“Gimana, Nov, ada kan?” Bik Cici mengulangi lagi permintaannya.“Sekali lagi saya minta maaf, Bik. Saya belum bisa membantu.” Aku berkata dengan pelan dan hati-hati, supaya ia tidak tersinggung.“Bilang dong dari tadi kalau nggak mau bantu. Kamu malah ngajak saya ghibah disini. Capek-capek saya ngasih informasi banyak, nggak tahunya malah nggak dapat hasil.” Bik Cici malah ngomel-ngomel. Siapa juga yang butuh informasi, aku kan nggak minta. Dia saja yang dari tadi nyerocos nggak karuan.“Bukannya nggak mau, tapi belum bisa. Saya juga banyak keperluan.”“Apa kamu takut tidak saya bayar? Iya kan, bilang saja kalau kamu takut. Saya nggak seperti Mella yang suka pinjam uang tapi susah bayarnya.” Suara Bik Cici semakin tinggi, membuatku khawatir. Khawatir kalau sampai Mella mendengarnya pasti ia akan sedih.Aku hanya diam saja, malas meladeninya. Nanti malah merembet kemana-mana.“Bu, susu!” teriak Nayla tiba-tiba.“Iya, Nak, sebentar ya?” Aku menjawab permintaan Nayla.“Memangnya anakmu i
“Benar kan Bu yang saya katakan tadi?” Warti masih saja penasaran.“Memangnya kamu dengar ya suaranya Bik Cici tadi?” tanyaku.“Enggak, saya kan tadi sibuk bungkus nasi. Saya tadi cuma melihat Bik Cici masuk ke rumah Ibu.”“Kok kamu tahu yang dibicarakan Bik Cici?” Aku jadi penasaran, jangan-jangan memang tadi Warti menguping pembicaraan kami.“Ibu kuper sih, jadi nggak tahu ceritanya! Bik Cici itu hobinya ngutang, alasannya seperti itu. Banyak kok yang bilang. Katanya Isti dapat beasiswa, berarti kan kuliahnya nggak bayar. Kok pakai alasan untuk bayar kuliah Isti.” Warti memberi penjelasan.“Terus kalau dia pinjam uang itu dikembalikan nggak?” tanyaku lagi. “Dikembalikan sih, tapi lama sekali, kadang-kadang gak utuh. Soalnya dia itu bayarnya nyicil. Kalau nggak dicatat, dia akan bilang kalau hutangnya sudah lunas. Kalau pinjam dua juta, kembalinya hanya satu juta setengah.”Aku hanya manggut-manggut saja. Aku memang kuper gak tahu berita terupdate di dusun ini. Tahunya ya dari Warti
“Kok nggak percaya sama saya, nanti saya bayar, jangan khawatir.” Suara itu masih berusaha meyakinkan Bik Yani.Aku ragu, mau muncul di hadapan mereka atau enggak. Takut nanti malah membuat suasana menjadi semakin heboh. Karena yang datang dari itu adalah Bik Cici, aku hafal betul suaranya. Teringat ketika ia ngomel-ngomel mau pinjam uang nggak aku kasih.Drtt…drtt…ponselku berdering. Bakal ketahuan Bik Cici kalau aku ada disini. Aku pun keluar dari persembunyianku.“Halo?” Aku menerima panggilan dari Bang Jo.“Dimana, Dek?” tanya Bang Jo.“Belanja di warung Bik Yani sama anak-anak.”“Oh, ya sudah. Abang sudah di rumah.”“Oke, bentar lagi aku pulang.” Aku pun mengakhiri panggilan itu.“Oh, ternyata ada Nova? Kok tadi diam saja, sengaja menguping pembicaraan kami ya?” Bik Cici berkata sambil melihat ke arahku.“Saya sudah dari tadi disini, lagi nyari barang, Bik.” Aku menghampiri Bik Cici.“Betul, Mbak Nova sudah dari tadi disini.” Bik Yani menimpali ucapanku.“Oh.” Bik Cici memandangk
“Bang, ada masalah apa?” tanyaku lagi.“Banyak ikan mati karena di potas. Beberapa kolam bahkan mati semua ikannya.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Kolam kita?” “Bukan, kolam di dusun sebelah. Imbasnya ke kita. Pasti mereka akan menunggak membayar peletnya. Sedangkan kita sudah membayar cash ke agen.”Potasium cyanide atau dikenal dengan potas, yakni sejenis obat/cairan racun. Pemotasan ikan dianggap merupakan cara yang paling cepat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya ikan dalam waktu yang singkat. Atau juga karena ada yang iri dan sengaja memberi racun supaya yang punya kolam mengalami kerugian besar. Akibatnya, banyak ikan yang pingsan bahkan mati, baik yang sudah besar maupun yang masih kecil.Aku menghela nafas panjang.“Ketahuan nggak siapa yang menyebar potas itu?” tanyaku dengan penasaran.“Enggak ketahuan.” Bang Jo menggelengkan kepala.Jujur saja aku sedih mendengarnya. Uang yang aku harapkan bisa untuk membeli sesuatu yang selama ini kuinginkan, malah belum tahu kapan akan
