Mita tersentak. Kenapa Rayyan menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Mita bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Swastamita. Haruskah dia menjawab pertanyaan Rayyan?
“Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan aja kalo katanya Si Kutu Buku lari dari sekolah.” Rayyan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Dan kamu penasaran, gitu?” tuduh Mita. Kalau dipikir-pikir, kenapa Rayyan membahasnya jika bukan karena penasaran?
Rayyan terkekeh. “Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish,” gumamnya sembari melanjutkan langkah.
“Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Rayyan,” batin Mita kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kakinya menuju kelas.
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek kenapa lo jadi manyun gitu, Mit? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya,” seloroh Erick begitu Mita sampai di kelas dan duduk si bangkunya.
Belum sempat gadis itu menjawab, bel sekolah berbunyi nyaring. “Udah, diem. Udah bel tuh,” tegur Mita yang merasa lolos karena tidak perlu menceritakan hal yang tidak penting pada Erick.
“Oh, My God ...,” seru Erick seraya menepuk dahinya.
***
“Ta, sorry banget. Di tempat temen-temenku tuh posisi kosong udah keisi semua. Jadi aku enggak bisa bantu cariin kerja tambahan buat kamu. Maaf banget, ya?” bisik Hana ketika kafe tidak begitu ramai.
Di dalam ruangan hanya terdengar alunan musik klasik yang diputar melalui pengeras suara, juga sesekali suara tawa pelanggan yang saling bercanda sembari menikmati hidangan mereka.
Mita sedikit kecewa, tapi mau bagaimana lagi jika memang Hana tidak bisa membantunya? Setidaknya Hana sudah mencoba mengulurkan tangan, menurutnya itu sudah lebih dari cukup.
“It’s okay, Kak. Aku bisa cari info sendiri nanti. Doain aja semoga dapet kerjaan yang pas buat aku,” ujar Mita dengan senyum terkembang.
“Emangnya kalo boleh tahu, kenapa sih kamu segetol itu buat cari tambahan kerja part time? Kamu kan masih sekolah, Ta. Apa enggak menyita waktu belajar kamu?” tanya Hana yang menatap Mita dengan penuh selidik.
Mita merasa tidak enak ditanya seperti itu. “Emmm ... gimana ya jelasinnya? Ya ... intinya tuh aku butuh uang aja buat biaya sekolah adik juga, Kak. Jadi aku cari kerja part time tambahan. Lagian juga ayahku udah enggak ada. So, aku harus mandiri,” jelas Mita yang hanya menceritakan sebagian kisahnya. Dia tidak ingin terlalu banyak bercerita tentang hidupnya dan mendramatiskan keadaan karena tidak ingin dikasihani.
Hana terlihat manggut-manggut. “Oh, gitu. Semangat aja, Tata. Kamu pasti bisa! Oh ya tapi ... kalo boleh tahu nilai kamu paling unggul dalam mata pelajaran apa? Aku bakal bantu cari-cari kerjaan yang sesuai sama skill kamu. Siapa tahu bisa,” ujarnya.
“Kalo untuk nilai sih yang paling bagus matematika, Kak. Bulan depan nanti, aku ada lomba Olimpiade matematika tingkat provinsi. Kepala sekolah bilang sih di Yogyakarta, jadi nanti aku bakal izin enggak kerja beberapa hari.”
“Serius kamu mau ikut lomba Olimpiade matematika? Keren banget, Ta. Aku aja waktu sekolah suka tidur kalo pelajaran matematika.” Hana bercerita diikuti dengan tawa.
Mita mengangguk. “Iya, Kak. Lagian itu kepala sekolah yang mutusin. Aku enggak bisa nolak soalnya takut beasiswaku dicabut.”
“Eh, jadi kamu dapet beasiswa di sekolah kamu?” tanya Hana dengan antusias saat mendengar cerita Mita yang notabenenya adalah pegawai baru di kafenya.
Lagi-lagi Mita mengangguk. “Iya, Kak. Kalo enggak dapet beasiswa mana mungkin aku bisa sekolah di sana?”
“Bener juga sih, Ta. Di sekolah kamu itu emang terkenal mahal biaya sekolahnya. Hebat banget dong kalo kamu bisa dapet beasiswa di sana. Pertahankan kalo gitu, belajar yang rajin dan jangan kasih kendor. Aku yakin kamu bisa jadi orang sukses nanti,” seru Hana memberi motivasi supaya Mita lebih semangat dalam menuntut ilmu.
“Pasti, Kak. Makasih banyak motivasinya. By the way kenapa Kak Hana enggak jadi motivator? Kan cocok tuh, karna Kakak suka memotivasi aku,” canda Mita. Hana menyambutnya dengan tawa.
Tanpa sadar, ada sosok yang sedang mengamati bahkan mendengarkan pembicaraan Hana dan Mita.
***
Mita mempercepat langkah supaya lekas sampai di tempat kos karena langit malam ini mendadak mendung. Jika tidak, bisa-bisa dirinya akan basah kuyup seandainya awan hitam tiba-tiba memuntahkan isi perutnya.
