"Oh. Maaf. Mbak gak tahu.""Biasa kok mbak. Lagian aku juga yang milih ikut mas Haidar daripada sama ibu dan bapak. Gak enak."Aku menatapnya tak tega. Ternyata, Haidar tidak seperti yang aku bayangkan. Maksudku, aku pikir dia masih mempunyai keluarga lengkap. Ternyata, bahkan ada yang nasibnya sama denganku. Kehilangan orang tua. Teringat sesuatu, aku mengernyit heran."Loh, tapi.... Bukannya kakakmu pernah mondok ya? Terus saat itu kamu ikut siapa?""Ikut mas Haidarlah, mbak. Orang aku nyamannya sama dia." "Oo... Kamu di asrama putri, dan dia di asrama putra, begitu?""Enggaklah. Aku tidur bareng dia. Waktu itu umurku baru enam tahun, mbak. Aku nangis maksa buat bareng sama mas Haidar. Dan ya... Akhirnya dibolehin deh. Hehe.""Aneh-aneh kamu.""Kalau gak kayak gitu, gak bakal dibolehin, mbak.""Iya juga sih. Terus, pernah dengar juga, kakakmu kan kuliah di Amrik?""Yups. Beasiswa itu. Dia seneng cari ilmu emang. Biaya sekolah nyari sendiri, kuliah juga nyari sendiri. Bahkan pas di
"Eh! Mbak gak kenapa?!" Aku menggeleng. Untung ada Niswah, kalau tidak mungkin aku sudah terjerembab di lantai. Aku menoleh dan perempuan yang menyenggolku tadi nampak berbicara dengan seseorang yang ada di mobil. Tidak nampak itu siapa. Karena posisi kami yang berada di belakang mobil itu, dan dalam jarak sejauh ini."Heh! Kamu!"Dia menoleh. Tapi saat itu juga netraku membulat. Bersamaan dengan dia yang juga sama terkejutnya."Ri... Riri!" pekikku spontan."Mbak kenal?""Ri! Tunggu!" Riri justru berlari menghindariku. Aneh sekali dia. Lagipula aku dan mas Angga sudah tidak bersama, kenapa dia harus mengindar coba. Dan lagi, wajahnya tadi seperti ketakutan. Hey!aku bukan pembunuh atau orang jahat. "Mbak kenal orang itu?"Aku mendesah kesal."Kenal. Tapi gak penting."Niswah baru mengikutiku beberapa saat kemudian, mungkin dia bingung dengan kecuekanku yang tiba- tiba. Maaf, Nis. Mbak cuma kesal dengan dia. Kenapa coba harus kabur? Bikin tersinggung saja.Namun beberapa langkah kem
"Mbak?"Aku tergagap. Bisa-bisanya malah melamun."A... Iya, Nis. Semoga lancar ya?""Lancar?" Aku tersenyum meski Niswah juga tidak tahu."Iya. Ya udah. Mbak lagi kerja. Kamu yang hati-hati.""O, iya mbak. Makasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Mendadak moodku turun. Eish! Kenapa sih aku? Itu kan hak Haidar untuk bertemu jodohnya. Lagipula pria itu juga cukup dewasa. Kenapa aku kepikiran? Tidak mungkin aku menyukainya secepat ini. Ish! Pasti baper gara-gara malam itu. Tidak! Ini bukan cinta, melainkan kekaguman semata.*****Moodku sedikit turun gara-gara pikiranku sendiri. Aneh memang. Kenapa wanita harus tercipta suka overthinking, dan moody-an? Sesuai rencana, sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan menuju alamat yang dikirim oleh orang yang kusuruh kemarin.Sebuah gang sempit dan kumuh. Aku menarik napas. Miris rasanya membayangkan mas Angga tinggal di tempat seperti ini setelah kenyamanan yang lama kita lalui bersama. Ku parkir mobil di halaman salah
Baru selesai mandi. Rasanya tubuh kembali bugar. Namun pegal-pegal di badan masih terasa. Baru akan hilang setelah dibawa tidur. Kuambil sisir dan berjalan ke arah jendela. Membuka tirai nya lebar. Menyisir rambut sembari memandangi pemandangan luar. Hingga ketukan di pintu membuatku menoleh."Mbak! Mbak Din!""Ya! Tunggu sebentar.""Mbak. Hehe.""Ngapain cengar cengir, Nis?""Anu, mbak. Boleh ya, mas Haidar nginep disini? Semalem aja. Soalnya---""Iya, gak papa sih.""Bener mbak? Mbak gak khawatir kalau ada yang ngerasani mbak kan?""Iya. Disini gak ada yang peduli dengan tetangga, Nis. Sibuk dengan urusan masing-masing. Kamu gak usah khawatir. Lagian kan ada kamu, bukan cuma aku dan Haidar yang di rumah. Gak papalah. Mas mu juga orang baik kan?""E ya gak terlalu baik juga sih mbak. Dia--""Udah gak papa. Depan kamar mu itu kan ada kamar kosong. Masmu suruh tidur disana aja.""Iya, mbak. Makasih ya."Aku tersenyum, mengangguk."Oh ya. Tunggu sebentar."Aku berbalik dan membuka lemar
