Share

Terpaksa Bolos Sekolah

“Hei! Kenapa diem aja, Ta?”

“Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya.

“Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain.

Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega.

“Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya.

“Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita.

Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana.

***

"Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat.

"Enggak bisa. Ini sudah lebih dari pukul tujuh," jawab satpam tegas sambil menunjuk jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

"Tolong buka, Pak. Ini hari pertama saya masuk sekolah." Rayyan, siswa baru berbadan tinggi tegap tiba-tiba berseru dari belakang Mita. "Saya murid baru. Enggak lucu kalo hari pertama sekolah, tapi enggak dibolehin masuk!" protesnya.

"Murid baru? Jangan bohong kamu! Paling juga alesan aja biar saya bukain pagar. Iya, kan?" seru satpam yang masih enggan membuka pintu gerbang.

"Pak, tolong dong. Beasiswa saya bisa dicabut kalo terlambat masuk kelas. Bapak enggak kasihan, apa?" Mita berusaha meyakinkan satpam.

"Ya udah. Kalo Bapak enggak mau buka nih gerbang, saya telepon kepala sekolah sekarang juga biar bapak dipecat karena udah menghalangi murid baru buat masuk." Rayyan mengancam sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Weleh, weleh, main pecat segala. Emang situ siapanya kepala sekolah?" celoteh satpam yang pertahanannya mulai goyah.

"Kepala sekolah di sini, adik Papa saya. Bapak enggak percaya? Mau saya teleponin sekarang juga?"

Mita hanya terdiam melihat usaha Rayyan untuk tetap bisa masuk sekolah, sambil berdoa dalam hati supaya satpam mengabulkan permintaan mereka agar pintu gerbang segera dibuka.

"Eh, jangan, jangan! Iya, iya, saya bukain sekarang." Satpam itu bergegas mengeluarkan kunci untuk membuka pintu gerbang.

"Nah, gitu dong." Rayyan memasuki mobil sport-nya untuk diparkirkan di lingkungan sekolah.

Sementara Mita langsung saja mengambil langkah seribu. "Terima kasih banyak, Pak," serunya sambil berlalu.

"Weleh, weleh, itu anak main ngibrit aja," gumam satpam sembari menatap punggung Mita yang semakin menjauh.

Nyatanya sekeras apa pun usaha Mita supaya bisa masuk sekolah, gadis itu tetap saja mendapat hukuman karena terlambat datang. Dia harus berdiri di depan tiang bendera selama mata pelajaran pertama berlangsung. Tentu saja para guru menyayangkan hal itu.

Mita sedang menekuri rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di sela-sela paving block yang mengelilingi tiang bendera. Namun, tatapannya berpindah ketika ujung matanya melihat sosok laki-laki yang berjalan ke arahnya.

Siswa berkulit putih berwajah blasteran yang ditemuinya di depan pintu gerbang beberapa menit lalu, kini berdiri di sebelah Mita.

"Kenapa lihatin kayak gitu? Enggak pernah lihat cowok ganteng?"

Mita membenarkan letak kacamatanya. "B aja," jawabnya singkat. "Tadi kamu bilang, kepala sekolah adik Papa kamu. Terus kenapa dihukum juga?" Mita menoleh ke arah laki-laki di sebelahnya.

"Lo percaya? Berarti lo sama bodohnya kayak satpam tadi." Dengan angkuhnya Rayyan berkata asal tanpa menoleh sedikit pun ke arah Mita.

"Wha—What did you say?"

"Jarak kita berdiri enggak nyampe satu meter. Kalo lo enggak bisa denger omongan gue, mungkin lo perlu periksa ke dokter THT," ucap Rayyan tegas.

"Bener-bener nih orang ngeselin banget," gerutu Mita pelan.

"Apa lo bilang?" Rayyan menoleh dan menatap kedua netra Mita di balik kacamata tebalnya.

Mendadak Mita terdiam, terpesona dengan ketampanan laki-laki di depannya. Bagi Mita, dia seribu kali lebih tampan dari oppa-oppa Korea yang diidamkan para kaum hawa.

"Lo lihatin apa?" Rayyan mendorong dahi Mita dengan jari telunjuknya.

"Enggak sopan banget, sih!" protes Mita sembari menepis tangan laki-laki yang belum dia tahu siapa namanya.

