Selesai makan malam, kami ngobrol di ruang tamu. Rama dan Nayla ada di ruang keluarga menonton televisi."Septi, apa Ammar serius sama kamu?" tanya Pak Edi membuka pembicaraan."Iya, Pak," jawab Septi."Kapan-kapan ajak dia kesini, Bapak mau ngobrol-ngobrol dengannya," kata Pak Edi lagi.Septi tampak tersenyum bahagia, karena sepertinya Pak Edi mendukungnya."Untuk apa, Pak. Dia yang sudah membuat Septi melawan sama Ibu," seru Ibu tiba-tiba. Terlihat sekali kalau Ibu tidak menyukainya."Melawan bagaimana, Bu?" tanya Pak Edi lagi."Septi nggak nurut lagi sama Ibu," sahut Ibu dengan ketus."Bu, Septi itu sudah besar. Dia sudah tidak bisa kita atur sesuka hati. Dia bukan Rama dan Nayla yang harus nurut dengan kita. Dia juga berhak menentukan masa depannya sendiri. Kita sebagai orang tua, hanya bisa memberi saran, tapi tidak boleh memaksakan saran kita harus diterima. Bapak lihat Ammar itu orangnya baik," kata Pak Edi berusaha memberi pengertian pada ibu. Aku hanya mendengarkan saja perde
"Mbak, nanti kalau aku ke rumah Bapak, Mbak Nova menemani aku ya? Aku takut," kata Nova sebelum kami tidur. Aku senang, akhirnya Ibu dan Septi bisa rukun lagi. Tadi, aku, Ibu dan Septi bicara dari hati ke hati. Ibu belajar untuk memaafkan kelakuan Bapak. Berdamai dengan masa lalu, seperti kata Pak Edi. Ternyata damai itu indah. Ibu juga sudah mengizinkan Septi untuk menemui Bapak dan Ibu Sis. "Takut apa? Takut nggak diterima? Kamu itu khawatir yang berlebihan. Insyaallah kalau niat kita baik, semua juga akan baik-baik saja. Kalau mau kesana, mampir dulu ke rumahku. Nanti kita sama-sama ke rumah Bapak," jawabku. Septi mengangguk, kemudian memelukku."Maafkan aku ya Mbak. Selama ini aku membenci Mbak Nova. Hanya karena Mbak Nova dekat dengan Bapak. Seharusnya aku bangga punya kakak seperti Mbak Nova. Karena Mbak tetap baik denganku, walaupun aku sering berkata ketus setiap Mbak bertanya. Maafkan aku," ucap Septi sambil meneteskan air mata."Aku sudah memaafkanmu. Aku tahu, kamu itu h
Setelah sholat Ashar, aku dan Bang Jo ke rumah Deni. Untuk menjenguk Mella, sekalian membawakan oleh-oleh dari dusun. Aku berharap kedatanganku kali ini tidak akan terjadi keributan. Tujuanku baik, hanya kadangkala Mella tidak bisa berfikir positif. Selalu menganggap aku sebagai musuh bebuyutan.Memasuki halaman rumah Bapak dan Emak, terasa sangat berbeda. Biasanya rumah ini ramai karena Emak sering merepet. Rumah juga tampak seperti tidak diurus. Di halaman banyak daun kering yang berserakan. Kalau ada Bapak, daun-daunan kering ini dikumpulkan lalu dibakar. Jadi kelihatan bersih. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi Emak nanti ketika pulang. Akan merepet panjang atau sudah jadi alim ya?"Assalamualaikum." Bang Jo mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Suara perempuan menjawab salam, yang jelas bukan suara Mella. Berarti suara…."Eh ada tamu dari jauh. Ayo masuk," kata Bu Tari."Iya Bu. Apa kabar Bu?" tanyaku basa-basi."Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sanggup mengurus Mel
"Dan Ingat Mella, kalau kita berpisah kamu tidak mendapatkan apa-apa. Nggak ada harta gono-gini. Karena memang kita nggak punya apa-apa. Semua ini karena siapa? Kamu kan sumber masalahnya. Dulu uang gaji selalu aku berikan padamu. Tapi apa? Semua malah untuk foya-foya, sampai-sampai jatah untuk Emak tidak pernah kamu berikan. Apa bukan kamu yang menantu durhaka? Tuh, panci-panci dan Tupperware koleksimu. Apa semua itu bisa dijual? Mending kamu koleksi emas, bisa untuk investasi. Yang kamu beli malah emas imitasi. Untuk apa? Untuk gaya-gayaan saja?" kata Deni panjang lebar.Bu Tari dan Mella masih terdiam mendengar ucapan Deni. Sebenarnya kasihan melihat Mella, tapi kelakuannya memang benar-benar membuat emosi. Terungkap fakta baru, ternyata emas-emas yang dipakai Mella selama ini hanya imitasi. Memalukan saja, aku tersenyum dalam hati. Takut mereka akan emosi jika aku tersenyum lebar. Apa aku jahat ya, bahagia diatas penderitaan Mella?"Ayo Bang, Mbak, keluar saja. Kalau disini terus