Tak dinyana, hujan masih mengguyur hingga pagi ini. Aku bahkan sampai terlambat bangun gara-gara mimpi buruk tadi malam. Aku sempat terbangun dengan napas tersengal dan keringat mengucur deras. Di saat itu, hujan terdengar di luar. Namun tidak dengan keadaanku yang benar-benar kacau. Mimpi itu terasa nyata. Menimbulkan parno berlebihan. Aku sampai tidak berani untuk tidur lagi. Terjaga dengan perasaan was-was karena dihantui mimpi itu. Menuruni tangga dengan tidak semangat. Rasanya mimpi itu menarik seluruh semangatku. Tapi, aku harus beraktifitas. Bangun pukul enam, sampai shalat saja telat. "Morning mbak Dinda."Senyum lebar Niswah adalah hal baik yang pertama menyapa sejak bangun tadi. Disampingnya kakaknya juga duduk meski tak menyapaku. Di meja makanan, sarapan sudah terhidang. Namun tatapku kembali memandang pria itu. Rasanya perasaanku bergemuruh. Rasa takut yang sedemikian besar membuat dadaku sesak."Hehe. Maaf ya, mbak. Niswah lancang tadi bikin sarapan sama mas Haidar. So
"Astaga... Aku ganggu kalian tidur berarti.""Kalau mas Haidar mah enggak. Dia emang jam segitu biasanya udah bangun. Shalat malam. Tapi serius deh. Mas Haidar cuma diem aja di depan kamar mbak Dinda. Kayaknya dia juga bingung. Kan kamar mbak Niswah ditutup."Benar juga. Tapi, itu berarti mereka tahu kalau aku tadi malam mimpi buruk. Tapi, Haidar sampai ke kamarku? Ya Tuhan... Kenapa perasaanku mendadak mencelos."Mbak mimpi apa sih?""Bukan apa-apa. Ya biasalah. Kadang mimpi buruk kebawa sampai ke dunia nyata.""Pasti gara-gara itu, mbak bangun kesiangan?"Aku terkekeh."Terus, jangan bilang mbak juga minta mas Haidar tinggal bareng karena mimpi juga."Aku tersenyum. Menatap gadis itu lembut, lalu mengangguk."Ah... Ternyata mimpi buruk efeknya gede juga ya. Mbak Dinda aja sampe parno.""Haha. Ya gak pasti sih, Nis. Cuma itu kan karena rasanya nyata banget. Mbak jadi takut.""Kalau itu alasannya, aku rayu mas Haidar aja deh. Biar mau tinggal di rumah mbak juga.""Jangan Nis. Biar saj
"Mas Angga, tolong siapkan ruangan untuk rapat nanti.""Baik, pak."Aku, Angga Saputra, mantan direktur Golden Future kini beralih status menjadi office boy di salah satu perusahaan kecil. Huft... Tidak apa, namanya juga usaha. Memulai dari awal bukan masalah. Dulupun begitu, posisi awalku saat pertama kali menginjakkan kaki di Golden Future adalah kepala bagian gudang. Yah, meski itu lebih tinggi dari posisi disini.Dinda Arumi Bahril. Sosok yang aku kagumi sejak pertama kali bertemu. Saat itu dia dengan senyum manisnya, diperkenalkan oleh bang Aldi, kakaknya sekaligus bossku. Cantik, cerdas, baik hati, kaya raya, ramah. Sungguh, sosok yang sempurna untuk dikagumi. Kedekatan kami yang diawali dengan malu-malu, ternyata berbuah lain. Kami menikah setelah pacaran beberapa bulan.Kepada ayah dan ibu di rumah, aku katakan bahwa sekarang aku sudah sukses. Punya rumah, perusahaan, dan properti lainnya. Demi membuat bangga orang tuaku. Selama ini kami diejek miskin oleh tetangga sekitar. S
"Papa pulang..."Tak ada sahutan dari salamku. Semenjak pindah ke kontrakan ini, memang keadaan benar-benar berubah. Ibu sekarang lebih banyak diam. Mungkin karena lelah omelannya tidak kudengarkan. Ibu marah karena perkataannya untuk merebut kembali harta itu tidak kudengarkan. Bukan apa-apa, aku masih sadar diri bahwa itu bukan hartaku. Juga ego yang tinggi setelah janji yang ku ucapkan saat itu. Bahwa tidak akan membawa sesuatu saat pergi.Riri, dari awal juga hubungan kami sebatas papa mama untuk Vino. Dia sering pergi. Katanya mencari kerja. Tak masalah. Aku tidak melarangnya. Lagipula itu hidupnya. Aku tidak mau membatasinya. Hanya si kecil Vino yang tak pernah berubah. Menjadi pelipurku dikala penat menyapa."Riri belum pulang, Bu?"Kucium dahi Vino yang terlelap di kasur lantai. Mungkin dia lelah seharian bermain."Ngapain kamu nanya-nanyain Riri?""Ya kan Riri sekarang istri Angga, Bu. Jadi harus tahu keberadaannya.""Halah! Ibu kesel sama kamu. Masak penghasilan malah gedea