Namun, bukan dirinya sendiri yang lebih dikhawatirkan Mita, melainkan isi tasnya yang penuh dengan buku-buku pelajaran. Jika bukunya basah, Mita akan kesusahan untuk mengeringkannya yang tentu saja membutuhkan waktu lama. Sementara dia harus lanjut bekerja lebih dulu sepulang sekolah. Dia tidak akan sempat melakukan itu.
Rintik gerimis mulai terasa ketika Mita berjalan berbelok melewati sebuah gang menuju tempat kosnya. Spontan gadis itu berlari kecil menerobos tetesan air yang kian menderas. Beruntung Mita bisa tiba di tempat kos sebelum semuanya basah kuyup. Gadis itu merasa dirinya terselamatkan.
“Kenapa ditelepon enggak diangkat-angkat?”
Suara perempuan membuat Mita tersentak saat memasuki ruang tamu kos. Di sana terlihat Lia sedang berdiri sambil berkacak pinggang. Sepertinya perempuan itu sudah cukup lama menunggu kedatangan Mita. Di samping Lia, Mita melihat seorang laki-laki yang sepertinya berumur tiga puluhan tahun, belum terlalu tua karena wajahnya terlihat seumuran dengan Lia. Laki-laki itu duduk di kursi tamu sambil memainkan gadget, menggulirkan layar ke atas-bawah.
“Ta—tante kenapa ke sini?” tanya Mita dengan bibir bergetar.
Lia melipat kedua tangannya di depan dada sembari melangkah mendekati Mita. “Kamu pikir buat apa?” ucapnya terdengar seperti bisikan. “Kamu bilang butuh kerjaan tambahan kan?” lanjut Lia.
“Iya, aku lagi cari kerjaan tambahan tapi belum dapet, Tante,” jawab Mita seadanya.
Mita melihat senyum miring di bibir Lia. Entah apa arti senyum itu.
“Ikut Tante sekarang!” seru Lia.
“Apa?” Mita terbelalak. “Ikut ke mana? Aku enggak mau,” sambung Mita saat Lia mencengkeram lengannya dengan kasar.
“Ayo, ikut!” gertak Lia dengan sorot mata setajam elang.
Mita dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Mita. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Mita bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Mita. Membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal manjikannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Mita setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Mita ke dalam sebuah dalam ruangan yang cukup luas, barulah lengan Mita dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan itu tampak beberapa laki-laki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai botol minuman keras. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yan
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Mita. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia menghilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Mita yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Rayyan santai sembari melepas jumper hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Mita mendadak tegang. "Lo pake aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Rayyan memakaikan jaketnya ke badan Mita. Mita yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Mita terkesiap ketika tangan Rayyan menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pake kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda.
“Tante, stop! Tante apa-apaan sih, seenaknya aja berantakin kamar kos Mita? Apa yang Tante cari di sini? Bukannya kemarin Mita udah bilang, kalo udah enggak ada uang lagi? Percuma Tante obrak-abrik kamar Mita,” seru Mita ketika mendapati kamar kosnya berantakan karena ulah Lia, adik mamanya yang beberapa tahun terakhir mengurus Mita dan adiknya, Bian. Lia melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu pikir Tante bakal percaya gitu aja kalo kamu bilang enggak ada uang lagi? Itu ... buktinya kamu bisa ke sekolah. Naik apa? Enggak mungkin kan, kamu jalan kaki?” omel Lia. Mita merasa geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menerima perlakuan Lia. Lagi pula, kesialan Mita pagi ini terjadi karena keteledorannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar kos sehingga Lia bisa masuk dengan seenak hati. “Asal kamu tahu, ya! Adik kamu butuh uang banyak buat sekolah dia. Dan uang yang kemarin kamu titip ke Tante itu belum cukup gantiin uang Tante yang dipake
“Hei! Kenapa diem aja, Ta?” “Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. “Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega. “Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya. “Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita. Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana. *** "Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah le
“Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesan ke Kakak. Coba kalo ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?” sentak Mita yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bian kenapa-napa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. “Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi lagi,” janji Bian dengan wajah tertunduk. Mita mendesah lelah. “Lagian kenapa sih berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bian. Enggak ada siapa-siapa yang perhatikan kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah.” “Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kak Mita dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!” Mita terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan Bian. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan sang adik supaya tidak terpancing dengan ucapan t
Mita, gadis bernama lengkap Swastamita itu melangkahkan kaki dengan perasaan was-was menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Mita meninggalkan sekolah karena memenuhi panggilan guru BK Bian. Bagaimana jika kepala sekolah yang terkenal garang itu tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Mita tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa Mita kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Mita bisa maju jika dia tidak bisa meneruskan sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bian yang membutuhkan uluran tangannya. Tidak, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi. Tanpa sadar, Mita menggeleng. “Jangan sampe, jangan sampe!” desis Mita pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali tangannya membenarkan letak kacamata tebalnya. Mita tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah.