Sadam mengetuk pintu kamar seraya memanggil sang istri. Akhirnya, dibukakan juga oleh Safira. Mulut Sadam menganga melihat keadaan kamar yang berantakan. Selimut, bantal dan guling berhamburan di lantai. Semua skincare dan alat meke up Safira berceceran bahkan isi lemari pun ikut berserakan.“Apa yang sudah kau lakukan, Safira?” tanya Sadam kesal setelah lelah seharian mengantar Ayunda malah disuguhi pemandangan tak sedap oleh sang istri.Safira kembali berbaring di tempat tidur memiringkan tubuhnya ke samping. Matanya sembab dan wajahnya masih memerah. Ia tidak menanggapi ocehan Sadam, sudah terlalu lelah menjelaskan semuanya. Kini ia mencoba untuk tidak peduli dan akan lebih memperhatikan calon buah hatinya.“Jawab, Safira! Apa kau tidak punya mulut?” geram Sadam.Namun, Safira tetap bergeming pura-pura tak mendengar. Ia sedang tidak ingin bicara pada siapa pun.“Aku lelah baru pulang, tapi malah melihat kerusuhan di kamar ini,” ungkap Sadam menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Se
“Apa? Safira keguguran?” tanya Nala, menoleh pada ibunya yang baru mengakhiri panggilan dari Sadam.“Iya, Sadam barusan bilang katanya kelelahan dan tertekan. Ya sudahlah, ibu juga tidak mengharapkan keturunan dari perempuan tidak jelas seperti Safira,” jawab Mirah, melirik pada Ayunda yang sedang menuangkan sup ayam ke mangkuknya.“Kalau darimu Tante sangat mengharapkan,” ucap Mirah mengelus bahu Ayunda yang tersenyum.Mirah cukup senang dengan kagugurannya Safira karena ia memang sangat tidak menginginkan cucu dari menantunya itu. Ia tak ingin memiliki keturunan yang tidak jelas asal- usulnya. Senyum getir tersungging di wajahnya, tak perlu mengotori tangan untuk menyingkirkan janin dalam perut Safira. Hanya dengan membuatnya bekerja berat dan banyak pikiran saja sudah bisa menggugurkan kandungan menantunya itu.“Jahat sekali kau, Ibu!” cetus Zafar yang tiba-tiba muncul. “Apa maksudmu?” tanya Mirah.“Kau pikir aku tak tahu rencanamu pada Safira? Kau memang sengaja ingin Safira kegu
Safira tidak menghiraukan ibu mertuanya, ia berjalan terus ke kamar meskipun Mirah berteriak memanggilnya. Safira seolah menutup kupingnya sendiri, mulai saat ini ia hanya akan peduli pada diri sendiri.“Kenapa Ibu teriak-teriak?” tanya Sadam.“Entahlah, coba kau lihat sendiri.” Safira duduk di depan meja rias memandangi wajahnya yang masih sedikit pucat.Ia sama sekali tidak mengabari apa pun pada kedua orang tuanya. Mulai dari kehamilannya hingga keguguran beberapa hari lalu. Ia tak ingin membuat Aini dan Arif khawatir. Biarlah nanti saja kalau berkunjung ke rumah mereka, baru ia akan bercerita. Sadam pun keluar dari kamar menghampiri sang ibu yang masih mengoceh merutuki istrinya. Ia langsung menanyakan apa yang terjadi.“Istrimu itu benar-benar kurang ajar, Sadam! Ibu suruh nyuci baju malah ngeloyor aja,” ketus Mirah mengadu pada anaknya.“Untuk sementara Safira harus istirahat dulu, Bu,” bela Sadam.“Alah, cuci baju itu pakai mesin, tidak akan terlalu lelah,” cetus Mirah.Akhirn
Dada Safira masih naik turun menahan amarah yang sangat membara dalam dadanya. Ia memandang ke luar jendela mobil. Rintik hujan mulai turun malam itu seiring dengan air mata Safira yang akhirnya keluar juga dengan perlahan. Perempuan berkaki jenjang itu sangat kecewa pada sang suami yang masih saja tidak bisa tegas pada ibu mertuanya. Ia rasa Sadam memang tidak mau tegas. Kali ini Safira mendapat jawaban yang sebenarnya. Mulai saat ini Sadam bukanlah suami yang baik untuknya. Terasa sangat berat untuk dihadapi karena rasa cinta dan sayang Safira pada Sadam begitu besar. Namun, hatinya sudah hancur berkeping-keping karena balasan Sadam yang malah lebih memilih bersama perempuan lain. Untuk apa ia mempertahankan rumah tangga yang tidak bisa membuatnya bahagia lagi. Pengorbanannya selama ini ternyata hanya sia-sia, menahan rasa sakit akibat diperlakukan buruk oleh Mirah, diperas tenaga dan uang hasil keringatnya sendiri. Semua itu bentuk pengorbanannnya untuk tetap bersama Sadam. Ia pu
