. tunggu next part🥰
Seolah tidak mendengar ucapan Adam, Senja hanya melirik paper bag berisi dasi untuk Adam. Ia menyodorkan tangan yang memakai gelang supaya Adam melepaskannya sendiri. Bibirnya sudah terkunci seolah hatinya pun ikut mati untuk mengenal kata cinta. Satu tangan lainnya meraih paper bag di meja lalu disembunyikan di kursinya."Terima kasih, Ja."Hanya sebuah anggukan, Senja sudah merasakan matanya mulai berembun. Ia harus segera pergi dari ruangan yang menyesakkan dadanya. Seumur-umur, ini sebuah kejutan yang menyedihkan baginya."Senja! Paper bag nya?""Oh, itu buat teman saya, Pak. Maaf saya permisi mau mengurus yudisium." Lega rasanya, Senja bisa mengucap kalimat itu meski dengan tenggorokan tercekat.Senja buru-buru pamit keluar dari ruangan dosennya. Matanya sudah berkaca-kaca dan napas terasa sesak. Ia berlari masuk ke kamar mandi di sudut koridor kampus."Eh, maaf, Mbak.""Hati-hati kalau jalan.""Iya." Senja hampir menabrak petugas kebersihan karena tangannya sempat mengucek matan
"Ckk dasar Senja. Kenapa kartunya dibalikin segala." Adam menggelengkan kepala. Ia berniat mengecek saldo kartu yang diisinya sesuai kesepakatan dengan Senja. Begitu lincah jarinya mengetik di layar ponsel. Matanya membulat sempurna. Nominal yang ada di kartu itu masih utuh sesuai saldo awal. "Senja! Apa-apaan ini?"Mau marah, seketika ponsel Adam berdering. Tertera Umi Nayla di layar benda persegi itu. "Halo, Mi. Gimana?""Adam jadi bisa antar Umi ke butik? Hantarannya juga sudah siap. Kita ambil hari ini.""Ya, Mi. Setengah jam lagi Adam jemput. Umi siap-siap, ya."Adam memasukkan kembali kartu yang dikembalikan oleh Senja. Bahkan ia tidak berniat membuka kota kecil yang ada di paper bag. Dibiarkan saja benda itu di meja kerjanya. Ia bergegas menyelesaikan tanda tangan berkas supaya bisa mengantar uminya.Setengah jam berlalu, Adam sudah sampai rumah dan menjemput Nayla."Ayo, Dam!" Adam yang duduk di sofa hanya bergeming."Adam!""Eh, iya, Mi." Adam menyadari lamunannya. Entah ken
Untuk beberapa menit, Adam masih bertahan di dalam bersama orang tua Reva. Berkali-kali pasangan yang memasuki usia senja itu mengucap maaf pada Adam. "Tidak apa-apa, Pak, Bu. Saya sudsh hafal sifat Reva. Saya hanya berniat membantu untuk kebaikannya. Tapi sepertinya dia memilih jalan lain yang dianggapnya baik dan benar.""Sekali lagi maafkan kami Nak Adam. Kami harus bilang apa pada kedua orang tua Nak Adam?""Tidak perlu, Pak. Biar saya yang menjelaskan pada Umi dan Abi."Adam akhirnya keluar juga. Nayla yang sudah tidak sabar lalu beranjak mendekati putranya."Ada apa, Dam?""Apa ada masalah?" imbuh Aryo."Tidak ada, Bi, Mi. Kita pulang saja. Lamarannya ditunda. Reva ternyata ada flight mendadak.""Hah? Kenapa bisa begini?" ujar Nayla sedikit syok. Baru sekali melamarkan putranya tetapi berujung batal."Apa Mbak Reva bikin ulah, Mas?" bisik Restu masih bisa ditangkap oleh indra pendengaran Aryo. Lelaki berusia kepala lima itu sedikit mendecis."Maafkan kami Pak Aryo, Bu Nayla. An
Satu tahun berlalu, Adam berdebat dengan uminya di ruang keluarga."Mi, Adam harus balik ke Yogya. Di sana tempat sementara yang nyaman untuk Adam.""Sayang, nggak harus begini. Di sini rumahmu. Kamu nggak harus pergi hanya gara-gara gagal menikahi Reva.""Bukan karena Reva, Mi. Adam memang mau membuka lembaran baru di kota itu. Adam mau....""Mas Adam mau mencari cintanya yang hilang, Mi. Biarin aja, Umi tinggal kasih dukungan doa."Nayla terperangah. Gegas ia mengusap bulir bening di pipinya. Lalu ia mendekati Adam dan mengusap lengannya."Kamu nyari Reva sampai ke Yogya? Buat apa? Umi khawatir kamu malah semakin terpuruk.""Umi nih nggak tahu. Mas Adam nyari Senja, bukannya Reva," imbuh Restu sambil terkikik. Lalu ia kabur sebelum ditimpuk barang apa saja oleh Adam."Awas kamu, Res! Nggak bisa tutup mulut apa?" ucap Adam seraya mendengkus."Mi, kata Mas Adam semboyannya. Walau ke ujung dunia dia akan menemukan Senja." Tawa Restu membahana membuat Adam kesal setengah mati. Wajahnya s
