"Safiyya, aku sudah bilang, kan, jangan dekati Nalen. Kenapa kamu masih saja keras kepala. Saya bisa melakukan apapun kalau kamu masih berusaha mendekatinya," ancam Anna pada Safiyya ketika wanita berhijab itu masih sibuk dengan pekerjaan.Anna mengetahui semua pertemuan mereka di cafe semalam. Bahkan ia melihat dengan mata kepala sendiri ketika Nalen berciuman mesra dengan Safiyya. Anna dan Nalen sebelumnya memang sudah berjanji akan bertemu untuk makan malam bersama. Tapi tak disangka ia justru harus melihat Safiyya dan putrinya di sana. Anna akhirnya urung masuk dan lebih memilih menunggu mereka di mobil. Bahkan hingga mengikuti ke rumah.Safiyya mendongkak dan menatap Anna tanpa minat. Ia tak ingin meladeni wanita berambut pirang itu. Selain karena pekerjaannya belum beres, ia juga tak ingin menimbulkan kegaduhan."Safiyya, jawab saya!" seru Anna emosi, karena ia merasa diabaikan. Tak cukup sampai di situ, Anna pun merebut dokumen yang tengah Safiyya kerjakan agar wanita itu menga
Safiyya terlihat mondar-mandir di depan sebuah restoran malam ini. Ia tengah menunggu kehadiran Nalen yang berjanji akan datang untuk makan malam bersama.Terakhir kali Nalen menghubungi, sang suami menyuruh Safiyya dan putrinya untuk menunggu di restoran lebih dulu, karena ia harus memastikan kondisi Anna. Sejujurnya perasaan Safiyya benar-benar campur aduk sekali. Antara khawatir, takut dan cemburu jadi satu. Wanita mana yang tak akan sakit hati saat suaminya lebih peduli pada wanita lain? Akankah kisah masa lalu juga akan terulang lagi? Dimana Safiyya harus melihat Nalen kembali memilih lebih memperdulikan Anna?"Bunda, kok Papa nggak datang-datang?" tanya Nafis dengan tatapan sedih.Safiyya pun gegas mendekati putrinya untuk memberi pengertian. "Sabar, ya, Sayang. Bunda yakin Papa akan datang. Dia pasti masih ada urusan."Meski berat akhirnya Nafis pun mengangguk. Tak berapa lama seorang wanita mengenakan setelan kulot warna mint masuk. Safiyya memicingkan mata guna memastikan bah
Nalen masuk ke rumah dengan langkah gontai. Ia masih mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. Memikirkan Safiyya dan Nafis terluka ia benar-benar merasa tak tenang.Ketika baru saja akan menaiki tangga, terdengar suara Aidan menegurnya."Kamu sudah pulang?"Nalen pun akhirnya memilih mendekati sang ayah. Ia butuh saran untuk semua masalah rumit yang sedang dihadapi."Bagaimana Anna? Apa dia baik-baik saja?" Aidan sempat kaget saat Nalen mengabari bahwa Anna masuk ke rumah sakit karena mencoba bunuh diri.Nalen menarik nafas dalam sebelum menjawab. "Dia sudah lebih baik. Tapi semua semakin kacau, Pa. Safiyya dan Nafis melihat Anna memelukku. Aku bingung harus bagaimana melihat Anna seperti ini. Dia terus mengancam akan bunuh diri jika aku menyuruhnya pergi. Padahal aku berencana ingin mengajak Safiyya dan Nafis tinggal bersama. Aku bahkan berencana melakukan ijab qobul ulang dengannya. Sekaligus melaksanakan resepsi."Aidan menatap putranya prihatin. "Besok Papa akan membant
"Bye, Sayang, kamu baik-baik di sekolah, ya. Jangan berantem," ujar Nalen pada Nafis kemudian bangkit dari posisi jongkoknya."Oke, Papa, Bunda, daaaah!"Safiyya dan Nalen menatap kepergian putrinya dengan hati bahagia. Keduanya lantas kembali masuk ke mobil untuk menuju ke rumah sakit di mana Anna dirawat. Sepanjang jalan ke sana, Nalen terus menggenggam tangan istrinya.Keduanya seperti dua remaja yang sedang jatuh cinta, karena sedari tadi senyum bahagia terus tersungging di bibir."Kamu sama Maira kok bisa kembali akrab. Kalian sudah berbaikan?" tanya Nalen memecah keheningan."Ya, secara nggak langsung, semua berjalan begitu saja. Mungkin Maira juga baru menyadari kesalahpahaman ini. Dia sudah menceritakan yang sebenarnya. Tentang alasannya berbohong saat kami bertemu di Jogja.""Syukurlah," gumam Nalen sambil tetap fokus mengemudi."Eum ... ngomong-ngomong makasih karena Mas sudah mempertemukan aku dengan Maira. Sebenarnya apa yang kamu bilang sama dia sampai bersedia menemui ak