"Makanya B aja. B aja! Gue juga bakal B aja sama lo." Rayyan menekankan kata ‘B aja’ sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Biasa aja lihat cowok ganteng," bisiknya di telinga Mita dengan sedikit merunduk karena selisih tinggi badannya dengan Mita terbilang lumayan. Lumayan jauh.

Darah Mita terasa mendidih mendengar ocehan laki-laki yang tidak jelas itu. Dia mengepalkan tangan. Namun, sebisa mungkin Mita tetap diam.

"Kenapa? Lo mau pukul gue? Yang bener aja, cewek cupu mau berantem sama gue?"

"Rayyan! Saya minta kamu diam di situ sambil hormat ke bendera. Kenapa malah gangguin Sasmita?" tegur seorang guru yang tiba-tiba muncul.

"Jadi nama lo Sasmita?" gumam Rayyan sambil melirik ke arah Mita.

"Rayyan! Berdiri yang bener, kamu!" Guru perempuan yang terkenal killer seantero sekolah mendekati Rayyan dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Mita.

"Apa sih, Tante?" gerutu Rayyan.

"Tante, Tante. Di lingkungan sekolah kamu harus panggil saya Bu Risa. Ngerti, kamu?"

Melihat pemandangan itu membuat Mita menahan tawa.

"Oh, anak baru itu namanya Rayyan? Jadi dia keponakan Bu Risa, bukan keponakan kepala sekolah?" gumam Mita dalam hati sambil menahan senyum.

"Hei, Sasmita! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" seloroh Bu Risa yang ternyata diam-diam memperhatikan Mita.

Mita buru-buru menggeleng. "Swastamita, Bu. Bukan Sasmita," ralatnya.

"Duh, lagian ada-ada aja sih orang tua kamu kasih nama. Susah nyebutnya," ujar Bu Risa. "Tadi Rayyan ngomong apa sama kamu? Kalo dia macem-macem, lapor ke saya!" lanjut Bu Risa.

"Apa sih Tante? Aku enggak ngomong macem-macem ke dia," sanggah Rayyan.

"Tante lagi?" Bu Risa memelototi Rayyan.

"Iya, iya. Bu Risa," ralat Rayyan.

"Nah, begitu baru tepat. Sekarang masuk kelas!" titah Bu Risa pada keponakannya yang bandel.

"Lah, kan belum ada dua jam berjemur," celetuk Rayyan.

"Berjemur? Kamu pikir lagi di pantai?" omel Bu Risa.

Bahkan Mita belum sempat menjawab pertanyaan Bu Risa. Tapi percakapannya dengan Rayyan seolah tak ada hentinya. Membuat Mita menepuk dahinya berulang kali.

***

Bel sekolah berbunyi nyaring. Siswa-siswi mulai berhamburan keluar kelas. Kebanyakan dari mereka berbondong-bondong menuju kantin lalu memilih tempat duduk yang mereka suka sekaligus memesan makanan di sana.

Berbeda halnya dengan Mita. Gadis itu tidak ada bosannya menghabiskan waktu istirahat di ruang perpustakaan. Ketika dia melangkahkan kaki menuju meja favoritnya di sudut ruangan, ternyata seorang laki-laki lebih dulu menempatinya.

Dengan santai laki-laki itu tidur dengan tangan sebagai alas kepala sedang wajahnya menghadap ke jendela, membuat Mita bertanya-tanya tentang siapa siswa yang seenaknya duduk di bangku favoritnya.

Mita mengambil beberapa buku dengan hati-hati. Susunannya yang rapi membuat Mita tidak tega jika sedikit saja membuatnya berantakan.

Setelah mendapat buku-buku yang dibutuhkan, Mita bergerak mencari bangku kosong untuk diduduki. Namun, belum sempat Mita menemukan tempat duduk yang dirasa nyaman, dia merasakan ponselnya bergetar.

Mita terkejut melihat isi pesan yang baru saja diterima hingga tak sengaja bukunya jatuh berserakan.

Hal itu mengundang perhatian seisi ruang perpustakaan tak terkecuali laki-laki yang telah menempati bangku favorit Mita yang ternyata adalah Rayyan.

"Maaf, maaf," ucap Mita yang merasa tidak enak karena telah membuat gaduh. Dia pun segera berjongkok untuk membereskan buku-bukunya.

Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Mita meninggalkan begitu saja buku-buku itu di atas meja. Membuat bingung beberapa mata yang melihatnya tak terkecuali Rayyan.

Mita berlari meninggalkan ruang perpustakaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status