"Maafkan Yoga, Bund! Yoga tidak bisa bergerak," ujar Yoga sambil menyodorkan segelas jus jambu."Terima kasih untuk minumnya, Bang Yoga," ucapku."Iya, Bund."Yoga pun pamit untuk undur diri melihat ke kamar Amel, dia harus bisa menggunakan waktu yang ada guna membantu Amel. Yoga terlihat sangat pandai mencuri waktu untuk adiknya. Amel pun juga bisa memahami posisinya selama ada di rumah itu.Aku hanya menyimak semua kejadian yang terlihat secara mata tel4nj4ng. Meski aku ibu kandung mereka tetapi untuk saat ini aku belum memiliki hak kuasa karena harta yang aku punya belum mampu membungkam mulut Mas jasen. Aku bersumpah padamu, Mas. Akan aku ambil apa yang seharusnya aku punya. Lihat saja suatu hari nanti."Kak Ann!" panggil Gendhis."Iya, Dhis!" balasku.Gendhis berjalan mendekat padaku dengan wajah sendu, sangat terlihat jika dia sehabis nangis dan untuk alasan apa aku tidak tahu. Tiba-tiba dia berlari memelukku dengan erat, dan tergugu di pundak hingga hijabku terasa basah."Menga
Aku masih berdiri, diam tidak bergerak hingga sebuah tangan mungil menarikku kuat. Kakiku sangat susah untuk melangkah, netraku masih tidak mau berpaling dari wajah jutek Rowena. Aku masih terpana dengan lisannya yang berkata akulah yang menjadi pihak ketiga antara mereka berdua.Dadaku terasa sesak, nyaliku semakin membara. Tangan ini mulai terangkat tetapi hati mulai goyah. Tangan mungil itu masih menarikku bahkan kini bertambah satu dan ini terasa agak lebar seperti tapak tangan dewasa. Kuhirup wangi yang khas."Gendhis! Heemmm," lirihku."Mari Mbak Ann sebaiknya kita pergi ke kamar Amel untuk membantu anak tersebut berbenah kamar barunya!" ajak Gendhis.Akhirnya aku pun mengikuti langkah Gendhis meninggalkan wanita rubah tersebut. Amel terlihat sangat bahagia karena aku mengikuti langkah kedua wanita beda usia tersebut. Amel menenteng tas sekolahnya yang penuh dengan baju dan seragam ala kadarnya, sedangkan buku sekolahnya di dekap dengan tangan mungilnya."Sini biar bunda bawakan
"Amel akan berusaha untuk bersabar lagi dan lagi, BUnd. Tetapi akankah abang mendukung Amel?" tanya Amel denga nada yang teramat bimbang dan sedih."Jangan khawatirkan abang, Dik. Abang pastikan akan selalu mendukungmu setiap saat jika memang harus diperlukan." Terdengar suara yang khas dan sangat aku kenal. Suara Yoga."Bunda titip adik kamu, Bang. Tolong sebisa mungkinbantu adik kamu dari siksaan rubah betina tersebut." pandanganku tajam menatap wajah Yoga yang sedikit sembab melihat."Akan Yoga jaga amanah Bunda tersebut. Dan jika suatu saat Amel harus pergi dari sini untuk mencari kata nyaman maka aku berharap Bunda ada untuk Amel," kata Yoga panjang lebar dengan penuh penekanan."Lihat abang sudah berjanji pada kamu, Sayang. Begitu pun Bunda, bunda juga berjanji padamu jika engkau suatu saat nanti harus pergi dari rumah ini untuk mencari kenyamanan, maka datanglah pada Bunda di mana pun kamu berada!" kataku denganlembut dan memeluk tubuh mungil tersebut.Namun, gadis kecil itu me
Hari telah berlalu, aku pun sedikit merasa puas dengan hidup. Semua yang dipesan oleh Rowena telah berhasil aku penuhi. Bahkan kamar Amel pun aku desain sendiri. Senyum gadis kecilku mengembang saat melihat hasil desain kamarnya yang sempit kini terlihat sedikit leluasa.Masih aku ingat ucapan terima kasih yang terlontar dari bibir kecilnya. Begitu pula dengan Yoga. Pria kecil itu juga ikut tersenyum senang, bahkan dia memeluk adik perempuannya penuh kasih. Memory yang sangat membuatku selalu tersenyum."Hai, Mbak Ann!" sapa Anton saat melewati meja kerjaku."Hai, mau kemana kamu, Le?" tanyaku pada Anton yang ngelunyur saja setelah menegurku."Hehe, mau ke toilet, Bu. Ikut?" godanya sambil mengerjapkan mata."Kirain mau ke pantri, iya sudah sana dilanjut!" perintahku dengan nada santai."Mau dibikinkan kopi, Bu?" tanya Anton."Boleh, takaran seperti biasa ya!" Anton memgangguk dan mulai melanjutkan perjalanannya menuju toilet. Setelah nunggu beberapa saat seorang OB masuk dalam ruang