“Mella.” Aku berusaha untuk memanggilnya lagi.Masih juga tidak ada respon, aku pun memegang bahunya sambil memanggilnya. Mella tampak kaget dan buru-buru mengusap kedua matanya.Aku duduk di sebelah Mella.“Mella, ada apa?” “Nggak ada apa-apa, Mbak.” Mella menjawab dengan pelan.“Jangan bohong padaku, apa yang kamu pikirkan?” Mella ragu untuk berbicara, aku pun mengangguk meyakinkannya untuk berbicara.“Aku sedih, Mbak. Ternyata setelah beberapa hari kejadian, masih banyak orang yang membicarakannya. Kemarin Bik Cici, juga orang yang di warung tadi. Apa yang harus aku lakukan, Mbak?” Mella berbicara dengan air mata yang menetes perlahan.“Tidak ada yang perlu kamu lakukan. Kamu diamkan saja, tidak usah pedulikan omongan orang. Memang aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tapi kamu harus kuat. Ada Sheila yang selalu membutuhkanmu. Nanti lama-lama kelamaan, orang akan lupa dengan sendirinya.” Aku berusaha membesarkan hatinya.“Memang tidak semudah apa yang aku katakan, tapi setidakny
“Ada apa, Bu?” tanyaku penasaran.“Tekanan darah Pak Johan sangat tinggi.” Bu Erni menyebutkan angka yang membuatku sangat kaget.“Setinggi itu?” Aku mengernyitkan dahi.“Iya, Mbak. Pak Johan harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau terlalu tinggi tekanan darahnya, nanti malah bisa stroke. Bukannya saya menakut-nakuti lho?” Bu Erni menjelaskan.“Iya, Bu. Saya tahu.” Aku mengiyakan penjelasan Bu Erni, karena aku memang pernah membaca tentang penyebab stroke.“Apakah Ayah saya baik-baik saja Bu?” tanya Dewi, terlihat sekali kalau ia sangat cemas dengan kondisi ayahnya.“Ayah nggak apa-apa, Dewi, hanya kecapekan saja.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Insyaallah baik-baik saja, nanti saya kasih obat. Apa Pak Johan dirawat di klinik saja?” Bu Erni menawarkan pada Bang Jo.“Nggak usah, Bu. Saya dirawat di rumah saja.” Bang Jo ikut berkomentar dengan suara yang pelan.“Pak Johan masih rutin minum obatnya kan?”“Sudah lama nggak minum, Bu,” sahut Bang Jo.“Pak, obat hiperte
“Assalamualaikum.” Terdengar suara orang mengucapkan salam, ketika aku menutup pintu. Aku pun membuka pintu lagi. Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang datang.“Angga?” Aku memastikan kalau yang datang itu benar-benar Angga.“Iya, Bu. Ini Angga.” Angga mendekatiku dan mencium tanganku.Angga terlihat agak berbeda dari biasanya. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi, badannya agak kurus dan pucat. Makanya tadi aku sempat tidak percaya kalau Angga pulang.“Ayo, masuk.” Aku mengajak Angga masuk. Angga hanya mengangguk.“Pulang kok nggak bilang-bilang. Kamu nggak sekolah? Mana tasmu?” tanyaku ketika Angga sudah duduk di sofa.Angga hanya diam, ia menunduk. Sepertinya ada yang tidak beres.“Ada apa, Angga? Kamu punya masalah?” Angga mengangguk. Jantungku terasa berhenti berdetak. Bang Jo belum sehat, sekarang malah Angga punya masalah.“Angga kabur, Bu.” Suara Angga terdengar bergetar. Aku semakin syok mendengarnya. Kalau sampai Bang Jo tahu, pasti akan membuat tekanan darahnya naik la
“Bagaimana, Bu?” tanya polisi itu lagi.“Saya nggak tahu, Pak.” Aku menjawab apa adanya, karena memang tidak terlintas di pikiranku apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Pikiranku sudah dipenuhi dengan berbagai masalah yang dari kemarin datang silih berganti.“Mbak Nova, apa yang akan Mbak Nova lakukan setelah visum nanti? Mau melaporkan pihak pesantren atau bagaimana?” Gantian Pak Kades yang bertanya.“Mungkin saya hanya butuh permintaan maaf dari pelaku dan pengasuh pesantren karena lemah dalam pengawasan. Kalau mau menuntut pelaku, percuma. Keluarga saya tidak akan mendapatkan apa-apa dan pasti lebih kecewa. Nanti dengan dalih anak masih dibawah umur, pelaku tidak akan dihukum.”“Betul juga kata Mbak Nova, pelaku masih dibawah umur.” Pak Kades menimpali ucapanku.“Dan saya yakin kalau pihak pesantren akan tetap memihak pada pelaku karena masih ada hubungan keluarga.” Aku melanjutkan ucapanku.“Oke, nggak apa-apa kalau itu keinginan Ibu. Jadi maksud Ibu, visum ini akan Ibu gunakan