"Berdasarkan yang Pak Angga jelaskan tadi, kita bisa menekan setengah biaya proyek ini, dan mengalokasikannya untuk membangun fasilitas kesehatan untuk warga menengah ke bawah. Saya dan tim sedang melakukan peninjaun untuk kedepannya, bagaimana menurut Anda, Pak Nalen?" Safiyya mengakhiri presentasinya di depan Nalen dan semua staf yang ikut rapat. Sejujurnya ia agak gugup karena rapat hari ini dipimpin langsung oleh suaminya.Safiyya sedikit kesal pada Bu Inggrid, karena wanita itu tiba-tiba izin pulang lebih cepat, dan menjatuhkan tanggung jawab presentasi ini padanya. Dengan alasan hanya Safiyya lah yang bisa dirinya percaya. Jika tahu rapat itu akan dihadiri juga oleh Nalen, Safiyya benar-benar tak akan mau.Bukan hanya takut akan melakukan kesalahan saat rapat, tapi juga karena Nalen terus menatapnya tanpa kedip. Alhasil selama presentase itu Safiyya harus berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila.Safiyya menautkan alis karena Nalen malah terlihat senyum-senyum sendiri. S
"Anna!" seru Safiyya sambil menepuk pundak seorang wanita yang berjalan dengan anak kecil."Ah, Maaf," sambungnya saat mendapati kenyataan bahwa wanita berperawakan seperti Anna itu ternyata orang lain.Sudah hampir setengah jam setelah Safiyya dan Nalen tiba di rumah sakit. Keduanya juatru mendapati kenyataan bahwa Anna sudah keluar dari sana. Terlalu kalut membuat ia dan Nalen memutuskan mencari wanita itu, tapi hasilnya nihil. Anna tetap tak bisa ditemukan."Bagaimana, apa kamu menemukannya?" tanya Nalen dengan napas memburu karena terus berlarian.Safiyya menggeleng lemah, keadaannya benar-benar sangat kacau. Wanita itu sudah akan menangis."Tenang lah. Aku yakin walaupun Anna memang bersama Nafis, dia nggak mungkin berbuat macam-macam pada anak kita."Mendengar ucapan Nalen, Safiyya semakin dibuat frustasi. Ia menatap putus asa pada Nalen. "Tenang Mas bilang? Kalau Anna membawa Nafis pada Mark bagaimana?""Kenapa pikiran kamu sama Anna jadi sepicik itu, Sayang. Aku tahu Anna. Sej
Anna berjalan memasuki ruang kerjanya dengan langkah cepat. Ia terlihat menahan amarah setengah mati."Bisa-bisanya mereka bermesraan di depanku seperti tadi," ujar Anna kesal. Ia kemudian melempar kasar sling bag ke kursi, sebelum kemudian ikut menjatuhkan diri di sana.Napas Anna naik turun karena emosinya yang meledak. Sejak di depan Nalen ia berusaha keras menahan diri untuk tidak menjambak rambut Safiyya.Anna memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ingatannya kembali pada pembicaraannya dengan Mark kala itu. Sejujurnya Anna berbohong ketika ia bilang disuruh Mark untuk menemui Nafis. Karena pada awalnya ia memang berniat membawa pergi gadis kecil itu pada Mark tanpa izin. Ia ingin Safiyya merasakan kehilangan yang pedih, tapi setelah Anna mengingat perkataan Mark ia pun mengurungkan niat itu."Aku memang ingin bertemu Nafis dan Safiyya, Ann. Tapi bukan dengan cara jahat seperti itu. Aku akan memintanya langsung pada Safiyya dan Nalen, karena aku tak ingin mengulangi kesalahan
Safiyya menatap rumah mewah di depannya dengan perasaan tak menentu. Jantungnya berdetak sangat keras, takut dan khawatir mendominasi pikirannya.Nalen lebih dulu turun membuka pintu mobil untuk sang istri. "Kamu sudah siap bertemu, Mark?" tanya Nalen memastikan, sebelum dia benar-benar membuka pintu."Insya Allah," jawab Safiyya yakin. Ia berusaha membuang jauh semua rasa khawatir. Tak lama setelahnya ia pun turun bersama Nafis."Silahkan Tuan dan Nyonya Akhtar, Tuan Mark sudah menunggu kalian di dalam," ujar Josh, asisten pribadi Mark."Kau tidak berubah, Josh. Masih tetap seperti dulu," ujar Nalen basa-basi. Tak heran jika Nalen bisa terlihat begitu akrab dengan Josh, karena selama ini keduanya memang sering berhubungan untuk membahas bisnis yang Mark tawarkan pada perusahaan Nalen. Bahkan sesekali mereka akan membahas soal kondisi Mark.Josh pun tersenyum sebelum membalas. "Anda juga, Tuan ... mari masuk." Josh akhirnya mengantar mereka ke dalam."Ini rumah siapa, Bunda? Kok bagus