Aku sangat terkejut saat membaca arsip yang disodorkan oleh Adel tadi siang, masih terekam jelas nama pemegang tender Bapak Jasen Vanderson. Mau apa lelaki itu memberi job besar pada PT. Desain Megah Raya. Apalagi desain yang diminta adalah desain eksterior sebuah regency yang menghadap laut.Cukup besar nilai tender ini dan yang membuat aku curiga mengapa tanda diadakan voting atau rapat perebutan tender tersebut. Rasanya semua itu hanya akal-akqlannya si Jasen. Aku hanya bisa geleng kepala."Sepertinya aku harus komunikasi dulu dengan Irene, coba aku ke ruangannya," lirihku sambil menyiapkan proposal yang sudah dibuat Adel sejak kemarin."Aku ke ruangan Ibu Irene dulu, man teman. Jika nanti ada yang mencari hubungi saja langsung," pamitku pada anggota yang lain.Semua yang ada di ruangan kulihat hanya sekilas memandangku dengan anggukan kepala lalu setelahnya kembali ke laptop mereka masing-masing. Sungguh hari-hari yang sibuk menggambar, tiada hari tanpa pensil dan kertas juga peng
"Bagaimana dengan orderan kemari, Ibu Ann?" tanya Adel."Maaf, order kamu tidak acc Ibu Irene. Sekali lagi maaf!" kataku pada Adel.Gadis itu terlihat sangat kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Irene. Sepanjang yang aku tahu bahwa gadis itu adalah seorang pekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga karena dialah tulang punggung."Baik, Ibu Ann. Tetapi bolehkan saya tahu mengapa Ibu Irene tidak setuju?" tanya Adel sambil menatapku."Menurut beliau tender itu penuh jebakan, jadi lebih baik tidak di lakukan," jawabku."Tetapi ini job sangat besar dsangat di sayangkan jika lepas begitu saja, Ibu Ann," balas Adel."Tapi semuatergantung dari acc tidak nya dan itu tergantung pada keputusan dari Ibu Irene sebagai atasan kita," balasku memberitahu tentang wewenang dari Irene."Baik, saya paham. Tetapi apakah Ibu Ann tidak berani bertindak sendiri? Karena sejujurnya Ibu ann pasti sudah mampu bekerja mandiri,' rayu Adel padaku.Aku pun sejenak berpikir ulang, tetapi aku sungguh
Setelah Yoga tidak terlihat, maka kau pun berbalik arah kembali pada ruang kerjaku. Tetapi di tengah perjalanan barulah aku ingat jika Irene sedang menungguku di ruangannya. Gegas kulangkahkan kaki ini menuju ruang Irene.Baru saja aku sampai didepan ruangan Irene pintu langsung terbuka dan menampilkan wajah sang owner, ayah Irene. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala dibalas senyum oleh Pak Yunus."Selamat bekerja, Ann!" ucapnya saat melewatiku, aku hanya diam mematung menatap kepergiannya.Sungguh terasa aneh jika seorang pimpinan menyapa hangat terhadap seorang karyawan rendahan, itu yang membuat aneh karena tidak biasanya Pak Yunus bisa hangat seperti itu saat berinteraksi di kantor. Namun, berbeda jika saat berada di rumah. Beliau sangat hangat bahkan seperti seorang ayah bagiku. "Ada apa ya?" lirih melepas keresahan.Aku pun mulai mengetuk pintu yang sedikit terbuka, kulihat masih ada Abian duduk di sofa. Terlihat keduanya sedang bersitegang seperti ada perbedaan pendap
"Maaf, Bu Ire. Bukannya saya tidak percaya dengan Ibu, tetapi itu hasil kerja pertama putra saya buat ibunya. Saya ingin menyimpannya sendiri," balasku.Irene kulihat sedikit kecewa, tetapi ini adalah hal pribadiku. Aku tidak mau terinjak harga diri oleh siapa pun meski dia adalah sahabatku sendiri. Jujur aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari seorang Irene. Entah apa aku juga belum mengerti, tetapi yang pasti akan aku perjuangkan semua yang dimiliki putraku untukku."Baiklah, Bu. Jika untuk tender itu tidak bisa di tolak maka saya siap untuk menerima," ucapku dengan penuh ketegasan.Kulihat Irene dan Abian mengangguk bersama, lalu aku pun pamit kembali ke ruang kerjaku sendiri. Irene juga sudah mengijinkan jika aku kembali, dengan sopan aku meninggalkan ruang itu.'Selamat Adel, ternyata seperti inilah kamu! Semoga Gusti Allah selalu melindungiku dari segala marabahaya,' batinku menjerit pilu.Akhirnya sampai juga kaki ini pada ruang desain, semua penghuninya tampak serius men