"Permisi, permisi!" Adam sedikit menepi mendekati bagian resepsionis.Suara riuh terdengar dari arah belakang Adam. Ternyata ada rombongan yang melewatinya."Saya sudah menyiapkan bahan meetingnya, Bu.""Ya makasih."Adam tersentak saat mendengar sebuah suara familiar menyapa telinganya. Bahkan aroma yang masih lekat di otaknya terendus oleh indra penciumannya. "Parfum itu. Aku mengenalinya. Senja!""Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang perempuan cantik dengan rambut disanggul modern. Ya, dia petugas di bagian resepsionis hotel. "Hmm, sebentar, Mbak." Adam menoleh kembali ke arah rombongan. Salah satu diantaranya adalah perempuan dengan pakaian blazer dan rambut hitam lurus tergerai rapi."Ah bukan tipe Senja kalau rambutnya seperti itu. Apa aku sudah hampir gil* karena mencari keberadaannya," rutuk Adam pada dirinya sendiri. Ia sampai hafal Senja pasti menguncir rambutnya karena sering merasa risih jika digerai."Pak!" "Ah iya, Mbak. Saya mau menitipkan koper. Ada m
"Pak Adam. Kenapa dia ada di sini?" Adam melemparkan senyum ke arahnya. Namun, Senja berusaha tenang dan pura-pura lupa."Senja Kamila Rahmawan. Akhirnya kita bertemu kembali."Sepanjang meeting, Adam tidak lepas mengamati sosok yang dirindukannya selama setahun ini."Senja terlihat lebih dewasa. Apa dia masih suka ceroboh?" gumam Adam. Ia tertawa kecil lantas menutup mulutnya dan menoleh ke samping kiri dan kanan. Peserta yang duduk di sebelahnya sempat mandang aneh dirinya."Apa ada yang lucu?" tanya seseorang di sebelah kiri Adam. "Oh maaf. Tidak ada. Saya hanya teringat sesuatu," kilah Adam."Baiklah mari kita cermati pentingnya jalinan kerjasama bisnis antar perusahaan maupun pihak akademisi. Dalam hal ini adalah universitas. Beberapa perwakilan kampus di kota Yogya tentunya kami undang dalam forum ini. Silakan perwakilan dari kampus untuk menunjukkan diri."Adam merasa terpanggil lalu mengangkat tangan.Deg,Senja mengedarkan pandangan ke seluruh peserta. Terakhir jatuh pada sos
"Oh ya. Syukurlah barang ini tidak hilang," ucap Senja sedikit terbata. Bahkan kedua insan itu masih setia memegang benda yang terlipat rapi dengan posisi berdiri di lorong menuju resto hotel."Terima kasih Senja. Hadiah ini sungguh berarti bagi saya.""Pak Adam yang terhormat. Tolong kondisikan status. Tidak pantas lelaki beristri menggoda perempuan lain," ucap Senja seraya mendecis.Adam yang mendengarnya justru tersenyum. Hatinya mengembang. Rasa yang pernah hilang setahun ini kini kembali muncul."Begitu ya? Baiklah, saya hanya mengikuti alur yang Anda buat Bu Mila. Dengan terkendalanya MoU itu berarti Anda berniat kita berjumpa kembali, bukan? Saya sangat senang. Sampai jumpa besok Senja Kamila.""Aarghh."Senja frustasi begitu sampai rumah mengingat pertemuannya dengan Adam. Ia melakukan apa saja untuk menenangkan hatinya yang gundah. Memukul apa saja yang bisa menjadi sasaran. Bahkan adiknya yang baru pulang dari kuliah pun kena sasaran tangkisannya."Mbak Senja! Apa-apaan, sih
"Ja. Itu di belakang Andre kok mirip Pak Adam, ya?""Mana?" ucap Senja sambil menyelidik."Nggak mungkin kan orang Bandung tiba-tiba di sini gara-gara kita omongin."Senja menepuk jidatnya. Sifat cerobohnya mulai kambuh lagi gara-gara ketemu dosbingnya."Astaga, aku ada janji lunch dengan Pak Adam!"Memalingkan wajah ke samping, Senja memutar otak untuk menyiapkan alasan jika ditanya sahabatnya."Hmm, sepertinya ada yang perlu dijelaskan, Ja," ujar Fifi."Hai, Senja. Apa kabar?" Suara Andre menyapa dari samping. Mau tak mau, Senja segera menoleh lalu tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya."Kalian pada ngerjain aku, ya? Bisa-bisanya menikah nggak ngasih kabar," sungut Senja tak terima. Ia berinisiatif lebih dulu menyalahkan sahabatnya sebelum dirinya disalahkan."Eits, siapa yang pergi tanpa kabar?" protes Andre. Lelaki yang penampilannya lebih dewasa dan rapi itu berdiri sejajar istrinya. Bahkan tangan kirinya sudah merangkul bahu membuat Senja memutar bola matanya jengah."Nggak