Safiyya menatap gedung-gedung tinggi sepanjang jalan menuju kantor barunya. Ia menarik nafas dalam, terasa masih seperti mimpi karena tiba-tiba terbangun di pagi hari dengan hiruk pikuk kota Jakarta yang menyambutnya.Sebenarnya Safiyya merasa agak janggal karena tiba-tiba saja ia dipindahkan ke kantor pusat tanpa pemberitahuan lebih dulu. Ia masih ingat betul bagaimana Yusuf dan semua rekannya di sana terus-terusan protes. Bahkan ia pun tanpa lelah coba membujuk Yusuf agar tak membuatnya pergi dari Surabaya. Safiyya sudah merasa nyaman di sana karena semua temannya baik. Tapi Yusuf bilang ia tak bisa berbuat apa-apa karena atasan langsung yang memintanya.Satu hal yang masih terngiang di telinga Safiyya, sebelum ia pergi Yusuf tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat dirinya harus berpikir sangat keras."Aku akan menyusulmu ke sana secepatnya untuk memperjuangkan cintaku. Meski harus menghadapi suami mu secara langsung!"'Gila' satu kalimat yang saat itu ingin Safiyya lontarkan pada
Sepanjang jalan menuju rumahnya di bilangan Jakarta Selatan, Safiyya berusaha berpikir dengan jernih. Bayangan ketika Nalen memeluknya membuat Safiyya tanpa sadar tersenyum.Ia masih merasa semua kejadian tadi adalah mimpi. Bisa-bisanya selama ini ia tak tahu bosnya adalah Nalen. Memang selama ini yang sering datang ke kantor cabangnya, hanya utusan dari kantor pusat.Safiyya mengingat lagi semua keanehan kemarin saat dirinya baru pulang dari liburan, dan alasannya di- rolling ke kantor pusat.Andin dan semua temannya menyambut kedatangan Safiyya dengan wajah ceria. Mereka bahkan menyiapan sebuah pesta kejutan untuknya."Ini ada apa? Siapa yang ulang tahun?" tanya Safiyya heran."Ini pesta kejutan buat kamu, sekaligus pesta untuk melepas kepergian kamu ke kantor pusat. Mulai besok kamu akan dipindah ke sana. Selamat kamu akan lebih dulu bertemu wakil direktur kita yang tampan dan kaya raya."Perkataan Andin membuat Safiyya kaget. Ia sama sekali tak menyangka semua ini akan terjadi. Bu
Nalen baru saja turun dari angkot yang membawanya mengelilingi kota Jogja, kota kelahiran ayahnya. Dulu saat masih di Jakarta Nalen sering sekali bolak-balik ke sini jika libur sekolah. Alasan ia begitu menyukai tempat ini adalah kesederhanaan orang-orangnya.Begitupun ketika sang ayah menyusul ke Austalia dan menyuruhnya pulang ke Jakarta, Nalen malah lebih memilih pulang ke kota ini dulu alih-alih langsung menemui sang ayah. Entah hal apa yang membuatnya begitu mencintai Jogjakarta.Nalen baru saja melewati sebuah gang sepi ketika ia melihat beberapa gadis berseragam SMA sedang mem-bully temannya. Nalen diam, ia mengamati sejenak kejadian itu tanpa berniat melerai. Baginya yang sudah terbiasa tinggal di Australia, ikut campur urusan orang adalah hal yang tak pernah dilakukan.Nalen hendak melangkah pergi ketika salah satu dari mereka tiba-tiba melayangkan tamparan pada gadis yang di-bully. Belum cukup sampai disitu, satu temannya yang lain mendorongnya dengan keras. Lalu menyiramnya
Safiyya menarik nafas dalam dan melangkah masuk ke kantornya dengan yakin. Ia sudah memutuskan akan bersikap profesional, dan mengabaikan hubungannya dengan Nalen. Juga menyingkirkan segala ketakutannya.Setelah mempertimbangkan semua saran Gibran, ia berpikir bahwa kata-kata adiknya benar. Safiyya tak mungkin terus-terusan melarikan diri.Baru hendak menekan lift, sebuah suara tiba-tiba memanggilnya. Jantung safiyya seperti mau copot karena mengira itu Nalen. Tapi ketika ia berbalik, senyum Yusuf lah yang menyapa."Assalamualaikum, Calon Istri," gurau Yusuf sambil berjalan mendekati Safiyya. Senyum masih tak lepas dari bibirnya. Laki-laki itu terlihat sekali tak bisa menahan kebahagiaan karena akhirnya berhasil menyusul Safiyya."Pak, Yusuf, kenapa bisa di sini?" tanya Safiyya dengan nada tak percaya. Ia senang karena akhirnya ada teman lamanya yang ikut dipindah. Dengan begitu Safiyya tak perlu bingung lagi saat makan siang nanti sebab ada Yusuf yang bisa menemaninya. Safiyya tak mu