Safira menahan bapaknya yang mau pergi ke rumah Mirah malam ini juga. Bukan ia tak setuju dengan Arif, justru sangat bangga dengan bapaknya itu selalu membela dan melindungi anaknya, tetapi ini sudah malam, tidak enak kalau harus memancing keributan di sana. “Betul, Pak, besok saja. Sekarang sudah malam, kasihan Safira juga baru sampai di sini,” cegah Aini, melirik pada putrinya seraya mengusap bahu sang suami.“Tapi, Bu. Aku tidak terima anak kita diperlakukan buruk seperti itu. Mereka sudah sangat keterlaluan pada anak kita, Bu!” geram Arif yang masih marah dan kesal dengan kelakuan keluarga Sadam.“Ibu paham, tapi sebaiknya malam ini kita istirahat dulu. Besok pagi baru kita ke sana,” usul Aini. Setelah terdiam sejenak akhirnya Arif sedikit lebih tenang dan menuruti saran Aini juga Safira. Ia pun kasihan melihat putrinya yang terlihat sangat lelah dan membiarkannya untuk istirahat malam ini. Terpaksa pria itu menahan amarah yang berkobar dalam dadanya.Malam itu langit sangat ge
Mendadak Mirah sangat kesal dan tidak terima dengan ucapan Aini. Ia menurunkan kedua tangannya. Raut wajahnya yang sejak tadi meremehkan pasangan suami istri itu berubah masam.“Dengar baik-baik! Kami, terutama saya selalu memperlakukan anak kalian yang tidak jelas itu dengan baik. Seharusnya ia bersyukur tinggal di rumah ini bukannya menuduhku memperlakukannya dengan buruk,” geram Mirah membulatkan bola matanya.“Safira sudah menceritakan semuanya pada kami. Anda benar-benar tega pada menantu sendiri, istri dari anakmu sendiri. Safira diperas tenaganya untuk mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sampai-sampai harus kehilangan calon bayinya. Belum lagi Anda selalu mempermalukannya di depan orang lain. Satu hal lagi yang membuat saya tidak habis pikir, Anda malah mengenalkan perempuan lain pada suaminya dan itu sangat menyakiti hati anak kami,” tegas Aini menggebu seraya menahan air mata yang terus mendesak keluar membayangkan perih dan menderitanya hidup Safira selama tinggal bersa
Sadam menghela napas panjang seraya mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Tak pernah dibayangkan sebelumnya kalau ia harus berpisah dengan istri yang sangat dicintainya itu. Ia bertekad untuk memperbaiki semuanya dengan Safira. Pria itu berencana mengunjungi rumah orang tua sang istri.“Orang tua sama anak sama saja, kurang ajar! Tidak tahu terima kasih!” gerutu Mirah setelah besannya berlalu dari kediamannya itu.Bayang-bayang Safira masih terus menghantui kepala Sadam. Ia merasa tak akan sanggup kehilangan perempuan yang selama ini sudah menemaninya itu. Kepala Sadam terasa sangat pusing memikirkan semua masalahnya. Ia pun menyesali perasaannya pada Ayunda, hati kecilnya tak bisa dibohongi bahwa ia menginginkan perempuan cantik anak teman ibunya juga. Sadam merasa telah menjadi orang yang serakah. “Segera urus perceraianmu dengan perempuan sialan itu, sesuai dengan permintaan orang tuanya, Sadam!” geram Mirah.Kehilangan Safira bukanlah masalah untuk Mirah, justru ia sanga
Dua minggu berlalu Sadam sama sekali tidak mengunjungi keluarga Safira. Dalam hati kecilnya ia sangat ingin memperbaiki rumah tangganya dengan sang istri. Namun, sang ibu melarang dengan tegas kalau ia tidak boleh berhubungan lagi dengan Safira. Kehadiran Ayunda pun menambah Sadam lupa akan masalah dengan keluarga sang istri. Setiap malam tiba saat ia sedang sendirian di kamar, berkali-kali terbayang kenangan bersama Safira, tetapi ingatan itu menguap begitu saja terganti oleh bayangan Ayunda. Hati Sadam kini telah berubah haluan. Ia lebih memilih Ayunda dibanding memperbaiki semuanya dengan Safira.“Bawa kembali Safira ke rumah ini, Sadam! Aku lelah melakukan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini,” cetus Nala dengan wajah cemberut seraya menata baju-baju Sadam yang baru selesai disetrika ke dalam lemari.Semenjak tak ada Safira ibunya meminta Nala menggantikannya untuk melakukan semua pekerjaan di rumah. Ia merasa sangat kesal dan lelah. Nala hrus bangun lebih pagi untuk m