Adzan subuh berkumandang, aku segera membereskan pekerjaanku di dapur. Kulihat Bang Jo juga menghentikan aktivitasnya.Bang Jo pergi ke masjid untuk shalat subuh. Aku juga bersiap-siap untuk shalat, setelah tadi membersihkan diri dengan berwudhu. Pintu kamar Dewi juga terbuka, menandakan ia sudah bangun.Aku senang melihat kondisi keluargaku akhir-akhir ini. Bang Jo yang rajin berjamaah di masjid, anak-anak yang penurut, Ibu dan Septi yang sudah akur. Tak henti-hentinya aku bersyukur dan selalu berdoa untuk keluargaku. Semoga selalu dalam lindungan Allah.Aku melanjutkan aktivitasku lagi. Dewi dan Intan juga melakukan aktivitas pagi. Tak lama terdengar suara Bang Jo yang mengucapkan salam. Aku dan anak-anak menjawab salam. Ternyata Bang Jo tidak sendirian, tapi bersama dengan Deni. Aku heran melihat Deni tampak memakai sarung dan kopiah. Berarti ia juga berjamaah di masjid. Alhamdulillah.Segera aku membuatkan kopi untuk Bang Jo dan Deni. "Intan, tolong kopinya dikasihkan Ayah ya?" p
"Kenapa kok Mama menyuruh Sheila?" tanyaku penasaran, tentu saja dengan sedikit kesal."Mama sedang berobat sama Nenek. Papa kerja, jadi Sheila nggak ada teman di rumah," kata Sheila.Dhuar. Aku seperti mendengar sesuatu yang menghantam hati dan pikiranku. Aku sudah suudzon dengan Mella. Ternyata aku salah. Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Kenapa Deni atau Mella tidak memberitahu, kalau mau menitipkan Sheila disini?"Oh, Mama sakit lagi ya?" tanyaku."Iya, katanya kakinya masih sakit. Tahu nggak, Bude. Kalau kaki Mama yang sakit itu, baunya busuk sekali, sampai Sheila sakit perut kayak mau muntah.""O ya? Terus Sheila waktu tidur, gimana? Katanya Bau." Aku bertanya lagi."Sheila nggak tidur sama Mama, tapi sama Papa di kamar Makwo."Berarti benar kata Bang Jo, kalau bau busuk di kamar Mella itu, disebabkan karena luka pada kaki Mella. Kok Mella betah ya? Atau mungkin ia sudah terbiasa dengan bau itu."Bu, beli es krim ya?" pinta Nayla karena mendengar suara penjual es krim keliling."Y
"Hebat kamu, Dek. Berani berkata seperti itu pada Bu Tari," ucap Bang Jo, ketika masuk ke dalam rumah.Aku sedang duduk di ruang keluarga, sambil mengawasi anak-anak bermain."Habisnya aku kesal sekali, Bang. Orang kok nggak pernah bisa bersyukur. Bisanya hanya mengeluh dan meremehkan orang lain. Merasa dia paling hebat sendiri. Aku nggak ikhlas Deni disepelekan seperti itu. Deni sudah susah payah kerja demi anak istri, masih saja dianggap nggak becus ngurus anak istri. Memangnya Abang nggak kesal, adik sendiri disepelekan?" jawabku sambil nyerocos, menandakan kalau aku sedang kesal sekali. Apalagi jika ingat kejadian tadi."Abang juga nggak ikhlas, Dek. Tapi nggak etis lah kalau laki-laki berdebat dengan perempuan seperti itu. Takutnya nanti malah Abang semakin emosi. Tapi kekesalan Abang sudah terwakili Adek tadi," kata Bang Jo sambil tersenyum."Pantesan Mella orangnya seperti itu, keturunan dari ibunya. Kasihan Deni ya? Bebannya jadi bertambah karena Bu Tari ada disini.""Habis ma
Drtt...drtt ponselku berbunyi lagi. Aku menjauh dari Bang Jo, Deni dan Bu Tari."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika menerima panggilan di ponsel."Waalaikumsalam, apa kabar, Mbak," jawab Aisyah."Alhamdulillah kabar baik, gimana keluarga disana?" ucapku lagi."Alhamdulillah, sehat semua, Mbak. Aku tadi menelpon Bang Jo, tapi nggak diangkat.""Oh, dia lagi asyik ngobrol sama Deni. Mungkin nggak kedengaran.""Oh, ada Deni ya disitu?""Iya, Bu Tari juga.""Apa? Bu Tari ada disitu?" Sepertinya Aisyah kaget mendengar ucapanku."Iya. Beliau kan merawat Mella.""Oh iya? Mbak, rencana besok, Bapak dan Emak akan pulang. Aku dan Mas Arman yang mengantarnya."Aku kaget mendengar ucapan Aisyah, wah bakal jadi keributan besar kalau Emak pulang dan disitu ada Bu Tari."Oh, gitu ya? Jam berapa mau berangkat?" tanyaku lagi."Agak siang, mungkin jam sepuluh.""Ya, nanti aku sampaikan sama Bang Jo dan Deni.""Oke, Mbak. Aku hanya mau mengabari itu saja. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." A