"Iya, Pak. Saya akan menyuruhnya ke atas." Inggrid menutup panggilan dan menghembuskan napas lelah. Sudah lebih dari tiga kali Nalen menghubunginya hanya untuk menyuruh Safiyya menghadap. Ia benar-benar tak mengerti ada apa sebenarnya di antara mereka. Meski malas Inggrid pun akhirnya bangkit dari duduk dan menghampiri Safiyya."Saf, Pak Nalen manggil kamu lagi tuh," ujar Inggrid lalu berlalu pergi.Ucapan Inggrid membuat semua orang menatap Safiyya penasaran. "Sebenarnya kamu sama Pak Nalen ada hubungan apa, Saf? Kok dia kayaknya sejak lo datang jadi sering ngurusin divisi kita?" tanya Felis, rekan Safiyya."Hooh bener, nggak biasanya Pak Nalen gitu. Tapi, ngomong-ngomong kamu nggak takut apa didatengin sama sekretarisnya yang bule itu. Kan udah jadi rahasia umum kalau mereka terlibat asmara."Kata-kata Silvi, rekannya yang lain, membuat Safiyya terdiam. Haruskah ia bicara yang sebenarnya pada semua orang bahwa Nalen suaminya? Tapi jika dirinya jujur kantor ini bisa-bisa heboh."Eh,
Setelah melepas Safiyya kembali untuk bekerja, Nalen pun memutuskan untuk menghubungi Maira. Ia harus tahu sebenarnya apa yang wanita itu katakan pada istrinya. Nalen mengontak Maira melalui akun sosmednya ketika wanita itu terlihat aktif.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Maira bersedia mengangkat panggilan itu. Nalen mengucap salam sebelum bicara tujuannya menghubungi."Waalaikumsalam, kenapa?" jawab Maira ketus."Sebenarnya apa yang kamu katakan pada Safiyya? Kenapa dia bilang kalau kita akan menikah?" tuntut Nalen. Ia agak sedikit kesal dengan kebohongan wanita di seberang.Maira terdiam, ia agaknya tengah berpikir. "Apa takdir benar-benar mempertemukan kalian lagi?" tanya Maira. Tapi karena Nalen tak menjawab ia pun melanjutkan kata-katanya."Wah ... aku benar-benar salut. Ternyata benar, mau sejauh apapun perginya kalau jodoh pasti bertemu." Maira terdengar takjub.Nalen memutar mata jengah karena Maira malah membahas masalah tak penting. "Jangan mengalihkan pembicaraan,
"Hati-hati, ya, Sayang. Nanti Bu Ani akan jemput kamu. Jadi sebelum dia datang kamu jangan kemana-mana. Ok," ujar Safiyya pada Nafis.Gadis kecil itu mengangguk semangat, lalu mencium punggung tangan Safiyya sebelum berlari masuk dengan langkah kecilnya yang ceria. Sudah dua minggu ini Nafis sekolah di sana.Safiyya tersenyum menatap kepergian putrinya hingga Nafis benar-benar menghilang.Tak berapa lama saat hendak memasuki mobil, notifikasi pesan terdengar. Ternyata room chat dengan Silvi dan Felis lah yang membuat ponselnya gaduh dari pagi. Safiyya hanya melirik layar ponsel sekilas tanpa berniat membuka."Dahlah aku lihat nanti aja. Udah siang," gumam Safiyya lalu kembali memasukan ponsel ke tas. Hari ini ia terlihat cantik dengan tunik brokat berwarna nude bermotif bunga-bunga kecil, dipadukan dengan kulot jeans berwarna snow blue dan hijab yang senada tunik.Begitu sampai di kantor ternyata Felis dan Silvi sudah menunggu kedatangannya di depan lobi. Keduanya tergesa-gesa mengham
"Sayang, hari ini bagaimana sekolahnya? Kamu udah punya teman baru belum?" tanya Safiyya pada putrinya yang tengah belajar di ruang tengah. Safiyya terlihat baru saja pulang dari kantor."Udah, Bunda."Safiyya menautkan alis ketika putrinya menjawab pertanyaan dengan nada lesu. Raut wajahnya pun terlihat murung."Loh, kok Nafis sedih. Ada apa, Sayang? Bicara sama Bunda."Mau tak mau Nafis pun menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Sudah pasti kali ini Nafis akan kembali menanyakan tentang ayahnya."Nafis sedih, Bunda. Tadi temen-temen Nafis dijemput papanya. Mereka bilang mau diajak jalan-jalan dan makan bersama. Terus temen-temen pada nanya, papa Nafis ke mana? Nafis sedih, Bunda." Nafis menangis dengan kencang setelah mengatakan itu.Hati Safiyya kembali seperti di sayat-sayat saat mendengar perkataan Nafis. Ia pun memeluk sang putri agar merasa lebih tenang."Ssst ... Nafis nggak perlu sedih. Besok Nafis akan bertemu Papa. Bunda janji."Mendengar perkataan itu, Mata Nafis kembali